Gevan melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Meskipun tubuhnya sudah terasa panas tapi bukan berarti dia akan membahayakan keselamatannya. Beruntung jalanan di jam dua pagi ini tampak sepi sehingga Gevan bisa membagi fokusnya dengan wanita di sampingnya.
Saat di lampu merah, mata Gevan mulai terpejam menikmati sentuhan tangan wanita itu di tubuhnya. Napasnya berubah berat berusaha untuk menahan diri. Sebentar lagi mereka akan sampai di hotel. Lampu berubah menjadi hijau, dengan cepat Gevan mulai melajukan mobilnya. Namun jantung Gevan terasa lepas dari tempatnya saat melihat anak kecil yang berlari ke arah mobilnya. Beruntung dia bisa mengerem secara mendadak. "Sial!" umpat Gevan mulai keluar dari mobil. Dia bisa melihat anak itu terjatuh sambil menyentuh kakinya. Beruntung jalanan begitu sepi sehingga peristiwa ini tidak menimbulkan kemacetan. "Kamu nggak papa?" tanya Gevan khawatir. Rasa panas di tubuhnya mendadak hilang karena terkejut setelah menabrak seseorang. "Kaki aku sakit, Om." Anak kecil itu mulai menangis. Gevan meringis melihat luka itu. Tanpa basa-basi dia mulai menggendong anak itu dan membawanya ke rumah sakit. Sebagai seorang dokter tentu sudah panggilan jiwanya untuk tidak membiarkan seseorang sakit. Bahkan dia mengabaikan wanita asing yang baru ia temui tadi. Setelah sampai di rumah sakit, Gevan membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah yang cukup banyak pada wanita itu. "Kamu pulang naik taksi." "Kita nggak jadi ke hotel?" Wanita itu tampak kecewa. "Enggak," jawab Gevan cepat. Dia meninggalkan wanita itu begitu saja dan membawa anak yang ditabraknya masuk ke dalam rumah sakit. Beruntung jarak rumah sakit tidak terlalu jauh. *** Setelah menyelesaikan masalah administrasi, Gevan masuk ke dalam ruang inap. Dia memutuskan untuk membiarkan anak itu beristirahat hingga besok agar kondisi tubuhnya membaik. "Gimana keadaan kamu? Masih sakit?" tanya Gevan. Sebenarnya dia sudah berbicara dengan dokter tadi. Dia hanya ingin memastikan apa yang dirasakan anak itu pada tubuhnya. "Kaki aku perih, Om." Gevan merasa bersalah. "Kaki kamu kegores aspal. Maaf ya." Anak kecil itu hanya mengangguk dengan lugu, tidak terlihat marah sama sekali. Hal itu semakin membuat Gevan merasa bersalah. "Siapa nama kamu?" "Alif, Om." Gevan menatap anak itu dengan lekat. Seperti tidak asing. Apa mereka pernah bertemu sebelumnya? "Kamu yang jualan kue di lampu merah itu bukan?" tanya Gevan pada akhirnya. Ingatannya masih sangat kuat. "Iya, Om." Gevan menghela napas kasar, "Kamu inget nomer orang tua kamu?" Alif dengan cepat menggeleng, "Aku nggak mau pulang, Om." "Kenapa?" "Aku nggak dibolehin Ibuk tidur. Aku disuruh bungkusin kue buat jualan besok." Gevan membuka mulutnya tidak percaya, "Di jam dua pagi?" Alif mengangguk dan mulai mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Aku kabur dari rumah. Aku mau ketemu Kak Olin, Om. Ini alamatnya." Gevan mengambil kertas lusuh itu dan membukanya. Di sana ada sebuah alamat beserta nomor ponsel. "Kalau gitu kamu istirahat dulu, tidur aja nggak papa. Biar Om yang telepon kakak kamu." "Makasih, Om." Gevan memilih untuk duduk di sofa. Beruntung luka Alif tidak terlalu parah. Namun Gevan tahu jika luka itu bisa menimbulkan rasa sakit untuk anak kecil seusia Alif. Gevan menghela napas kasar. Kenapa dia begitu sial hari ini? Ketika akan bersenang-senang pun harus gagal karena insiden kecelakaan ini. Gevan mulai menyalakan ponsel yang ia matikan sejak tadi. Dia sengaja menghindari panggilan ibunya yang pasti bertanya mengenai kencan buta bersama Jessica. Apa yang ibunya harapkan? Tentu saja kencan itu tidak berhasil. Seperti dugaannya, ada lima panggilan dari ibunya dan dua panggilan dari Tama. Sepertinya sepupunya itu mencarinya karena sadar jika dia menghilang secara tiba-tiba. Gevan mulai menghubungi nomor milik Kakak Alif. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di kepalanya saat ini tapi dia memilih untuk menahannya. Apakah mereka mengenal Olin yang sama? *** Suara pintu yang terbuka kencang mengejutkan Gevan yang tengah tertidur. Dia bangun dari sofa dan melihat seorang wanita yang tampak menghampiri Alif. Terlihat raut khawatir dari wajah wanita itu. Rasa kantuk yang Gevan rasakan langsung hilang saat menyadari sesuatu. "Kamu?" tanyanya terkejut. Benar dugaannya, ternyata mereka mengenal Olin yang sama. Olin mengalihkan pandangannya dan menatap Gevan terkejut. "Loh, Om sepupunya Mas Tama kan? Kok di sini?" "Kamu kakaknya Alif?" Gevan bertanya tanpa menjawab pertanyaan Olin. Dengan cepat Olin mengangguk tapi satu detik kemudian dia langsung menggeleng. Dia menggaruk lehernya bingung. "Kamu Kakaknya Alif bukan?" Gevan mulai kesal. "Iya." Gevan menghela napas kasar, "Harusnya kamu lebih perhatiin adik kamu. Dia masih kecil. Kamu tau apa yang terjadi sama Alif tadi? Kamu harusnya ingetin Ibu kamu buat nyuruh Alif istirahat, bukannya malah nyiapin kue buat jualan." Raut wajah Olin berubah sedih mendengar itu. Andai saja dia bisa melakukannya tentu dia akan melakukannya. "Sebenernya saya bukan kakak kandungnya Alif, Om." Olin menunduk sedih. "Maksud kamu?" "Gimana ya? Susah jelasinnya." "Duduk. Jelasin sama saya." Olin dengan cepat duduk di kursi samping ranjang. Dia mengelus dahi Alif yang tengah tertidur pulas. Sepertinya anak itu benar-benar kelelahan. "Sebenernya saya bukan kakak kandung Alif, tapi saya udah anggep dia kayak adik sendiri." "Jadi nggak ada ikatan darah di antara kalian?" Olin mengangguk mantap, "Nggak ada." Gevan menatap Olin lekat. Dia bisa melihat kesedihan di matanya saat melihat kondisi Alif. "Saya minta maaf. Saya nggak sengaja tabrak Alif waktu dia mau ke rumah kamu." "Tapi Alif nggak papa kan, Om?" "Cuma luka gores, tapi dia juga kelelahan. Makanya saya suruh istirahat." Olin memainkan tangannya gelisah, "Untuk biaya rumah sakitnya gimana, Om? Mahal nggak?" "Emang kenapa?" "Kalau mahal nanti saya cicil ya?" Gevan dengan cepat menggeleng, "Nggak perlu. Biar itu jadi urusan saya." Olin mengangguk dan tersenyum senang. Gevan sedikit terkejut melihat senyum itu. Senyum yang sama seperti yang ia lihat saat berada di lampu merah, saat Olin membagikan permennya pada anak-anak. Manis. Olin berdeham dan kembali menatap Alif. Jujur dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Pertemuan pertamanya dengan sepupu Tama di kafe tadi malam sedikit membuatnya segan. Bagaimana bisa dia menuduh pria itu sebagai pencuri? Sedangkan penampilannya saja jauh dari kata itu. Lalu sekarang mereka kembali bertemu dengan keadaan yang tidak bisa dikatakan baik. "Kamu kenal orang tua Alif?" Olin kembali menatap Gevab, "Kenal, Om." "Kamu nggak ingetin mereka untuk lebih perhatiin kondisi kesehatan Alif?" "Pernah, Om. Tapi saya yang kena semprot." Olin mendengkus mengingat kejadian itu, "Dari situ saya trauma, kapok ketemu mereka lagi. Makanya saya kalau ketemu Alif itu diem-diem, waktu dia jualan." Gevan menghela napas kasar. Jujur saja kepalanya pusing saat ini karena kurang tidur dan memikirkan banyak hal. Beruntung besok tidak ada jadwal praktek. Hingga saat ini dia masih tidak habis pikir dengan orang tua Alif. Kenapa mereka tega menjadikan Alif sebagai robot penghasil uang? Olin berdeham dan kembali berbicara. "Nama Om siapa?" tanyanya hati-hati. "Gevan." Olin menganguk mengerti, "Om Gevan kalau capek pulang aja nggak papa, biar Alif saya yang jaga." Gevan menggeleng dan kembali merebahkan diri di sofa, "Saya tidur di sini sampai besok. Saya ngantuk jadi nggak bisa nyetir." "Oke, Om." "Bangunin saya besok." "Oke, Om," jawab Olin lagi. *** TBCDi kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela