Share

2. Hiburan Malam

Di dalam sebuah kafe, terlihat seorang wanita tengah sibuk membersihkan sebuah piring. Dahinya berkerut dalam berusaha keras untuk menghilangkan noda kotor yang membuatnya kesal. Bahkan mesin pencuci piring pun tidak banyak membantu.

"Aduh, bikin kerjaan banget," gumam Olin masih menggosok piringnya.

Jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam dan membuatnya ingin segera pulang. Jika bukan karena jadwal piketnya untuk mengunci kafe, mungkin Olin sudah bersantai di atas tempat tidur saat ini.

"Gue pecahin aja kali ya?" Olin menggeram kesal.

"Belum selesai, Lin?" tanya Fika, temannya yang juga mendapatkan jadwal piket bersamanya malam ini.

"Belum. Lo udah selesai ngepel?"

"Udah. Aduh punggung gue." Fika mulai merenggangkan tubuhnya.

"Ya udah lo tunggu di depan aja," ucap Olin, "Habis ini gue selesai."

"Oke, gue tunggu di depan."

Olin hanya bergumam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah lima menit berkutat, akhirnya piring yang menjadi musuhnya sedari tadi sudah bersih. Dia tersenyum senang dan mulai membilasnya. Melihat pekerjaannya di dapur telah selesai, Olin bertepuk tangan puas. Dengan cepat dia melepas sarung tangannya dan bergegas menghampiri Fika yang menunggunya.

Di luar, Olin tidak melihat siapapun. Keadaan kafe yang sudah gelap membuatnya sedikit bergidik. Dia mencari keberadaan Fika di setiap kursi tapi tidak menemukannya. Baru saja akan memanggil, tiba-tiba Olin dikejutkan dengan suara pintu kafe yang terbuka. Matanya menyipit saat melihat seorang pria berjalan masuk. Tidak mungkin pelanggan bukan? Dia ingat jika sudah memasang tanda tutup di pintu kafe.

Di kegelapan malam, Olin mulai bersikap waspada. Dia tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Hanya bayangan tubuh tinggi dan tegap yang bisa ia lihat. Perlahan Olin mulai meraih sapu yang berada di belakangnya. Dia masih diam sampai pria itu berjalan melewatinya. Tanpa basa-basi, Olin langsung melayangkan sapunya ke arah pria asing itu.

"Dasar maling?! Mampus lo penyet!"

"Aduh!" Pria itu memberontak dan berusaha meraih sapu yang digunakan untuk memukulinya itu.

"Lo maling kan? Ngaku nggak lo?!"

"Saya bukan maling!"

Olin berhenti memukul saat melihat wajah pria di hadapannya. Jika sudah dekat seperti ini dia bisa melihat wajahnya dengan jelas. Olin seketika meringis, sepertinya wajah pria di hadapannya itu terlalu tampan untuk menjadi seorang pencuri.

"Ma—maaf, tapi kafe sudah tutup," ucap Olin takut.

"Lain kali tanya dulu, untung kepala saya aman." Pria itu tampak kesal dan membuang sapu dari tangan Olin.

"Lagian masuk nggak ngucap salam dulu. Masih untung saya kira Om itu maling, bukan setan," ucap Olin.

Pria itu menatap Olin tidak percaya. Jika kepalanya tidak pusing, dia siap untuk beradu argumen sampai pagi.

"Saya mau ketemu Tama."

Olin mengangkat wajahnya cepat, "Mas Tama?"

"Iya, dia belum pulang kan?"

Olin dengan cepat mengangguk, "Mas Tama ada di ruangannya, Om. Tapi—"

Tanpa menunggu jawaban Olin, pria itu langsung berbalik pergi. Dengan kesal dia mulai berjalan ke ruangan Tama. Olin berniat mencegahnya. Dia tidak bisa membiarkan orang asing memasuki ruangan atasannya. Itu tidak sopan.

"Maaf, Om. Tapi Om nggak boleh masuk. Kalau mau ketemu biar saya yang panggilin Mas Tama."

"Nggak perlu, saya bisa sendiri."

"Nggak boleh!" Olin merentangkan kedua tangannya.

"Kamu nggak perlu khawatir. Saya bukan maling dan bukan setan juga. Saya sepupunya Tama."

Kedua tangan Olin mendadak bergerak turun mendengar itu. Perlahan dia menggeser tubuhnya dan membiarkan pria itu berlalu ke ruangan Tama. Setelah menjauh, Olin menggigit bibirnya takut.

"Mampus gue, kakau dia ngadu ke Mas Tama gimana? Gue harus balik sekarang."

***

Sambil mengelus lengannya, Gevan berjalan menuju sebuah ruangan. Namun langkahnya terhenti saat pelayan yang memukulinya tadi menghadangnya. Gevan mulai kesal melihat itu.

"Kamu nggak perlu khawatir. Saya bukan maling dan bukan setan juga. Saya sepupunya Tama."

Melihat wanita di depannya yang mendadak diam, Gevan mulai teringat akan sesuatu. Jika sedang tenang seperti ini dia bisa melihat wajah lugu wanita itu dengan jelas. Benar, pantas saja Gevan merasa tidak asing dengan wanita itu, karena dia pernah melihatnya di sekitar lampu merah tadi. Ternyata wanita permen itu bekerja di kafe sepupunya.

Gevan melanjutkan langkahnya ke ruangan Tama. Tanpa mengetuk pintu, dia langsung membukanya. Helaan napas kasar keluar begitu saja dari mulutnya. Gevan berdecak saat melihat Tama tengah mencium seorang wanita di meja kerjanya. Jika dilihat dari seragamnya, sepertinya wanita itu bekerja di kafe ini.

"Gevan?" Tama tersadar dan melepas wanita di pelukannya saat ini. Dia menatap sepupunya itu dengan cengiran konyol.

"Kalau lo sibuk gue bisa balik sekarang."

Dengan cepat Tama menggeleng. Kemudian dia beralih pada wanita di sampingnya yang menunduk malu, "Kamu pulang dulu, Fik. Minta Olin tinggalin kuncinya di meja."

"Iya, Mas." Dengan cepat Fika keluar dari ruangan meninggalkan Gevan dan Tama sendiri.

Gevan menatap Tama kesal. Sebenarnya dia lebih kesal pada dirinya sendiri yang sudah melihat dua pasangan yang bercumbu hari ini. Kenapa hanya dirinya yang tampak menyedihkan di malam minggu ini?

"Jadi kenapa lo ke sini?"

"Temenin gue," ucap Gevan.

"Ke mana?"

"Club."

Dahi Tama berkerut mendengar itu. Perlahan dia terkekeh saat menyadari sesuatu.

"Habis kencan sama siapa lagi lo?"

Gevan menghela napas dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa, "Jessica."

Sekarang Tama tahu apa yang membuat Gevan menemuinya di malam hari seperti ini. Jika sudah mengajaknya ke club malam, sudah dipastikan jika Gevan baru saja melakukan kencan buta yang tidak menyenangkan. Kencan yang tidak membuatnya tertarik dan hanya membuat kepalanya semakin pusing.

"Nggak tertarik?" tanya Tama.

"Nggak sama sekali." Gevan menggelengkan kepalanya mantap.

"Lo aneh, Van. Apa jangan-jangan lo homo?"

Gevan menatap Tama tajam, "Ikut nggak?"

"Dari pada lo jajan mulu mending pilih satu, Van. Gue yakin pilihan Tante Ajeng juga pada cakep-cakep." Tama mengabaikan ucapan Gevan.

Gevan mendengkus mendengar saran Tama. Dia juga ingin seperti itu tapi ini masalah hati. Jika dengan wanita pilihan ibunya, Gevan tidak bisa bermain-main karena itu menyangkut nama baik keluarganya.

"Ikut nggak? Kalau nggak mau gue berangkat sendiri." Gevan mulai berdiri.

Tama terkekeh melihat wajah frustrasi Gevan, "Oke, gue siap-siap dulu."

"Pacar lo nggak marah kalau lo pergi ke sana?"

"Siapa pacar gue?" tanya Tama bingung.

"Yang tadi?"

"Oh, Fika?" Tama terkekeh, "Bukan pacar gue kok."

Gevan menggeleng tidak percaya, "Baru aja lo kasih saran gue buat nggak jajan, tapi lo sendiri juga tukang celup. Sama pegawai sendiri lagi."

Tama tertawa mendengarnya. Mereka mulai keluar dari ruangan bersamaan. Melihat keadaan kafe yang rapi dan sepi, sepertinya kedua pegawainya itu sudah pulang.

"Karyawan lo yang satunya tadi siapa namanya?" tanya Gevan mulai masuk ke dalam mobil.

"Yang mana? Fika? Olin?"

"Olin?" Gevan memastikan.

"Kenapa sama Olin? Jangan macem-macem, dia cewek baik-baik."

Gevan terdiam mendengar itu. Dia tahu jika wanita itu adalah wanita yang baik. Apa yang ia lihat di lampu merah tadi membuatnya yakin. Namun Gevan sedikit kesal saat wanita itu menuduhnya sebagai pencuri.

"Hampir aja kepala gue benjol gara-gara dikira maling."

"Bagus, dong. Berarti karyawan gue waspada." Tama terkekeh.

"Ceroboh yang ada."

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status