Jaydan dekat dengan Netta belum lama, baru empat bulanan. Keduanya pernah terlibat jadwal terbang yang sama beberapa kali, tapi nggak membuat mereka bisa dekat begitu saja seperti sekarang.
Waktu itu, Jaydan penasaran kenapa setiap kali bekerja dengan Netta, dia melihat gadis itu berbeda dengan pramugari yang dikenalnya. Maksud Jaydan yang berbeda dari Netta adalah dia pendiam, tidak mudah bergaul, berinteraksi dengan seprofesinya saja jarang. Sehingga setelah putus dengan Nabila, Jaydan mencoba mendekati Netta tapi gadis itu menolak dengan alasan yang cukup membuat Jaydan terkejut. Jaydan masih ingat, saat keduanya keluar makan malam bersama, ketika berada di Balikpapan. Netta tanpa ditanya sudah berbicara mengapa dia menolak Jaydan, dan tanpa sungkan sepanjang malam itu Netta bercerita kehidupannya pada Jaydan. Padahal keduanya belum terlalu dekat, sehingga nggak seharusnya Netta bisa semudah itu bisa percaya pada Jaydan. Malam itu Jaydan tahu, apa yang dialami Netta sehingga membuat gadis itu menjadi pendiam dan mati rasa pada laki-laki. "Lo besok ke Bali flight jam berapa?" "Sekitar jam 9. Gue nggak mau berangkat pagi-pagi banget," "Kalo aja gue besok nggak ada jadwal, gue bisa nemenin lo kondangan, Jay. Daripada lo berangkat sendiri, mending sama Ara." "Gue udah putus sama dia, Nett." Netta yang semula membantu Januar mengeringkan rambut dengan handuk, seketika berhenti. Gadis itu tak terkejud dengan apa yang terjadi, ia sudah biasa mendengar Jaydan lagi-lagi putus dengan teman seprofesinya. Tapi kali ini yang berbeda kenapa ada rasa senang dilubuk hatinya? Seperti Netta baru mendapatkan hadiah setelah menggosok kupon, alih-alih bukan tulisan 'anda kurang beruntung'. Netta menggeleng keras, menolak segala kemungkinan yang ada dalam benaknya. "Nett, oy!" Jaydan berusaha menyadarkan Netta, agar meneruskan gerakan tangannya mengeringkan rambut Jaydan. "Apaan?" "Gue udah putus sama Tiara." "Terus?" "Biasanya lo ngomelin gue, kenapa lo diam aja sekarang?" "Terserah lo deh, mau putus atau balikan bukan urusan gue! Lagian udah gue bilangin, lo itu sebagai cowok lahir dari seorang ibu. Seharusnya lo bisa ngerhargain wanita seperti lo ngehargain Ibu juga." Jaydan menoleh pada Netta tepatnya mendongak, karena posisi gadis itu yang lebih tinggi darinya karena duduk di sofa, sementara Jaydan lesehan di karpet. Lantas gerakan Jaydan itu lagi-lagi menghentikan gerakan tangan Netta yang sejak tadi sibuk mengeringkan rambutnya. "Apaa? Emang lo dilahirin dari rahim nyokap lo bukan bokap lo kan?" "Iyalah, mana ada cowok ngelahirin ngaco banget!" "Terus ngapain lo natap gue?" "Aneh aja denger lo ngomong kayak gitu." Netta menatap Jaydan jengah, "Gue cuma mati rasa sama spesies kayak lo, bukan berarti gue kehilangan perasaan sepenuhnya." Ingin rasanya Netta melempar handuk itu pada wajah Jaydan. "Nggak usah ngedekatin banyak cewek deh kalo niat lo cuman mainin mereka doang. Umur lo udah segini juga, pas banget buat jalanin hubungan yang lebih serius, cari pendamping, terus nikah punya anak dah." "Maunya sih gitu Nett, tapi belum ada yang cocok." Akhirnya tanpa perlu berpikir lagi, handuk yang Netta pegang sudah mendarat pada wajah Jaydan. "Aduh, Nett! Wajah ganteng gue!!" rintih Jaydan. Satu yang harus kalian ketahui, Jaydan tipikal laki-laki yang narsis dan over percaya diri. "Bodo amat!" "Beberapa bulan ini, lo udah mutusin 4 cewek dan semuanya nggak ada yang cocok?" Jaydan mengangguk dengan wajah polos. "Sinting!" "Kalo lo normal sih Nett, gue nggak keberatan nikahin lo." Dengan sedikit tersenyum miring, berniat menggoda Netta. "Geli gue dengernya." Tapi Netta tetaplah Netta, dia tidak akan tergoda meskipun seorang Jaydan yang melakukannya. *** Kerumunan orang tengah memadati bandara I gusti Ngurah Rai. Entah mengapa siang itu bandara agak ramai, mungkin karena bertepatan dengan weekend. Sehingga orang-orang berbondong mengunjungi Bali untuk menghabiskan libur pendeknya. Seorang lelaki berpakaian hitam dengan jaket denim berwarna biru tua berjalan santai berbaur dengan orang sekellingi menuju pintu keluar. Salah satu tangannya menggenggam ponsel dan tangan lainnya menyeret koper hitam berukuran sedang, itu Jaydan. Dia memandang sekeliling lobi mencari sahabatnya yang berjanji akan menjemputnya siang itu. Sementara gerakan bibirnya menandakan sedang berbicara dan tersambung dengan orang di tempat yang berbeda. "Harusnya gue yang tanya! Lo ada dimana?" Kesalnya pada seseorang di seberang sana. Jaydan sedang melakukan panggilan menggunakan earphone yang sejak tadi bertengger manis di kedua telinga. "Gue ada di depan." Jawab orang di seberang sana. "Anying, gue juga tahu lo ada di depan, tapi sebelah mananya. Lo kira di bandara cuman gue sama lo aja, banyak orang woi." Kesal Jaidan. Dengan wajah lelah dan lingkar mata yang menghitam, Jaydan masih celingak-celinguk mencari keberadaan Theo. "Sorry-sorry" diiringi tawa ringan Theo "Gue di sebelah kiri, mobil warna hitam." "Dari tadi kek," Jawab Jaydan lalu memutuskan panggilan itu secara sepihak. Jaydan langsung melanjutkan langkahnya ke mobil yang beberapa saat lalu sempat dilihatnya. Kaca mobil terbuka setengah menampakkan Theo dengan wajah tampan, laki-laki itu mengenakan kaos putih serta kacamata hitam yang bertengger manis di pangkal hidungnya. Salah satu tangan melambai menyapa Jaydan seolah keduanya lama nggak bertemu, padahal baru dua minggu lalu mereka makan bersama. Ketika hampir dekat dengan mobil Theo, Jaydan yang menyeret koper itu harus menghentikan langkahnya saat seseorang wanita berambut pirang tanpa sengaja berjalan tergesa-gesa dan menabraknya. "Astaga, nggak bisa hati-hati kalau jalan." Umpat Jaydan, tangannya dengan sibuk membersihkan percikan minuman yang tumpah dan mengenai lengan jaketnya. Kotornya nggak seberapa, tapi kalo mengingat itu barang favorit, apalagi buat ngedapatinnya butuh perjuangan, wajarkan Jaydan marah? Jaydan itu sebenarnya bukan tipikal orang yang suka marah-marah. Jaydan juga bukan bagian dari GGG - ganteng ganteng galak. Hanya faktor kelelahan yang membuat laki-laki itu sedikit sensitif layaknya wanita yang sedang PMS. Jam terbang yang padat membuat Jaydan sangat kelelahan, karena baru dibebas tugaskan setelah dua minggu penuh. Jaydan semalam juga kurang tidur dan baru bisa merasakan rebahan di ranjang jam 2 pagi, setelah minum dan mengobrol panjang dengan Netta. Itupun dia tak kunjung terlelap tidur. Kemudian, jam 9 pagi Jaydan harus berangkat ke Bali untuk undangan pernikahan teman SMA. Jangan heran kalau Jaydan berada di mode sensitif, kena senggol dikit siap-siap aja buat baku hantam. "ckk, padahal baru gue pakai." Keluh Jay. "Ma... maaf ya, gue lagi buru-buru banget, taksi udah nunggu dari tadi." Kata gadis berkuncir kuda itu sembari memasang wajah panik. Jaydan berdecak kesal, jaket denim terbaru miliknya dari brand ternama baru saja ternoda. Ia beralih menatap gadis dihadapannya. Namun tak ada angin tak ada hujan tahu-tahu dunia Jaydan terasa slowmotion ketika indera penglihatannya berpapasan dengan paras cantik gadis itu. Kedua matanya lebar dengan alis tebal yang terukir. Bulu matanya panjang dan lentik, yang pasti asli bukan hasil tanam. Jangan lupa bentuk bibir yang penuh, dengan lipstik yang berwarna peach, kecantikan yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata karena hampir sempurna. "Ya Tuhan! kenapa nih cewek cantik banget ya," batinnya bergejolak. Gadis itu melambaikan tangan tepat di depan wajah Jaydan, menarik atensi lelaki itu agar cepat merespon karena tiba-tiba saja terdiam layaknya manequeen. "Are you okay?" "Yaa, i'm okay." Jawab Jaydan yang baru saja tersadar dari lamunan. Seketika emosi yang ada di puncak ubun-ubun dan siap diledakkan kapanpun itu lenyap tak tersisa. "Syukurlah, kalau gitu gue pergi dulu." Sebelum berlalu gadis itu buru-buru membuka tas selempang berwarna hitam, nampak sedang mencari sesuatu. "Lo bisa hubungi gue kapanpun, gue bakal ganti rugi kayaknya jaket lo bukan sembarang jaket. Sekali lagi maafin gue ya." Lanjutnya seraya menyerahkan kartu nama dan kemudian pergi. "Pramudina Sarasvati." Jaydan membaca nama yang tertulis pada kartu. Ia tersenyum manis, "nama yang cantik." Sambil menatap ke arah perempuan itu yang sudah masuk ke kursi penumpang. Jaydan, tersenyum miring memasukkan kartu nama itu ke dalam saku celananya lalu melangkah pergi. "Ada apaan? kenapa lama banget." Tanya Theo pada Jaydan yang baru saja duduk di samping kursi mengemudi. "kepo aja lo." ujar Jaydan sambil menurunkan sandaran kursi, lalu memakai safety beltnya. "Sensi banget bambang! Kayak cewek aja lo, gue nanya baik-baik juga." Kesal Theo. "Udah langsung cabut napa, gue mau tidur." Perintah Jaydan mencari posisi ternyaman untuk tidur. "Kenapa lo nggak bisa tidur? Habis begadang lagi." "Hmm sama Netta." "Bangkee,"Jaydan melangkahkan kakinya ke rumah yang sudah lama tidak laki-laki itu kunjungi. Sekitar dua bulan lebih, Jaydan tidak menginjakkan kakinya di halaman rumah besar yang bertuliskan Yayasan Panti Asuhan Kasih Bunda. Biasanya ia akan berkunjung dengan keluarga setiap akhir pekan, tapi berhubungan jadwal penerbangan Jaydan yang sering diluar nalar, membuat Jaydan hanya bisa berkunjung sebulan sekali, itu pun kalo dirinya ada waktu.Yayasan ini dikelola oleh keluarga Marva secara turun menurun, yang artinya suatu saat semua tanggung jawab yang berkaitan dengan Yayasan akan dibebankan pada Jaydan, begitupun juga Risha. Sejak kecil pun, Jaydan oleh orangtuanya diperkenalkan dengan suasana panti dan bergaul bersama anak-anak disana. Beberapa para pekerja di Yayasan juga mengenal baik Jaydan dan Risha dari kecil hingga keduanya dewasa. Membawa berbagai makanan, dan kebutuhan lain menjadi rutinitas Jaydan berkunjung ke Yayasan. Padahal, kedua orang tua Jaydan su
Gienka melayangkan potres pada Jaydan. Sesaat laki-laki itu baru selesai memarkirkan mobil dan memutar kunci untuk mematikan mesinnya. "Kenapa lo bawa gue kesini?"Sejak awal, Gienka harusnya berucap demikian, saat ia tahu Jaydan tengah membelokkan kemudinya ke bangunan besar di tengah kota yang difungsikan menjadi pusat perbelanjaan -sebut saja mall."Kata lo terserah mau kemana aja? Yah tujuan gue kesini" ucap Jaydan sembari melepaskan safety belt yang melekat pada dada bidangnya."Tapi gue nggak mau kesini" tolak Gienka. "Salah sendiri ditanyain dari tadi bilangnya 'terserah' mulu." Gienka menghela nafas kesal, memang dari awal adalah kesalahannya sih tidak menentukan tempat yang ingin di tuju, malah menyerahkan pada Jaydan. Tetapi bukan sepenuhnya salah Gienka juga. Jaydan sebagai laki-laki harus bisa peka, setidaknya sedikit saja mengerti kemauan dari seorang wanita. Bukankah Jaydan cukup berpengalaman mengajak wanita berkencan? Kalau memang seperti itu Jaydan harusnya tahu t
Harusnya Gienka tidak melakukan ini 'kan?Menempatkan dirinya di depan meja rias. Berkutat dengan berbagai alat-alat makeup dari brand ternama. Mengaplikasikan semua benda-benda itu, sehingga membuat parasnya semakin cantik dan merona. Biasanya semua itu, akan ia lakukan saat berada di depan kamera. Untuk membuat tutorial yang Gienka upload di laman youtubenya dulu. Tapi, sekarang? Gienka tak lagi berkutat di dunia itu.Lantas kenapa hari ini Gienka sengaja bangun pagi dan menghabiskan hampir satu jam di meja rias?Seolah tersadar dengan pikiran yang berkecamuk dalam benak, Gienka meletakkan cermin kecil yang semula digenggamnya. "Gue cuma pergi jalan, dan bisa-bisanya gue dandan secantik ini?" ujar Gienka pada dirinya sendiri."Hhhh.. Gien lo nggak perlu dandan kayak gini. Dia bukan siapa-siapa.""Okay, dia bukan siapa-siapa, lo harus tampil seperti biasanya..."Gienka berniat menghapus riasan, tapi sebelum hal itu ter
Dua minggu Gienka tidak bisa tidur dengan tenang. Selama itu, kantung di bawah matanya sedikit menghitam.Gienka sudah membolak-balikkan tubuhnya ke segala arah, mencari posisi yang nyaman agar bisa tertidur. Sengaja pula membuat tubuhnya lelah dari pagi hingga malam, dengan maksud Gienka bisa lekas tertidur ketika sampai di rumah. Namun, semua yang ia lakukan tetap nihil, Gienka nyatanya akan berakhir dengan mata terbuka hingga dini hari, atau sampai tertidur dengan sendirinya. Gienka sempat ingin mengkonsumsi obat tidur -dosis ringan, tapi urung ia lakukan. Takut keesokan harinya tidak bisa bangun tepat waktu.Tahu kenapa Gienka bisa seperti ini?Tentu, karena seorang bernama Jaydan.Entah kenapa Gienka selalu memikirkan laki-laki itu. Sampai Gienka tidak bisa tertidur. Jaydan akhir-akhir ini memang memborbardir pikirannya, tak terkecuali malam ini. Kadang-kadang lagi ribet dengan urusan pekerjaan pun, Jaydan mampir memporak-porandakan pikiran Gienka. Ini bukan efek samping dari
Karena malam semakin larut dan taksi yang dipesannya tidak kunjung datang, Gienka secara terpaksa harus pulang diantar Jaydan. Dimana Naresh? Udah pulang duluan, alasannya ada pekerjaan dadakan. Yah kali ada kerjaan dadakan jam sebelas malam? Gienka itu tahu betul, kalo Naresh cuma kerja part time alias setengah hari doang. Dan hampir satu tahun Naresh bekerja, nggak ada tuh yang namanya kerja lembur. Terus tiba-tiba ijin pulang dulu. Apa nggak mencurigakan? Karena Nareshlah, Gienka harus satu mobil lagi dengan Jaydan. Selain itu ada Diana juga yang menyuruhnya untuk pulang bersama anaknya -Jaydan, karena laki-laki itu juga akan pulang ke apartemen. Awalnya Gienka menolak karena sedang menunggu taksi yang sudah dipesan, tapi Diana memaksa dan menariknya mendekati Jaydan yang saat itu hendak memasuki mobil. "Udah, kamu pulang sama anaknya tante aja yah? Daripada lama nunggu taksi nggak datang-datang keburu makin malam. Lagian, nggak baik anak g
Sudah kaget dengan kenyataan, bahwa orangtua Risha adalah dosen pembimbingnya dulu. Kini Gienka makin shock saat Pak Dion memperkenalkan putra sulungnya yang ternyata JAYDAN. Gienka tak tahu berada di situasi macam apa. Tapi, haruskan Tuhan mempertemukan ia dan Jaydan dengan cara seperti ini? Maksud Gienka, kenapa orang di sekitarnya harus berhubungan dekat dengan Jaydan? Kenapa? Takdir? Nggak mungkinlahPerasaan Gienka udah berdoa buat dijauhkan dari sosok seperti Jaydan Yuda Marva. Tetapi hari ini seolah perjuangan Gienka untuk berdoa dari pagi hingga tengah malam sia-sia?Dari sekian penduduk di Jakarta, kenapa juga harus Jaydan? Kalo Jaydan versi lain Gienka bisa maklumi, tapi kalo yang satu ini, Gienka kayaknya nggak tertarik. Apalagi melihat peringai Jaydan yang sudah sejak awal terdeteksi sebagai buaya darat sehingga harus di hindari. Gienka masih tak percaya, seorang Jaydan kini tengah duduk santai di sisi kirinya. Laki-laki itu sudah berada di samping Gienka sejak lima