"Ibu ayo, cepat ibu!" teriakan histeris seorang gadis kecil kembali terdengar ketika melihat ayahnya bangkit berdiri. Tenaga gadis mungil itu rupanya masih belum cukup kuat untuk melumpuhkan ayahnya walaupun titik lemah sudah ia pukul sekuat tenaga.
Sosok yang selalu ia banggakan di sekolah, di tempat pelatihan, maupun di mana saja kini berubah menjadi seorang psikopat haus darah yang membantai satu keluarga kecilnya. Sosok penyayang dan hebat yang selalu tersimpan dihatinya perlahan terbakar habis seiring perilaku keji yang semakin menjadi-jadi.
Pria itu kini kembali berjalan mendekati mereka, menimbulkan ketakutan luar biasa dihati Audrey dan Christie. Entahlah, mereka berdua seakan sudah pasrah akan nasib yang menimpanya ini. Bahkan jika memang harus kehilangan nyawa malam ini, Christie siap asalkan nyawa putrinya terselamatkan.
"Seandainya saja kau menuruti perkataanku dan mengugurkan kandunganmu saat itu, pasti semua ini takkan terjadi" pria berhati iblis i
Pintu ruang tamu yang kembali terbuka, menampakkan sosok sang suami sekaligus ayah yang begitu keji terhadap keluarganya sendiri. Dengan kedua dirigen minyak tanah ditangan, pria yang sudah kehilangan kewarasannya itu kembali berulah. Ia mulai menuang minyak yang ada di dalam dirigen ke setiap sudut rumah, dan Christie yang mengetahui maksud suaminya itu segera membangunkan putrinya yang tampak belum sadarkan diri."Audrey, ibu mohon bangunlah nak" tangis Christie semakin lama semakin menjadi-jadi.Wanita itu hanya bisa mendekap erat putrinya dan berharap kesadaran Audrey akan segera pulih. Berulang kali ia memohon dan berdoa, agar sang pencipta kehidupan menyelamatkan buah hatinya, ia tak peduli pada dirinya sendiri sekarang.Puluhan menit Christie habiskan hanya untuk menangis, sementara sang suami sibuk menggenangi rumah dengan minyak tanah yang entah didapatkan dari mana.Tap ... tap ... tap ...Suara langkah kaki yang menurun
Tahun 2019 - Pukul 06.00 a.m - Rumah Sakit Nasional LondonTabung oksigen yang terpasang benar-benar membantu siapapun yang membutuhkan bantuannya. Selang infus yang menancap dipunggung tangan kiri pasien juga turut menunjang keselamatan atau kesehatan pasien. Kini diranjang rumah sakit, terbaring lemah sosok yang selama ini hidup dengan penuh perjuangan.Audrey Dianne sempat dilarikan ke rumah sakit sesaat setelah ia menderita sesak napas karena terlalu banyak menghirup asap kebakaran dari kobaran api yang melahap sebagian ballroom hotel bintang 5 di London.Gadis itu sangat beruntung karena seseorang menyelamatkan nyawanya tepat ketika ia tak bisa berbuat apapun, trauma hebat yang selalu membayangi kehidupannya membuat gadis itu tak bisa berpikir jernih kala mendapati peristiwa serupa. Sungguh, bayang-bayang masa lalu yang begitu merepotkan."Tenang saja, setelah melakukan beberapa pengecekan paru-paru, Audrey Dianne tampak tak mempunyai mas
Brakkk! Brakkk! "Dasar pembunuh, entah kau dari hadapanku!" gadis itu terus saja berteriak dan melempar barang yang ada di sekitarnya seolah sedang menghukum rajam seorang perempuan yang terlihat begitu hina dibola matanya. "Hentikan, aku tak mengerti apa maksudmu Audrey" lirih Marlyn seraya melindungi wajah menggunakan lengannya. "Kau membunuh sahabatmu itu artinya kau juga membunuh ibuku!!" ucapan Audrey membuat tubuh Marlyn serasa membeku di tempat. "Apa maksudmu, Audrey?" tanya wanita itu tak mengerti dengan ucapan gadis dihadapannya. "Kau membunuh ibuku! Ibuku, Christie!!" teriakan Audrey terdengar semakin histeris, sehingga mengakibatkan beberapa orang berkumpul memenuhi pintu masuk ruang inap tempatnya terbaring. Beberapa orang yang lewat, atau yang dengan sengaja datang berkumpul, menghalangi pintu satu-satunya yang berguna sebagai jalur keluar masuk. Seolah memblokir jalan, mereka tak membiarkan siapapun melintasi jalan
Guratan senja muncul menampakkan keelokannya sekaligus menandakan bahwa hari akan segera berakhir. Beberapa jam setelah konflik ringan yang terjadi di rumah sakit ini juga telah berlalu begitu saja, termasuk Audrey yang sudah terbangun dari tidurnya dalam keadaan yang sangat baik. "Baiklah, satu suapan lagi, aa ..." Alberth mengangkat sendok yang terisi penuh dengan bubur kemudian mengarahkannya pada mulut seorang gadis yang terbuka lebar. Seseorang yang baru saja menjadi kekasihnya selama 3 hari ini. "Sudah habis, kau ingin makan lagi?" tawarnya pada gadis yang tak bisa beranjak jauh dari ranjang rumah sakitnya. "Tidak, perutku sudah penuh. Oh iya Alberth, apakah kau tak memberitahu Zoya? Mengapa ia tak kunjung datang menemuiku atau membalas pesanku?" wajah Audrey nampak murung. Namun, pertanyaan singkat yang terlontar dari celah mulut Audrey membuat hati Alberth menjadi gelisah. Ia takkan bisa mengungkapkan kondisi Zoya yang sebenarnya, ia tak
Audrey melangkahkan kaki bersama tiang infus yang berada dalam genggamannya. Beriringan dengan langkah Alberth disampingnya, mereka akhirnya berhenti di sebuah kamar inap lain tak jauh dari kamar Audrey. Perlahan Alberth menyentuh ganggang pintu tersebut dan ... Drekk ... Sebuah pintu yang mulai terbuka lebar,menampilkan ruangan yang nampak berbeda dari ruangan yang Audrey tempati. Terlihat, seorang perempuan sedang tertidur pulas di atas ranjang dengan kondisi kepala yang terbalut kain kasa. "Zoya?" panggilan itu membangunkan gadis yang sedang tertidur pulas tersebut. Gadis itu bereaksi, namun kepala dan lehernya yang terluka membuat gadis itu tak mampu menoleh kearah pintu masuk untuk melihat siapa yang ada di sana. Tetapi dengan penuh keyakinan, ia yakin bahwa dirinya benar-benar mengenali suara yang baru saja menyapa itu. "A-Audrey? Kau disini?" panggilnya untuk memastikan. Audrey lantas berjalan mendekat ketika mendengar panggilan
Suasana rumah sakit yang terlihat ramai membuat Audrey harus menunggu selama berjam-jam lamanya hanya untuk membayar seluruh biaya perawatan rumah sakit yang diberikan padanya. Gadis itu menunggu di kursi tunggu bersama pasien atau keluarga pasien lainnya. Guna mengusir rasa bosan yang mulai menyerangnya, Audrey mengambil ponsel miliknya dan melihat berbagai pesan serta panggilan tak terjawab dari Mr. Vincent dan Marlyn, pembunuh ibunya. "Menganggu saja" keluh Audrey ketika terus menerus mendapat pesan yang berisi ajakan untuk bertemu sore nanti. Raut wajah Audrey menunjukkan segalanya, ia merasa tak nyaman dengan semua pesan dan panggilan itu. Untuk apa ia harus bertemu lagi dengan pembunuh yang membunuh ibunya? Walaupun mereka bekerja dalam satu agensi, pekerjaan mereka pun berbeda, Audrey bahkan berencana untuk menghindar dari wanita itu, lalu mengapa sekarang mereka justru mengajaknya untuk bertemu? Menganggu. Tepat ketika gadis itu mematikan pons
Sebuah taksi berhenti tepat di sebuah rumah makan yang sudah dijanjikan, gadis yang baru saja turun dari taksi itu segera melakukan pembayaran dan memasuki rumah makan mewah yang terletak di pusat kota London. Rumah makan tersebut nampak begitu ramai, baik dipenuhi oleh warga lokal London maupun wisatawan asing yang datang ke kota ini. Barisan antrian yang panjang bahkan hampir menyentuh jalan raya, memang se-terkenal itu rumah makan ini. Maka, tak heran jika puluhan orang memilih bersabar dan mengantri hanya untuk menikmati sajian makanan lezat yang dijual di tempat itu. Tetapi, tak seperti orang-orang lainnya yang harus duduk dipinggir jalan dan mengantri, Audrey dengan penuh percaya diri memasuki tempat itu dan menanyakan tempat yang sebelumnya sudah di pesan langsung oleh Mr. Vincent, 3 jam yang lalu. Salah satu pelayan kemudian mengajak gadis itu pergi menaiki lantai atas dan menuju ke ruang VVIP yang disediakan di sana. Terlihat, banyak ruang pribad
Ctak! Audrey menepis tangan wanita yang menggenggam erat kedua tangannya, secara kasar. Gadis itu mulai berteriak kembali, sebab ia tak bisa menahan emosi dalam dirinya, "Sudahlah, kau adalah pembunuh ibuku! Aku takkan mempercayai semua hal yang kau katakan!". "Dengarkan dulu Audrey, aku mohon" pelupuk mata Marlyn mulai menampakkan butiran air yang hendak jatuh membasahi pipinya. Akhirnya atas dasar keterpaksaan dan kasihan, serta wejangan dari Mr. Vincent, Audrey bersedia mendengarkan cerita Marlyn. Walaupun sebenarnya ia tetap bersikeras percaya pada ingatan masa lalu yang muncul sesaat saat kebakaran itu. "Audrey, aku bukanlah pembunuh ibumu. Semua ini hanyalah salah paham semata" sepertinya Marlyn mengawali kisah dengan pemilihan kata yang salah, sehingga membuat Audrey semakin meledak-ledak. "Ya! Kau tak membunuhnya secara langsung, tetapi kau tetap yang bertanggung jawab atas kematian Christie, ibuku!" teriakan Audrey kembali terde