Share

MSB 1 - FIRST IMPRESSION

ANASTASIA POV

Aku merapikan rambutku yang berantakan, sengaja mengikatnya ke belakang agar tidak terlihat berantakan.

Sial karena bangun kesiangan, aku jadi tidak sempat menata rambut-ku.

Eder, 

Eder,

Berulang kali aku mengulangi namanya. Aku tidak baik dalam mengingat nama, terlebih nama calon saudara tiriku itu hampir sama, Eder kakaknya dan Earl adiknya.

Aku tidak perlu menjemput Earl, kata Daddy Earl sudah sampai kemarin malam dijemput Tante Yuli, Earl mengubah jadwal penerbangannya kemarin menghindari delay karena erupsi Gunung Agung, di Bali.

Dan disinilah aku,

Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta menjemput calon saudara tiriku yang lain, Eder, anak tertua tante Yuli.

"Dimana sih?" Gumamku celingak-celinguk, mulai kesal karena tidak ketemu-ketemu.

Hanya berbekal ingatan samar-samar dari foto yang Daddy tujukan kemarin malam, aku mencoba mencari wajah yang sesuai dengan yang ada di ingatkanku. 

Wajah bule, akan selalu mencolok jika dibandara. gumamku dalam hati,

Aku berhenti didepan billboard besar yang menunjukkan jadwal dari pesawat-pesawat yang ada.

Mati aku,

Pesawat dari California sudah tiba dari setengah jam yang lalu.

Setengah jam yang lalu. ulangku panik. "Dimana sih Earl? Eh bukan, Eder."

"Ah iya telpon Daddy," merogoh saku celana mengambil benda yang satu-satunya disana, aku menekan speed deal pertama pada layar iPhone-ku.

Daddy.

Tuttt...

Nada sambung bergantian mulai terdengar,

Aku memutuskan untuk melanjutkan langkahku sekali-kali menoleh kesana-kemari mencari sosok Bule yang mungkin saja adalah Eder.

Hingga...

"Auw." Aku berbalik, menatap sengit orang yang dengan sembarangan duduk selonjor disalah satu kursi tunggu, "Hei kalau punya kaki itu..." kata-kataku menggantung saat melihat siapa pemilik kaki itu.

Eder Von... Aduh siapa nama belakangnya.

Dia,

Laki-laki dengan kaki panjang yang seenaknya selonjoran itu, Eder Von yang nama belakangnya bahkan masih belum aku ingat.

"Halo, iya Ana.." suara Daddy terdengar dari sambungan telepon.

"Gak jadi Dad, udah ketemu." Sahutku langsung mematikan sambungan telepon, dan masih menatap Laki-laki yang balas menatapku bingung.

"Eder Von, hmm." Aku berdaham, "Eder bukan?"

Persetan dengan nama belakangnya, yang jelas dia pasti EDER,

Calon saudara tiriku.

EDER POV

Eder Von Mirendeff.

Itu namaku blasteran Jawa Perancis, berumur di pertengahan dua puluh tahunan.

Well, mungkin gen Prancis dari Daddy lebih dominan dibandingkan dengan Mommy yang notabennya seorang Jawa Tulen, maka dari itu tidak heran semenjak kakiku menginjak tanah kelahiran Mommy, semua terperangah menatapku.

Perawakan tinggi dan gagah, 185 cm dengan berat proporsional. Iris mata biru laut khas bule dan berbadan putih, membuat aku menjadi satu-satunya hal yang paling mencolok saat mengantri di area bea cukai.

Tapi jangan salah, aku bisa bahasa Jawa, kalau diperlukan.

Cool Mas Bro!!

Aku sudah tidak ada perasaan asing atau terusik dengan tatapan kagum dan menjadi pusat perhatian itu tapi aku paling membenci dimana aku harus berdiri lama, menunggu seseorang dan menjadi pusat perhatian terlalu lama.

Itu sialan canggung,

Tersenyum salah,

Tidak tersenyum juga lebih salah,

Ini Indonesia, terkenal dengan warga negaranya yang ramah. Dan itu benar-benar berbeda dengan Amerika. Disana, jika terlalu banyak tersenyum seseorang mungkin akan memukul wajahmu. Mereka akan berpikir jika kau orang mesum.

Dimana Anastasia Sandhy Nugroho itu? 

Calon Saudara tiriku yang kata Mommy akan menjemputku.

Aku masih berdiri dengan koper di samping kananku, sesekali tersenyum canggung dengan beberapa pramugari yang terlihat sengaja berjalan didepanku.

5 menit..

10 menit..

15 menit..

Aku menoleh kekanan dan kekiri, tidak ada gadis yang berwajah sama dengan yang Mom kirim fotonya via W******p.

Anastasia Sandhy Nugroho, dia seumuran denganku.

20 menit..

25 menit..

Aku melirik jam-ku.

Sial, aku benci menunggu.

Dengan kasar aku menarik koperku menuju bangku tunggu terdekat, Menyelonjorkan kakiku lalu mengeluarkan benda persegi yang tak lain iPhone-ku.

5 menit lagi, dia gak datang, aku akan telpon Earl.

Hingga...

"Auw.." Desisanku berbarengan dengan orang yang dengan butanya menendang kakiku.

Belum sempat aku mengumpat lalu memarahinya, dia sudah mengeluarkan suara, "Hei kalau punya kaki itu..."

Keningku berkerut, dia Anastasia Sandhy Nugroho.

"Eder Von hmm.."

"Eder bukan?"

Binggo, dia Anastasia Sandhy Nugroho, calon saudara tiriku.

Aku bangkit dari tempat dudukku, dengan rasa sedikit ngilu di tulang kering-ku.

Dia lebih pendek dariku, kira-kira 165 cm dengan tubuh yang.. ya bolehlah, wajahnya melengo masih menunggu jawabanku.

"Eder Von Mirrenderf." Menyebutkan namaku, "Anastasia Sandhy Nugroho?" aku balik bertanya padanya, memeriksa apakah benar dia orangnya.

"Oh iya, Mirrenderf, tadi saya coba inget-inget cuma tetap gak inget." Dia tersenyum, "oh iya, saya Anastasia."

ANASTASIA POV

"Gue tuh udah nunggu lama tau! Dan tulang kering gue sakit, gara-gara lo tendang!"

Tweng..

Terasa ada bunyi lucu di kepalaku yang menyadarkan lamunan keren tentang laki-laki yang ada dihadapanku ini. "Eh, Bule ngomong lo gue juga?" Dengan bloon-nya pertanyaan itu main keluar dari mulut-ku tanpa dicerna terlebih dahulu.

Wajah bingung Eder yang semula terlihat berubah menjadi ketus, "Emang kenapa Bule gak boleh ngomong gue lo?"

Garangnya.. Batinku, melihat nadanya yang ngegas tiba-tiba. 

"Bukannya gitu, Cuma yaaa.." kalimat-ku menggantung, "Saya kira cuma bisa ngomong 5W+1H aja."

"Kenapa telat?" Cercanya, dia bahkan tidak menyahutiku.

Dia benar-benar kesal.

"Maaf, tadi jalanan macet." Jawabku bohong, aku gak mungkin bilang kalau aku bangun kesiangan-kan, itu bisa merusak image-ku.

"Kenapa gak lewat tol?"

"Masih macet." jawabku sesegera mungkin,

"Kok bisa macet?"

Dia itu cerewet, "Ya inikan Jakarta bukannya California."

Eder menatapku sinis, dan aku balik menatapnya, "Apa?" sahutku,

"Parkir mobil dimana? Pinggang gue udah pegel-pegel nih." Eder menarik kopernya berjalan beberapa langkah didepanku.

"Masih muda udah encok." sahutku, aku langsung menggigit bibirku sendiri menyadari jika seharusnya aku tidak menyahuti perkataannya dengan sembarang.

"Ngomong Apa?" Sahutnya menoleh padaku.

"Lah kamu tahu encok juga?"

Eder menghela nafas, "Oh Jesus Christ, Come on, apa lo mau gue seret kaya koper ini juga?"

"Iya iya." aku mengikutinya, sesekali melirik pada wajahnya yang terlihat tampan bahkan saat menggerutu tidak jelas.

Ini pertama kalinya aku ketemu Bule cerewet yang gak sabaran kaya dia!

EDER POV

"Jadi, kamu kuliah atau fokus di bisnis?"

Aku melirik pada seseorang yang duduk disampingku, Ana mencoba untuk membuka obrolan denganku dan ini sudah kesekian kalinya ia berbasa-basi padaku.

"Sudah lulus." Jawabku malas.

Oh ayolah bukan memberi kesan buruk tapi aku sungguh sialan capek, seharian lebih diatas pesawat, mulai merasa jet lag dan ditambah dengan jemputan telat yang membuatku harus berlama-lama menjadi pusat perhatian.

Sukses menghancurkan mood-ku.

Totally Damaged.

Aku jadi sialan uring-uringan!

"Lulus tahun berapa?" Aku mendengar nada tak percaya, "Daddy bilang kamu punya bisnis."

"Tahun kemarin." Aku berpaling melihat jendela mobil, Jakarta yang selalu macet walaupun sudah berada di jalur tol.

Terlihat sama seperti apa yang aku baca dan yang aku lihat melalui berita,

"Aku punya Clothing Brand sendiri." Tambahku malas, merasa jika ia sudah kehabisan topik dan suasana di mobil menjadi canggung.

"Oh keren, jadi jurusannya?" tanyanya lagi,

Sedikit menyesal dengan keputusanku.

"Bisnis." sahutku singkat.

I don't even care if she thinking I'm so bad, karena tidak bertanya balik tentang dirinya. Oh my lord aku hanya ingin sampai rumah, pergi mandi lalu tidur.

"Jadi orang tua kita akan menikah." gumamnya, yang masih bisa kudengar.

Aku melirik ke arahnya sekilas, ekspresi wajah-nya menerawang, seperti mengenang sesuatu yang entah apa itu, mungkin bagian dari memory hidupnya.

"Mereka sudah cukup tua untuk mengambil keputusan." Sahutku sekenanya.

Aku tidak suka pembahasan ini.

Entahlah, aku terlalu lelah menanggapi orang tua yang bersikap egois hingga aku dewasa.

"Kamu setuju?" Tanya Ana seakan ia ragu untuk bertanya.

"Gue bilang gak pun mereka gak akan mau dengar." Aku menoleh sekilas pada Anastasia, ekspresinya masih sama.

First Impression, Anastasia tipikal orang yang mudah dibaca hanya dengan raut wajahnya.

Raut wajah Anastasia berubah, dia tertawa renyah, seakan mendengar lelucon garing dan dia perlu tertawa untuk menghargai lelucon itu. "Saya tidak bisa berkata apa-apa." Sahutnya, dia tersenyum, "Daddy terlihat bahagia."

Bahagia.

Apa Mommy Bahagia?

Entahlah, tapi bukankah, ini lebih baik?

Daddy bisa menikah dengan jalang itu dan aku bersikap tak mau tahu, lalu kenapa Mommy, tidak bisa.

"Bagaimana Daddy lo?" Tanyaku, aku ingin tahu apa Mommy mendapatkan seseorang yang pantas untuknya, aku harap tidak seperti Daddy.

"The best father ever." Ana tersenyum sekali lagi, aku berani bertaruh pasti dia memikirkan sosok Papa-nya.

"Dan gimana Mama kamu?"

"Be honest, gue sudah gak mengenal mereka sejak mereka divorce." Jawabku datar.

Mereka yang aku maksud disini adalah Kedua orang tua itu.

Aku menoleh kembali ke jendela, bayangan itu kembali menyeruak di kepalaku.

Bagaimana masa lalu membuatku berpikir sekali lagi apa arti keluarga yang utuh itu?

Apa ada keluarga yang benar-benar utuh?

Dan benar-benar memiliki peran untuk satu sama lain?

Atau memang ada beberapa orang yang tidak seberuntung itu, termasuk aku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurul Abdullah
Sangat terbaik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status