Dominic sudah terlalu bosan berada di rumah sakit. Dia merasa sudah sehat meski lebam di wajahnya belum sepenuhnya hilang. Punggungnya yang kemarin beradu dengan sisi meja dan marmer kini meninggalkan rasa nyeri yang tidak seberapa untuk Dominic. Dia ingin keluar. Dia ingin bertemu Chalondra. Dia ingin kembali bekerja. Dia harus membujuk kedua orang tuanya.
Namun bukan Marcus namanya jika dia langsung mengijinkan puteranya kembali terjun dalam segudang masalah yang sudah menantinya. Apalagi tentang kepergian Chalondra. Marcus belum siap menjelaskan apa pun dan juga belum siap terkena amukan Dominic. Sudah pasti Dominic akan murka.
“Maksudnya apa sih ini, Pa? Aku sudah sehat! Aku mau kembali ke kantor, aku mau bertemu dengan Chalondra!” Belum mendengar tentang kepergian Chalondra saja Dominic sudah berbicara dengan nada do tinggi. Membuat Marcus dan Miranda saling bertukar pandang, seperti ingin meminta saran satu sama lain.
“Apa kalian ingin me
Seakan sedang kontak batin dengan Dominic, Chalondra yang sedang mengeluarkan semua barang-barangnya dari koper, tiba-tiba merasa sesak di dadanya. Hatinya sakit tanpa tahu apa kenapa. Gadis itu terduduk di tepian kasur sambil memegangi bagian yang sakit itu. Entah kenapa dia langsung teringat Dominic. Apakah sesuatu terjadi kepada sugar daddy-nya itu? Apa Dom sudah bangun? Apa dia sudah tau Chalondra pergi? Chalondra mendesah. Sejak bertemu dengan Ken tadi, dia sudah berusaha untuk mengenyahkan Dominic dari dalam pikirannya. Apalagi setelah bertemu dengan tante Aliya dan Grace juga. Untuk sejenak Cha bisa melupakan kekosongan yang ada di dalam hatinya. Tapi, baru saja dia merasa berdebar dan sesak tanpa alasan. Feeling-nya mengatakan ini ada hubungannya dengan Dominic. Mau tidak mau, gadis itu pun terpaksa membiarkan bayang-bayang Dominic kembali mengusik dirinya. Kembali membuka luka yang mati-matian dia sembuhkan sendiri. Sudut matanya kembali basah. Dia mendongak
Marcus tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengijinkan Dominic keluar dari rumah sakit. Puteranya itu mengamuk dan menghancurkan properti kamar rawat inapnya sebagai bentuk rasa kecewa karena ditinggal begitu saja oleh Chalondra. Pagi ini Dominic sudah kembali bekerja, padahal wajahnya masih belum benar-benar pulih. Banyak karyawan yang terkejut saat pertama kali dia terlihat memasuki loby. Sebelumnya, mereka mendengar kabar jika Dominic tidak datang ke kantor, sudah berhari-hari. Kemudian, pagi ini putera dari direktur Inti Global itu muncul dengan kondisi wajah memar dan membiru. Tentu saja orang-orang mulai berspekulasi tentang apa yang terjadi dengan Dominic. Seakan tidak peduli dengan bisik-bisik di sekelilingnya, Dominic tetap dengan percaya diri tampil di depan umum saat memimpin rapat divisi marketing pagi ini. "Apa yang kalian maksud dengan klien komplain dengan kualitas produk kita?" "Iya, Pak. Tidak hanya di Jakarta, tapi beberapa klien
Anjar Sagara. Putera dari Sagara Theodor. Benarkah? Mengapa dunia ini sempit sekali? Dominic berkedip satu kali dan butuh waktu yang lama untuk kembali membuka kelopak matanya. Seperti ada yang berputar-putar di dalam kepalanya yang membuat dia pusing. Anjar Sagara. Sagara Theodor. Sagara Natural. Firdaus. Pemutusan kontrak sepihak. Anjar bekerja sama dengan Ares. Semua fakta ini memasuki pikiran Dom secara bersamaan dan mendesak otaknya yang sempit sampai ingin meledak. Jika Anjar bekerja sama dengan Ares, apakah itu berarti Ares juga berperan dalam rencana pemutusan kontrak kerja sama itu? Gila! Dia benar-benar ingin menjatuhkan Inti Global tempat dimana dia bekerja?! Lantas apakah dia juga tau jika Sagara Natural sudah beralih ke Cakrawala? Dominic memegangi pelipisnya sambil berpikir di tengah-tengah ruangan. "Apakah kalian berdua bersekongkol untuk membalas dendam kepadaku?" tanya Dominic dengan suara rendah. Dia seperti kehabisan
Seharian Chalondra mematikan ponselnya karena dia dan Ken sibuk dengan pendaftaran dirinya di kampus baru yang sudah dia pilih. Ah, mungkin tidak dipilih, namun dia tidak ada pilihan. Tentu saja dia memilih kampus yang sama dengan Grace, agar dia punya teman. Mana mungkin dia mau kelayapan sendirian di tempat asing tanpa ada yang menemani?Chalondra sedang kembali menyalakan benda pipih itu sambil menunggu Ken yang sedang turun membeli minuman dingin di supermarket. Seperti biasa, berjibun chat dan panggilan tak terjawab langsung berebutan masuk dan Chalondra menunggu hingga notifikasinya selesai.Mata Chalondra membulat, jantungnya pun berdetak tidak karuan saat dilihatnya ada tujuh panggilan tak terjawab dari nomor sugar daddy-nya, Dominic. Dada Chalondra sesak seketika. Dia rindu sampai rasanya ingin mati. Berpura-pura tegar itu rasanya sangat sulit, namun harus tetap dia lakukan demi kebaikan dia dan Dom. Chalondra menebak, Dominic pasti sudah mengetahui kepergiann
Dear readers, Mohon maaf karena dua hari ini aku nggak update yah. Yang follow sosmedku pasti udah tau kalau dua hari yang lalu aku berkabung atas kepergian papa. Sebenarnya udah coba pengen update kemarin, tapi asli otak buntu banget. Ini juga nggak tau bakalan dapat feel-nya. Kalau agak kacau, maaf ya. Silakan baca bab sebelumnya yaa, supaya nyambung lagi. Selamat membaca :) :) **** Janice kembali memandang ke arah meja yang berjarak lima meter dari posisinya duduk saat ini. Sudah setengah jam berlalu, namun Brandon dan Dominic masih belum selesai dengan pembicaraan mereka. Janice sudah terlalu bosan menunggu. Bukankah tadi Brandon bilang suma sebentar? Apalagi Janice masih ingin berbicara empat mata dengan Dominic tentang kakeknya Ares. Setelah puluhan tahun gadis itu mencari tahu tentang keberadaan kakeknya dan hasilnya selalu nihil, akhirnya, hari ini dia seperti menemukan titik cerah. Jika ibunya masih ada, mungkin dia akan langsung menghubungi
Setelah kembali dari Karawang, Dominic tidak langsung kembali ke kantor. Barusan Reina meneleponnya dan mengajaknya bertemu di suatu tempat. Tepatnya di sebuah restoran Italia yang berada di pusat ibu kota. Dominic cukup penasaran apa tujuan Reina mengajaknya bertemu sekarang, di restoran mahal pula. Apakah wanita itu sudah mendapat gebetan baru yang merupakan pengusaha kaya raya seperi dirinya? Namun dugaan Dom salah. Dia justru lebih terkejut melihat siapa yang kini duduk di sebelah mantan isterinya itu. Sagara Theodor. "Dominic." Sagara berdiri, mengulurkan tangan dan disambut dengan cepat oleh Dominic. "Pak Sagara, bagaimana bisa sampai di sini?" Dominic langsung bertanya sambil duduk di kursi kosong yang tersedia. Dia juga melihat ke arah Reina sebentar, seperti ikut meminta penjelasan. "Dom, tadi aku ketemu Pak Sagara di bandara. Dan sori, aku ceritain apa yang sedang terjadi di perusahaan kamu." Sagara mengangguk membenarkan kal
Malam harinya Dominic terbaring lemas di atas kasur yang ada di apartemennya. Kepalanya sakit, pusing. Tubuhnya pun ikut lemas setelah mengetahui fakta yang begitu menyakitkan secara bertubi-tubi. Seluruh energi pria itu seperti habis terkuras dan tidak bersisa sama sekali. Dia membutuhkan Chalondra. Dia ingin dipeluk. Dia ingin dihibur. Dia ingin mendengar kata-kata manis dari gadis itu. Dan yang lebih penting, dia ingin gadis itu ada di sisinya sekarang. Namun Dominic masih tetap harus kecewa lantaran nomor ponsel Chalondra masih tidak aktif. Gadis itu benar-benar sangat tega membuatnya menderita seperti ini. “Chalondraaa!” Dominic berteriak frustasi. Dia meremas rambutnya secara kasar. Sungguh, dia sangat merindukan kekasihnya. Dia ingin Chalondra tau apa yang sedang dia rasakan sekarang. Dia juga ingin tau apa yang dirasakan gadis itu sekarang. Apakah Chalondra sudah melupakan dia? Mengapa gadis itu sanggup bersikap seperti ini? Mengapa dia sanggup mengab
Hampir sepuluh menit lamanya Chalondra menatap layar ponsel yang menampilkan pop up chat dari Dominic. Gadis itu sungguh tidak menyangka laki-laki itu akan melakukan cara apa saja untuk menghubunginya. Berganti nomor handphone ternyata tidak menyelesaikan masalah apa pun. Sekarang Cha kembali dilanda rasa gundah. Haruskah dia membaca pesan tersebut? Dominic jelas-jelas mengatakan kalau pria itu sangat membutuhkannya, merindukannya. Grace yang kebetulan sedang berkunjung ke kamar Chalondra tentu saja menyadari apa yang sedang dipikirkan adik sepupunya itu. Chalondra pasti sedang mengalami perang antara hati dan pikirannya. “Cha.” Grace menyentuh lengan gadis kecil itu dan membuatnya terkesiap. “E-eh, i-iya Kak Grace?” “Kamu bahagia kayak gini?” “Ka-kayak gini gimana maksudnya, Kak?” Grace memanjangkan dagunya dan menunjuk ke arah ponsel gadis itu. “Menghilang, kabur tanpa kabar.” “Oh …” Chalondra pun langsung mengerti. “Aku ngga