Share

3. Malam Melelahkan

Gevan melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Meskipun tubuhnya sudah terasa panas tapi bukan berarti dia akan membahayakan keselamatannya. Beruntung jalanan di jam dua pagi ini tampak sepi sehingga Gevan bisa membagi fokusnya dengan wanita di sampingnya.

Saat di lampu merah, mata Gevan mulai terpejam menikmati sentuhan tangan wanita itu di tubuhnya. Napasnya berubah berat berusaha untuk menahan diri. Sebentar lagi mereka akan sampai di hotel. Lampu berubah menjadi hijau, dengan cepat Gevan mulai melajukan mobilnya. Namun jantung Gevan terasa lepas dari tempatnya saat melihat anak kecil yang berlari ke arah mobilnya. Beruntung dia bisa mengerem secara mendadak.

"Sial!" umpat Gevan mulai keluar dari mobil.

Dia bisa melihat anak itu terjatuh sambil menyentuh kakinya. Beruntung jalanan begitu sepi sehingga peristiwa ini tidak menimbulkan kemacetan.

"Kamu nggak papa?" tanya Gevan khawatir. Rasa panas di tubuhnya mendadak hilang karena terkejut setelah menabrak seseorang.

"Kaki aku sakit, Om." Anak kecil itu mulai menangis.

Gevan meringis melihat luka itu. Tanpa basa-basi dia mulai menggendong anak itu dan membawanya ke rumah sakit. Sebagai seorang dokter tentu sudah panggilan jiwanya untuk tidak membiarkan seseorang sakit. Bahkan dia mengabaikan wanita asing yang baru ia temui tadi. Setelah sampai di rumah sakit, Gevan membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah yang cukup banyak pada wanita itu.

"Kamu pulang naik taksi."

"Kita nggak jadi ke hotel?" Wanita itu tampak kecewa.

"Enggak," jawab Gevan cepat.

Dia meninggalkan wanita itu begitu saja dan membawa anak yang ditabraknya masuk ke dalam rumah sakit. Beruntung jarak rumah sakit tidak terlalu jauh.

***

Setelah menyelesaikan masalah administrasi, Gevan masuk ke dalam ruang inap. Dia memutuskan untuk membiarkan anak itu beristirahat hingga besok agar kondisi tubuhnya membaik.

"Gimana keadaan kamu? Masih sakit?" tanya Gevan.

Sebenarnya dia sudah berbicara dengan dokter tadi. Dia hanya ingin memastikan apa yang dirasakan anak itu pada tubuhnya.

"Kaki aku perih, Om."

Gevan merasa bersalah. "Kaki kamu kegores aspal. Maaf ya."

Anak kecil itu hanya mengangguk dengan lugu, tidak terlihat marah sama sekali. Hal itu semakin membuat Gevan merasa bersalah.

"Siapa nama kamu?"

"Alif, Om."

Gevan menatap anak itu dengan lekat. Seperti tidak asing. Apa mereka pernah bertemu sebelumnya?

"Kamu yang jualan kue di lampu merah itu bukan?" tanya Gevan pada akhirnya. Ingatannya masih sangat kuat.

"Iya, Om."

Gevan menghela napas kasar, "Kamu inget nomer orang tua kamu?"

Alif dengan cepat menggeleng, "Aku nggak mau pulang, Om."

"Kenapa?"

"Aku nggak dibolehin Ibuk tidur. Aku disuruh bungkusin kue buat jualan besok."

Gevan membuka mulutnya tidak percaya, "Di jam dua pagi?"

Alif mengangguk dan mulai mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Aku kabur dari rumah. Aku mau ketemu Kak Olin, Om. Ini alamatnya."

Gevan mengambil kertas lusuh itu dan membukanya. Di sana ada sebuah alamat beserta nomor ponsel.

"Kalau gitu kamu istirahat dulu, tidur aja nggak papa. Biar Om yang telepon kakak kamu."

"Makasih, Om."

Gevan memilih untuk duduk di sofa. Beruntung luka Alif tidak terlalu parah. Namun Gevan tahu jika luka itu bisa menimbulkan rasa sakit untuk anak kecil seusia Alif.

Gevan menghela napas kasar. Kenapa dia begitu sial hari ini? Ketika akan bersenang-senang pun harus gagal karena insiden kecelakaan ini. Gevan mulai menyalakan ponsel yang ia matikan sejak tadi. Dia sengaja menghindari panggilan ibunya yang pasti bertanya mengenai kencan buta bersama Jessica. Apa yang ibunya harapkan? Tentu saja kencan itu tidak berhasil. Seperti dugaannya, ada lima panggilan dari ibunya dan dua panggilan dari Tama. Sepertinya sepupunya itu mencarinya karena sadar jika dia menghilang secara tiba-tiba.

Gevan mulai menghubungi nomor milik Kakak Alif. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di kepalanya saat ini tapi dia memilih untuk menahannya.

Apakah mereka mengenal Olin yang sama?

***

Suara pintu yang terbuka kencang mengejutkan Gevan yang tengah tertidur. Dia bangun dari sofa dan melihat seorang wanita yang tampak menghampiri Alif. Terlihat raut khawatir dari wajah wanita itu. Rasa kantuk yang Gevan rasakan langsung hilang saat menyadari sesuatu.

"Kamu?" tanyanya terkejut. Benar dugaannya, ternyata mereka mengenal Olin yang sama.

Olin mengalihkan pandangannya dan menatap Gevan terkejut. "Loh, Om sepupunya Mas Tama kan? Kok di sini?"

"Kamu kakaknya Alif?" Gevan bertanya tanpa menjawab pertanyaan Olin.

Dengan cepat Olin mengangguk tapi satu detik kemudian dia langsung menggeleng. Dia menggaruk lehernya bingung.

"Kamu Kakaknya Alif bukan?" Gevan mulai kesal.

"Iya."

Gevan menghela napas kasar, "Harusnya kamu lebih perhatiin adik kamu. Dia masih kecil. Kamu tau apa yang terjadi sama Alif tadi? Kamu harusnya ingetin Ibu kamu buat nyuruh Alif istirahat, bukannya malah nyiapin kue buat jualan."

Raut wajah Olin berubah sedih mendengar itu. Andai saja dia bisa melakukannya tentu dia akan melakukannya.

"Sebenernya saya bukan kakak kandungnya Alif, Om." Olin menunduk sedih.

"Maksud kamu?"

"Gimana ya? Susah jelasinnya."

"Duduk. Jelasin sama saya."

Olin dengan cepat duduk di kursi samping ranjang. Dia mengelus dahi Alif yang tengah tertidur pulas. Sepertinya anak itu benar-benar kelelahan.

"Sebenernya saya bukan kakak kandung Alif, tapi saya udah anggep dia kayak adik sendiri."

"Jadi nggak ada ikatan darah di antara kalian?"

Olin mengangguk mantap, "Nggak ada."

Gevan menatap Olin lekat. Dia bisa melihat kesedihan di matanya saat melihat kondisi Alif.

"Saya minta maaf. Saya nggak sengaja tabrak Alif waktu dia mau ke rumah kamu."

"Tapi Alif nggak papa kan, Om?"

"Cuma luka gores, tapi dia juga kelelahan. Makanya saya suruh istirahat."

Olin memainkan tangannya gelisah, "Untuk biaya rumah sakitnya gimana, Om? Mahal nggak?"

"Emang kenapa?"

"Kalau mahal nanti saya cicil ya?"

Gevan dengan cepat menggeleng, "Nggak perlu. Biar itu jadi urusan saya."

Olin mengangguk dan tersenyum senang. Gevan sedikit terkejut melihat senyum itu. Senyum yang sama seperti yang ia lihat saat berada di lampu merah, saat Olin membagikan permennya pada anak-anak.

Manis.

Olin berdeham dan kembali menatap Alif. Jujur dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Pertemuan pertamanya dengan sepupu Tama di kafe tadi malam sedikit membuatnya segan. Bagaimana bisa dia menuduh pria itu sebagai pencuri? Sedangkan penampilannya saja jauh dari kata itu. Lalu sekarang mereka kembali bertemu dengan keadaan yang tidak bisa dikatakan baik.

"Kamu kenal orang tua Alif?"

Olin kembali menatap Gevab, "Kenal, Om."

"Kamu nggak ingetin mereka untuk lebih perhatiin kondisi kesehatan Alif?"

"Pernah, Om. Tapi saya yang kena semprot." Olin mendengkus mengingat kejadian itu, "Dari situ saya trauma, kapok ketemu mereka lagi. Makanya saya kalau ketemu Alif itu diem-diem, waktu dia jualan."

Gevan menghela napas kasar. Jujur saja kepalanya pusing saat ini karena kurang tidur dan memikirkan banyak hal. Beruntung besok tidak ada jadwal praktek. Hingga saat ini dia masih tidak habis pikir dengan orang tua Alif. Kenapa mereka tega menjadikan Alif sebagai robot penghasil uang?

Olin berdeham dan kembali berbicara. "Nama Om siapa?" tanyanya hati-hati.

"Gevan."

Olin menganguk mengerti, "Om Gevan kalau capek pulang aja nggak papa, biar Alif saya yang jaga."

Gevan menggeleng dan kembali merebahkan diri di sofa, "Saya tidur di sini sampai besok. Saya ngantuk jadi nggak bisa nyetir."

"Oke, Om."

"Bangunin saya besok."

"Oke, Om," jawab Olin lagi.

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status