Pagi-pagi sekali Krisna bangun dan bersiap untuk berangkat ke kantornya. Semalam ia ketiduran tanpa sempat mengisi daya ponselnya sama sekali. Krisna berangkat menggunakan Bus. Padahal sebelum Bayu ditugaskan ke Bandung, mereka selalu berangkat dan pulang bersama setiap hari.
Tepat seperti dugaannya, hari ini lingkungan kantor terasa begitu memyeramkan. Semua orang-orang bebisik dan menatapi Krisna dengan tatapan aneh. Tentu saja, berita pasti menyebar dengan cepat. Krisna berusaha tetap tenang dan melangkahkan kakinya berani. Karena bagi Krisna, dia memang tidak bersalah. Dia benar-benar bukan pelakor, jadi tidak ada alasan untuk menundukkan kepala.
Gadis itu baru saja duduk di mejanya kala seorang wanita menghampiri gadis itu. Dia Binta--sekertaris pak Gio, sekaligus satu-satunya orang yang berhasil jadi teman Krisna selama dia berada di kantor ini.
"Krisna... kamu sudah ditunggu Pak Gio di ruangannya," ucap Binta dengan raut yang sulit Krisna artikan.
"Eh, ada apa?" tanya Krisna sambil berdiri dari duduknya. Tidak biasa-biasanya Pak Gio memanggilnya sepagi ini.
"Nggak tahu juga, deh, Na," jawab Binta sambil memaksakan seulas senyum yang aneh. Benar-benar tidak singkron dengan jawaban yang wanita berambut cokelat sepunggung itu berikan.
Krisna hanya menganggukkan kepalanya sambil mengekor ragu dengan perasaan yang mengaduk isi perutnya.
Mereka sudah tiba di depan pintu berukuran besar saat Binta menghentikan langkahnya, lantas menggenggam kedua tangan Krisna erat, dengan tatapan teduh yang begitu hangat. Mungkin dia menjadi satu-satunya orang di kantor ini yang tidak menatap Krisna dengan tatapan jijik.
"Na, kamu baik-baik aja?"
"It's okey, Nta. Aku baik-baik aja," jawab Krisna sambil tersenyum. Lebih tepatnya, dia sedang pura-pura terlihat baik-baik saja. "Aku hanya ... benar-benar nggak melakukannya. Kamu tahu itu."
Binta menepuk-nepuk kecil pundak Krisna, "tentu aku tahu itu, Na. Kamu temanku. Mereka nggak seharusnya ngelakuin ini sama kamu. Kalau butuh bantuan, kamu bisa cari aku, oke?"
Krisna tersenyum sambil mengangguk. Tatapan Binta seolah menjalarkan rasa hangat hingga ke dadanya.
Binta mengetuk pintu, sebelum membukanya dan berkata, "Pak, Krisna ada di sini."
"Baik Binta, persilahkan dia masuk."
Wanita itu memutar kenop, kemudian mempersilahkan Krisna masuk.
"Aku balik ke ruanganku, ya," Binta menepuk pundak Krisna sekilas sebelum meninggalkan gadis itu di sana.
Krisna melangkahkan kakinya masuk ke ruangan besar itu dengan degup jantung yang tak beraturan. "Bapak manggil saya?" tanyanya pada Pria yang tengah duduk sofa itu.
"Ya, Krisna, silahkan duduk."
Krisna mengangguk kemudian mengambil duduk di hadapan pria itu. Pak Gio masih dengan auranya yang membuat siapa saja setuju kalau kalau bosnya itu berkarisma. Usianya boleh hampir menginjak kepala empat. Tapi penampilannya selalu tampak berwibawa. Ia memiliki segalanya. Uang, kekayaan, jabatan, kehormatan, satu-satunya yang cacat dati pria itu adalah; ia tunduk di bawah kaki istrinya. Apa lagi asalannya kalau bukan semua aset yang dia miliki merupakan milik keluarga Mayang. Semua orang tahu itu.
"Jadi begini Krisna, untuk kesalahpahaman yang kemarin, saya minta maaf sekali dengan kamu," ujarnya tulus dengan wajah yang penuh perasaan bersalah. "Maafkan atas perlakuan istri saya juga."
"Tentu saja, Pak," jawab Krisna. "Tentu saja. Itu bukan masalah untuk saya."
Sebenarnya itu masalah besar untuk Krisna. Tapi setidaknya, dia harus menurunkan sedikit lagi harga dirinya agar bisa bertahan dengan pekerjaannya.
"Jadi begini..." Gio ragu mengatakannya. "Mulai hari ini kamu tidak bisa bekerja lagi di kantor ini. Ini surat pemecatan kamu. Kamu dipecat secara tidak hormat dan tidak mendapatkan pesangon." Ia menyerahkan sebuah amplop sambil menundukkan kepalanya, membuat Krisna tercengang seketika.
"Maksud Bapak apa!" Nada bicara gadis itu meninggi. "Apa salah saya, Pak? Bapak tidak bisa memberhentikan saya begitu saja."
"Maaf sekali Krisna. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk melindungi semuanya."
Krisna berdiri dari duduknya kemudian kembali berteriak. "Apa yang berusaha Bapak lindungi? kehormatan keluarga bapak? harga diri istri bapak? perusahaan Bapak? atau selingkuhan bapak yang akhirnya membuat bapak mengkambing hitamkan saya, hah!"
Krisna kalut. dia benar-benar tidak habis pikir dengan hal gila ini. Kenapa orang lain dengan begitu kejamnya berusaha memotong dia hanya karena Krisna tidak punya apa pun. Dia tidak dapat menahan sesuatu yang hendak keluar dari kelopak matanya. Sekerika, butiran-butiran bening meluncur ke pipinya dengan bebas tanpa bisa Krisna hentikan.
"Krisna saya mohon jangan buat keributan. Kamu hanya akan semakin terluka jika kamu tetap bertahan di sini. Kamu gadis yang cerdas dan berpotensi. Perusahaan saya sangat rugi melepas kamu, tapi saya tidak punya pilihan lain. Saya mohon mengerti." Gio berusaha menenangkan Krisna, meski dia tahu kalimat apapun yang keluar dari mulutnya tetap tak akan mampu memperbaiki segalanya.
Krisna menghapus air matanya. Benar. Krisna masih bisa berkerja di tempat lain. Tidak ada gunanya bertahan di sini seperti pengemis yang hina.
Dia menatap pria di hadapannya dengan penuh kebencian. Mengambil amplop di meja tersebut, lalu meninggalkan ruangan itu begitu saja. Di sepanjang jalan Krisna menghapus air matanya dengan jari. Dia sama sekali tak ingin terlihat lemah dihadapan siapa pun. Krisna membereskan barang-barang di mejanya dan segera meninggalkan tempat itu.
***
Hari itu, Krisna tak menyia-nyiakan waktunya begitu saja. Dia segera pulang ke rumah dan mengambil sisa beberapa berkas CV, dan mulai membawa langkahnya ke beberapa perusahaan-perusahaan dengan semangat dan senyum cantik yang menghias wajahnya.
Namun, seiring dengan turunnya mentari ke barat kota, senyum di wajah Krisna pudar perlahan berbarengan dengan semangat yang tidak lagi mampu menopang kaki-kaki jenjangnya.
Krisna duduk di kursi sebuah taman mini tepi jalan, sambil memijat kecil betisnya yang terasa kebas. Dia lebih memilih berjalan kaki dengan sepatu ber-hak 10 cm itu, dari pada mengeluarkan uang barang satu rupiah saja, untuk menggunakan taxi guna menghemat pengeluaran.
Harusnya, besok adalah tenggat waktu pembayaran hutang mendiang Papa Krisna yang harus dia bayar. Namun, gajinya selama bekerja dua tahun di Winde Grup kemarin, sudah habis untuk membayar cicilan pinjaman yang Krisna gunakan untuk membayar kuliahnya. Tak ada gaji bulan ini, sama saja dengan menghilangkan kesempatan negosiasi dengan rentenir sakit jiwa yang terakhir kali datang, berhasil merampok semua tabungan yang dia miliki.
Selain merelakannya, Krisna bisa apa? Hutang 5 Miliyar, dan belum berserta bunganya itu terlalu besar untuk bisa dia lunasi. Jadi, terkadang Krisna membiarkan saja para lintah darat itu datang setiap bulan dan mengambil uang darinya, sebab, setelah itu Krisna memiliki waktu untuk bernapas ... atau setidaknya, semua itu masih lebih baik dari pada harus merelakan rumah peninggalan orang tuanya. Harta dan satu-satunya kenangan berharga yang Krisna miliki.
Ingatan Krisna terlempar pada tahun-tahun pertama sepeninggalan Mamanya. Wanita bak jelmaan malaikat yang Tuhan ambil dari hidup Krisna dalam sebuah insiden kecelakaan mobil. Mamanya menjadi satu-satunya orang yang tak berhasil selamat, menyisakan sebuah perasaan bersalah, dan luka teramat dalam di hati Papa.
Sepeninggal Mama, Papa Krisna mulai kehilangan arah hidupnya. Usahanya bangkrut karena semua uang habis digunakan berjudi. Krisna sama sekali tidak bisa melupakan bagaimana pria yang amat dia cintai itu berubah menjadi monster. Bagaimana Papanya selalu pulang larut dengan keadaan mabuk, dan menghajarnya habis-habisan. Menjadi orang yang seperti paling tersiksa dan kehilangan, tanpa memedulikan bahwa dia punya Krisna. Bahwa kehilangan Mama tak juga melukainya, tapi melukai Krisna dengan amat.
Sampai suatu saat, Sebuah kecelakaan merenggut nyawa Papanya kala tahun terakhirnya duduk di bangku SMA. Haruskah dia sedih, karena satu-satunya keluarga dan tempat bergantung yang dia miliki lagi-lagi diambil darinya? Atau justru lega, sebab itu berarti manusia egois yang selalu menyakitinya lenyap? tapi satu hal yang Krisna tahu pasti, dia hanya tinggal sebatang kara.
Krisna menghembuskan napas panjang, mendongakkan kepalanya yang sempat menunduk, menatap sebuah gedung yang menjulang di hadapannya. Mahesa Mode, adalah tujuan terakhir dari lamaran kerjanya hari ini. Sebuah perusahaan yang masuk top 5 teratas di negri ini.
Krisna mulai berdiri dari duduknya, kemudian melangkahkan kaki memasuki loby gedung dengan 35 lantai tersebut. Mahesa Mode adalah impian semua orang. Kabarnya, mereka memiliki seorang direktur muda yang begitu kompeten.
Awalnya interview berjalan lancar dan baik-baik saja. Krisna berhasil memberikan jawaban yang cukup membuat HDR itu terkesan. Gadis itu dapat melihat peluang yang cukup besar, sebelum akhirnya seorang wanita memasuki ruangan tersebut, kemudian membisikkan sesuatu pada HRD bernama Henri tersebut. Henri memandang Krisna sekilas dengan tatapan yang sulit diartikan, lantas membuang napasnya berat sebelum berujar,
"Krisna, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Ternyata posisi yang kamu lamar sudah tidak tersedia."
Persisi. Apa yang di ucapkan Henri barusan serupa dengan apa yang Krisna dengar dari para peng-interview sepanjang hari ini. Tentu saja, kalau boleh berprasangka buruk, Krisna yakin kalau ini semua adalah ulah Mayang. Dia tidak akan tinggal diam melihat dirinya sendiri dipermalukan. Padahal sudah jelas-jelas yang membuatnya seperti itu kan bukan Krisna. Krisna bahkan tidak tahu apa-apa dan tetap harus berakhir mengenaskan.
Sungguh, terlibat dengan masalah keluarga Bendrict adalah sebuah kutukan untuk hidup Krisna.
Gadis itu meninggalkan ruangan dengan langkah gontai dan perasaan kecewa yang menyesak dadanya. Krisna tak tahu lagi setelah ini harus melakukan apa.
Tanpa sadar, akibat kecerobohannya, pundak sebelah kiri Krisna menabrak seorang pria, hingga membuatnya menjatuhkan gelang yang terlepas tanpa sengaja. Krisna yang tidak menyadari itu hanya berbalik sekilas dan membungkukkan sedikit punggungnya, "maafkan aku," ucapnya tanpa menatap pria itu sama sekali. Kemudian sosoknya menghilang di persimpangan.
Sepanjang hari Krisna begitu sibuk sampai dia lupa kalau Bayu seharusnya sudah pulang sekarang. Krisna berkali kali mengirimkan pesan kepada Bayu, tapi tidak satupun dibalas. Dia juga berusaha menghubungi Gea--Kakak Bayu namun hasilnya sama.Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Krisna berjalan menuju rumah Bayu yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Krisna tak sabar ingin melepaskan semua rindu pada pria kesayangannya itu sambil memeluk Bayu erat. Dia ingin menangis di pelukan Bayu, dan mendengar Bayu meyakinkannya kalau semua hal akan baik-baik saja.Saat tiba di sana, Krisna memencet bel beberapa kali, tapi tidak seorang pun keluar membukakan pintu. Krisna mencoba menelpon Bayu namun lagi-lagi Bayu tidak menjawab panggilannya.Apa mungkin Bayu tidur?Krisna mengirimkan sebuah pesan pada pria itu.[Bay, di rumah nggak ada orang? Aku di bawah]Beberapa menit k
Sebuah tangan menarik tubuh Krisna, sesaat sebelum sebuah mobil besar menghantamnya, hingga membuat mereka terjatuh di sisi jalan."Kalau mau mati jangan di sini! nyusahin orang lain saja."Krisna mendapati wajah yang kini tidak asing lagi untuknya. Tiba-tiba saja, tangis gadis itu pecah. Timbul perasaan bersalah dibenak Bam. Apa kalimat yang dia ucapkan barusan menyakiti gadis itu? tapi Bam sungguh tak tahu bagaimana cara menghibur seseorang dengan kata-kata.Dapat Bam lihat wajah gadis di hadapannya tertutupi rambutnya yang basah berantakan. Matanya yang sesekali memejam itu mulai tampak sembab. Bibir mungilnya yang terisak, memucat. Bam kemudian mengambil tubuh Krisna dan mendekapnya kuat-kuat. Membiarkan gadis itu tenggelam dengan setiap sakitnya di dada Bam, dengan tangis yang bersaut-sautan dengan suara hujan yang semakin mendera.Mereka berdua sudah duduk di dalam mobil Bam. Mulut Krisna masih
"Kesepakatan seperti apa?""Saya akan membiarkan kamu tinggal di sini, dengan syarat, kau harus menuruti semua hal yang saya perintahkan."Sebentar ... jangan bilang, Bam akan menjual Krisna pada Om-Om hidung belang?Krisna dengan cepat menutupi tubuhnya dengan tangan, sambil menatap Bam tajam."Dan, saya juga akan melunasi hutang 2 miliyarmu pada rentenir itu," katanya lagi. Kali ini kalimat yang Bam ucapkan sontak membuat Krisna bingung."Bagaimana kamu tahu tentang hutangnya?" tanya Krisna kaget."Sudah saya bilang, Na. Saya tahu semua hal tentang kamu."Krisna cepat mengangkat garpu bekas makannya tadi di atas piringnya, lantas mengarahkan benda itu kepada Bam. "Tidak mungkin! kamu pasti penguntit!"Bam berdecak kecil. Tangannya yang besar, di arahkan pada garpu yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya, ke
Gadis itu sedang duduk di cafetaria sambil memandangi selembar kertas yang ada di hadapannya. Krisna tak tahu, bertemu dengan Bam adalah sebuah kesialan atau keberuntungan hang harus dia syukuri adanya. Karena setelah pernah kehilangan banyak hal waktu itu, Bayu menjadi hal terakhir yang membuat Krisna bertahan hidup. Mimpi dan segala rencana prihal membangun keluarga kecil yang bahagia dengan pria itu, memberikan Krisna langkah dan tujuan baru. Namun sekarang apa? Krisna bahkan tak tahu kenapa dia harus mempertahankan hidupnya. Dasar Bam saja yang seenaknya menyelamatkan Krisna, lalu memperbudaknya sebagai imbalan? tcih! tidak adil. Saat gadis itu tengah asik bergelut dengan banyak pikiran di otaknya, tiba-tiba seorang pria menyeret kursi yang ada di sebelah Krisna, lantas duduk di sana. Membuat Krisna menoleh. "Eh, Pak?" "Duh, jangan panggil gitu dong," katanya sambil t
"Krisna!""Na! bangun! sudah jam berapa ini!"Suara itu berbaur dengan ketukkan di pintu, samar-samar menyapa telinga Krisna yang masih berdiri di ambang kesadarannya. Krisna membuka matanya dengan paksa, dan menatap malas ke arah jam yang tergeletak di atas meja.Jam 05:35. Sial! Krisna kesiangan!Semalam gadis itu membaca ulang selembaran yang Bam berikan berkali-kali, agar tak ada lagi satu hal pun yang terlewat. Alhasil, dia tidur larut sekali dan lupa menyalakan jam alaram padahal jelas-jelas dijadwal tertulis jika Bam akan keluar untuk lari pada pukul 05:30 tepat. Sekarang Krisna bahkan baru membuka matanya.Krisna bergegas lari ke kamar mandi. Membasuh mukanya, mengikat rambut tinggi-tinggi, dan mengganti pakaiannya dengan setelan berwarna toska senada yang Bam belikan kemarin. Bam sudah berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di dinding sebelah pintu kamar Krisna dengan tang
Hari ini weekand, tapi Bam masih saja berjibaku dengan laptop yang ada di hadapannya. Terlihat sangat fokus. Di sini lain, Krisna tengah dengan lahap menikmati sepotong cake yang Bam bawakan semalam, sambil sesekali memfotonya, sebab paduan warna dan hiasan cake tersebut terlihat sangat lucu.Krisna berniat mengunggahnya di sosial media dengan caption penuh kebahagiaan, agar Bayu melihatnya dan tahu jika kehilangan orang yang sama sekali tidak mempercayainya, tak membuat Krisna sedih. Krisna ingin Bayu melihat jika dengan atau tanpanya, dia tetap bisa melanjutkan hidup-- tentu saja meski kenyataannya sangat berlawanan. Dia bahkan tak tahu apakah Bayu masih ingin peduli tentangnya atau tidak.Krisna meraup banyak oksigen hingga memenuhi rongga dadanya. Sesak. Tapi dia segera tersenyum saat melihat lagi foto sepotong cake yang terpampang di layar ponselnya."Terimakasih Taraaa!"
Bam yang sedang fokus dengan pekerjaannya, teralih pada sosok yang baru saja muncul di balik pintu.“Halo Bam!” sapa Kevin dengan heboh. Tentu saja bukan Kevin namanya kalau tidak seperti itu.“Hei, Vin. Ada apa kemari?”Kevin mengacak pinggang sambil memutar bola matanya. “C’mon Bam! Kamu tahu kenapa aku di sini.” Kevin kemudian menghempaskan bokongnya pada sebuah sofa panjang yang ada di sana, lalu berbaring dengan tangan yang dia lipat di belakang kepala.“Penting sekali untuk tahu?”Kevin berdecak kemudian berkata dengan nada kesal, “Astaga Bam. Gini-gini aku bos-mu, ya... bisa nggak sopan sedikit?”Bam kemudian menghentikan kegiatannya, dan melirik Kevin sebentar. “Maaf tidak dulu,” ucapnya.Sebenarnya, Bam sudah tahu alasan Kevin kemari malam ini. Pemuda berperawakan berisi itu memang rutin mendatangi rumahnya
Krisna masih terbahak-bahak melihat Bam yang kembali dengan wajah ditekuk sambil menatapnya sinis. Pemuda itu duduk lalu menyelesaikan makanannya dengan mata yang menatap Krisna tajam."Sudah berani, ya, kamu sekarang." ucapnya, membuat Krisna menggerakkan tangan mengunci mulut, dan berusaha menahan tawanya.Sewaktu Bam mengurung diri di ruang kerjanya, Kevin menawari Krisna untyk mengantarnya pergi berbelanja. Walau bagaimanapun, Krisna tetap berusaha membuktikan pada Bam jika masakannya tidak sehina apa yang keluar dari mulut Bam. Krisna mungkin hanya tak terbiasa dengan masakkan-masakkan luar negeri. Makanya gadis itu memiliha masakkan nusantara sebagai menu yang akan terus dia buat untuk Bam, meski pada awalnya Krisna tidak yakin jika Bam akan menyukai.Krisna masih tercengir, sambil memandangi Bam dengan sebelah tangan yang menopang dagunya. Membayangkan bagaimana beberapa menit lalu Bam berlari, sungguh menggelitik perut Krisna. Tentu saja, makhluk-m