Share

MSB 3 - BLUE EYES BERSAUDARA

EDER POV

Harus aku akui calon ayah tiriku memang hebat,

Bagaimana dia mendesain rumah minimalis ini dengan begitu apik, hunian yang sangat diimpi-impikan setiap orang. Bahkan detail sederhana seperti tatanan hiasan pun diperhatikan sangat baik.

Aku tercengang,

Nugroho Putra, Dia memang bukan arsitek biasa, tidak hanya kreativitas yang tinggi dia juga punya selera yang bagus.

Seperti kamar yang aku tempati saat ini, didominasi dengan warna abu-abu, benar-benar terlihat elegan dan nyaman untuk ditinggali. Aku mengangguk-angguk sekali lagi, meninggalkan koper-ku hanya beberapa meter di dekat pintu. Menjatuhkan tubuh lelahku di kasur empuk yang sedari tadi melambai-lambai ke arahku.

"Finally." Desahku lesu,

Mataku menatap langit kaca yang langsung menampilkan langit luar.

Aku menyukai detail ini, sekali lagi aku hanya bisa mengagumi bagaimana calon ayah tiriku yang jenius dalam mendesain interior rumah. Apakah dia tidak keberatan jika kuminta untuk mendesain sebuah rumah untukku di masa depan?

Sebelumnya aku tidak peduli dengan siapa Mommy akan menikah, tapi saat bertemu dengan Nugroho, aku merasa pilihan Mommy tepat. Setidaknya Nugroho sudah berhasil dalam hidupnya, seharusnya dia bisa menjaga Mommy.

Walaupun itu hanya perkiraan setidaknya aku merasa lega.

Tidak seperti Daddy.

Oh poor Daddy, dia masih terjebak dengan sih jalang itu.

Tok..

Tok..

Pintu diketuk beberapa kali lalu terbuka sedikit, Menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih cantik diusianya, Mommy dia berdiri diambang pintu terlihat ragu-ragu ingin masuk kedalam ruangan.

"Ed, Apa Mommy diizinkan masuk?"ujarnya, dengan wajah memelas yang aku sendiri tidak tahu kenapa ia memasang wajah seperti itu, Apa dia merasa sungkan?

Aku bangkit dari posisiku mengangguk sekilas, mengisyaratkan untuk Mommy masuk ke lebih dalam.

Mommy duduk dipinggir kasur, sedangkan aku masih pada posisi-ku, tidak berniat untuk membuat pergerakkan sama sekali.

Canggung. Entah bagaimana bisa hubungan anak dan ibu jadi secanggung ini? Tapi itulah yang aku rasakan saat ini.

"Terimakasih karena kamu menyempatkan untuk datang." katanya tersenyum tulus,

Aku tersenyum sekilas, hanya diam saat Mommy meraih tanganku dan menggenggamnya erat, "Mommy sangat senang." tambahnya,

"Aku bisa melihatnya." Sahutku sekenanya,

Mommy menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan,

Jangan melihatku seperti itu, Apalagi yang bisa aku katakan?

"Mommy tidak sempat menceritakan bagaimana Nugroho, Earl sudah mendengar semuanya tapi Eder terlalu jauh untuk mendengar ceritanya."

Aku tersenyum miris, kau yang dulu menjauhi-ku Mom, aku masih ingat dengan jelas saat-saat kelam itu.

"Nugroho orang yang baik, bertanggung jawab, dan perhatian. Dia cinta pertama Mommy jauh sebelum Mommy ketemu Daddy kamu."

Sejujurnya, aku tidak ingin tahu, tapi apa boleh buat aku harus bersabar untuk mendengarnya.

Inilah alasanku kenapa lebih menyukai hidup sendiri, Aku tidak perlu mendengar pendapatan, perasaan dan pemikiran orang lain, yang bahkan tidak menanyai opini-ku. Seperti mereka yang tidak peduli padaku, kenapa aku harus peduli? Kenapa aku harus menjadi pendengar yang baik ketika mereka bahkan tidak menanyai pendapatku?

Hingga saat ini, Mommy masih egois.

"Dan Anastasia, dia gadis yang manis, Nugroho berhasil mendidik Anastasia."

Lalu, bagaimana dengan Mommy? Apa Mommy berhasil mendidikku? Pertanyaan ketus muncul begitu saja dalam benakku.

"Mommy tidak perlu menceritakan semuanya, sejujurnya aku masih mengalami jet lag. Dan yeah, Mommy memiliki semua keputusan dalam hidup Mommy."

Aku menarik tanganku menjauh, aku tidak biasa dengan genggaman tangan itu. "Aku datang hanya ingin memastikan bahwa Mommy tidak seperti Daddy mendapatkan seorang Jalang yang hanya tahu bagaimana cara menghabiskan uang."

"Dan aku bisa melihat bagaimana Nugroho berhasil dengan hidupnya, itu akan lebih mudah untuknya membuat hidup Mommy bahagia." Aku menarik nafas, "Mommy tidak perlu menceritakan segala kenangan dan kebaikannya untuk membuatku mengatakan iya, ataupun-" Aku sedikit menggantung perkataanku, "Membuatku terkesan. Saat seseorang sukses dengan hidupnya, orang itu pantas untuk dijadikan sandaran."

"Jika Mommy ingat, aku sudah di pertengahan dua puluh tahun dan aku tahu beberapa poin tentang hidup, aku sudah cukup tua untuk mengerti setiap orang bersikap egois untuk membahagiakan diri mereka sendiri." tambahku, kenyataan bahwa keegoisan adalah sifat alami setiap orang,

Aku menjilat sekilas bibirku, "Jika Mommy bahagia, Aku juga akan bahagia." Bangkit dari posisiku, "Aku ingin mandi, badanku terasa lengket."

"Eder.." panggilnya lirih,

Aku berhenti, menarik nafasku. Apa lagi kali ini? Aku benar-benar lelah mendengar omong kosong yang seolah-olah harus aku mengerti.

Aku berusaha menahan diriku, aku cukup tua merengek pada Mommy untuk menanyakan bagaimana hidupku di California daripada menceritakan kisah cinta pertamanya. Itu menyedihkan, bahkan dia tidak menanyakan apakah hidup atau bisnisku baik-baik saja? Apa aku mengalami kesulitan selama tinggal sendirian? Apakah Daddy masih mengganggu-ku?

Tapi aku rasa, dia terlalu kasmaran sehingga perasaannya sebagai seorang ibu menghilang.

"Ed, maafkan Mommy."

Dan entah kenapa kata itu tidak cukup untukku, tidak cukup membuatku merasa lebih baik.

Maaf? seandainya kata itu mampu membuatku sedikit merasa lebih baik mungkin aku tidak akan seperti ini.

Sepertinya aku harus menerapkan mengunci pintu sebelum aku mandi. Aku lupa bahwa aku tidak sedang berada didalam rumahku sendiri, semua penghuni bisa keluar dan masuk kekamarku semaunya. tadi Mommy dan sekarang adikku sendiri,

Earl Von Mirrendeff.

Dia disini,

Dan aku yakin dia akan mulai bertanya banyak hal padaku, termasuk tentang Daddy.

Earl membelakangiku, dia tidak menyadari diriku yang berdiri beberapa meter darinya sebelum suara pintu kamar mandi tertutup membuatnya menoleh ke arahku.

"What?" Reflek-ku bertanya saat dia menoleh, menangkapku dengan mata birunya, iris mata yang sama persis dengan milikku.

Gen yang tidak bisa dipisahkan,

Gen yang tidak bisa dielakkan,

Yang mau tidak mau harus kuterima apa adanya, itu yang namanya persaudaraan.

Hanya mungkin yang membedakan kami berdua adalah kasih sayang yang diberikan. Aku tersenyum miris, merasa iri dengan adik kandung itu tidak baik tapi jika aku kembali mengingat masa lalu aku tidak bisa berhenti untuk merasa iri padanya.

Earl hidup dengan penuh kasih sayang Mommy, Dan karena itu pula dia tumbuh berkembang dengan baik. Sedangkan aku, Aku bahkan tidak bisa membedakan apa aku termasuk orang yang baik?

"Tidak ada." jawabnya.

Aku tidak memperdulikannya, berjalan santai sambil mengeringkan rambut-ku dengan handuk.

"Daddy, dia apa kabar?" Tanya Earl, pertanyaan seribu dolar yang sudah aku tebak akhirnya terlontar dari bibirnya yang sedari tadi diam saja. Lagi-lagi aku merasa kesal tanpa alasan, sampai kapan semua orang hanya bertanya dan memberitahu apapun yang mereka inginkan tapi mereka tidak cukup peduli dengan hidup yang dijalankan orang lain?

Apa terlalu sulit menanyakan bagaimana hidupku? atau mereka tidak terpikirkan untuk pertanya itu.

Aku bisa merasakan dia memperhatikan gerak-gerikku dari belakang, menusuk tajam melalui punggungku. Well, sekedar info gen Mirrenderf memiliki mata biru tajam yang mematikan dan mengintimidasi.

Tidak hanya Daddy, aku dan Earl memilikinya dari kecil.

"Good, I think." Jawabku asal, "Lo bisa telepon atau Skype-kan?"

"Terakhir gue Skype yang angkat tunangannya." Sahutnya, aku bisa mendengar dengan jelas nada lesu dari jawaban Earl.

Dia kecewa, sama sepertiku dulu.

Tapi sekarang tidak lagi, Aku tidak peduli,

waktu obat terbaik untuk hati yang terluka.

Aku tidak berniat menyahuti jawabannya, aku meraih kaos oblong putih lalu memakainya. Berusaha terlihat sibuk agar Earl keluar dari kamar. Aku sialan capek.

"Daddy sudah punya tunangan?" Tanya Earl, "Kok dia gak bilang gue? Kapan tunangannya?"

"Well, dia cuma Bitch yang baru dilamar, gak usah khawatir, Laura terlalu muda buat Daddy gue yakin Daddy cuma main-main."

Aku membalas tatapan Earl, "Gimana sekolah lo?" Mengalihkan topik yang sama sekali gak bermutu dan pada akhirnya akan merusak Mood-ku.

"Oh namanya Laura, dia umur berapa?"

Oh come on, dia tidak tahu bagaimana caranya berhenti dan tidak bisa membaca respon asal-asalan dari lawan bicaranya, "Earl, lo gak jawab pertanyaan gue, I'm asking how your school?"

"Jangan alihkan pembicaraan Ed, dia Daddy gue juga." Fuck you Earl,

Aku memutar mataku malas, "Sekitar 29 atau 30 tahun I don't even fucking care, Earl." Aku menghela nafas, "Can you leave me alone please? I'm tired."

"Kenapa lo masih bersikap seolah-olah lo gak peduli Ed?" tanyanya masih berusaha, Well, Earl. Aku memang sudah berhenti untuk peduli.

"Earl, gue capek." jawabku lesu,

Earl berdiri dari ranjangku, menepis tanganku kasar. "Kenapa lo pura-pura gak peduli?!" tanyanya, kali ini nada suaranya lebih tinggi dari sebelumnya. "Lo tahu Daddy sama seorang jalang yang cuma peduli sama uangnya saja dan lo sesantai ini? Lo anak macam apa Ed!" Bentaknya, sialan di depan wajahku.

Kesabaranku sudah habis, aku melempar handuk yang sedari tadi digenggamanku ke lantai.

Aku mendengus kasar, "Shut up dude! Lo tanya gue anak macam apa? Mommy Daddy itu orang tua macam apa?! Kenapa lo cuma mengomentari sikap gue dan pura-pura buta dengan sikap mereka?" Aku sudah dalam kekesalan yang maksimum,

"Ed...." Earl tidak bisa berkata-kata, dia terkejut dengan responku.

Hey jangan marah padaku, aku lelah, dan harus mentoleransi sesuatu seperti ini? Aku bukan orang yang sesabar itu!

"Lo tahu apa yang terjadi dan Lo tanya begitu ke gue?" Aku menarik rambutku frustasi, "Please leave me alone!" Kataku penuh penekanan, berharap dia berhenti atau aku akan lebih meledak lagi.

Earl tampak terkejut dengan reaksiku, dia berjalan lunglai kearah pintu.

Aku menghela nafas, Reaksiku tadi berlebihan tapi..

Aku tidak punya pilihan,

Aku kembali menghela nafas, "Night Earl." Kataku menatap wajahnya lalu tersenyum sekenanya.

Earl mengangguk, tersenyum canggung lalu melangkah keluar. lalu pintu pun kembali tertutup,

Bisakah aku berharap pintu itu akan tertutup selamanya?

Meninggalkan aku sendirian, dan menjadi satu-satunya yang tersisa,

Aku tidak butuh mereka,

Mereka yang egois hanya tahu rasa sakit mereka tanpa peduli lagi pada rasa sakit yang lain,

Bahkan jika kamar ini bisa menelanku kedasar, aku akan lebih bersyukur.

Aku duduk di ujung kasur, mengusap wajahku kasar,

Apa yang terjadi dulu, tidak akan bisa selesai hanya sekedar kata maaf!

Karena hati, tidak sebaik dan sesimpel itu, terlebih hati seorang anak yang kecewa pada orang tuanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
yuliana ina
prolog yang epic.. 🫰🫰.. walau sbagai orang awam, kadang bingung dgn sudut pandang pnempatan aku, kadang untuk An, kadang dri sisi Ed..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status