Pertengkaran Arini dan Erik akhirnya berakhir dengan perginya Arini dari apartemen Erik. Perasaan sedih, hancur dan terkhianati, Arini rasakan. Dia berjongkok di sudut ruangan tempat lift berada. Menangis sambil memeluk kedua tangannya.
Setelah puas menangis, Arini akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantor Suami Susan bekerja. Dia ingin menunjukkan jika Susan itu adalah wanita tidak setia. Arini mengumpulkan semangat dan keberanian untuk bertemu dengan Suami Susan yang terkenal angkuh.
Sesampainya di depan kantor Elfas Sinema, Arini memaksa ingin bertemu Hendri Hanggono, suami Susan. Pada awalnya resepsionis, melarangnya, tetapi Wanita itu berkeras menerobos masuk ke ruangan Hendri.
Sambutan tatapan tajam dari Hendri membuat nyali Arini ciut. Arini menarik napas panjang dengan tangan yang mengepal ponsel miliknya.
“Ada apa kamu menerobos ruangan saya. Sudah berulang kali saya katakan tidak ada audisi pemain figuran untuk kamu!” seru Hendri dengan kasarnnya.
“Bukan itu maksud kedatanganku ke sini. Aku hanya ingin menunjukkan ini.” Arini menyerahkan ponselnya yang berisi video Susan dan Erik sedang bermadu kasih.
Hendri langsung membelalakkan matanya seolah akan melompat keluar saja. Tangannya mengepal kuat. Terlihat dari urat tangannya yang menonjol.
“kamu dapat dari mana ini?” tanya Hendri dengan nada tinggi.
“Aku merekamnya sendiri,” ucap Arini dengan kaki yang gemetar. Dia tidak duduk, berdiri pun dia tidak bisa tegak. Hendri memang memiliki kharismanya sendiri. Tatapannya seperti Elang yang akan menangkap mangsanya. Sangat tajam!
“Terima kasih sudah memberitahukannya pada saya.” Hendri menyerahkan ponsel milik Arini.
Tidak ada respon lagi. Hendri mengakhiri pembicaraannya dengan Arini.
“Jadi, apa kamu marah pada istrimu? Aku pun marah sebab Erik bersamanya. Padahal dia berjanji untuk menikahiku,” ucap Arini.
“Tentu saja aku marah. Semuanya akan aku urus. Terima kasih dan maaf sudah berpikiran buruk tentangmu. Nanti jika ada audisi film terbaru, staf saya akan memberikan informasinya,” pungkas Hendri sambil menunjukkan pintu keluar. Arini mengangguk, dia pergi dari kantor Hendri.
Langit sangat cerah. Informasi suhu di telepon genggamnya menunjukkan siang ini sekitar 36 derajat celcius. Berbanding terbalik dengan hati Arini masih berduka. Berbekal uang seadanya, Arini pergi mencari kosan murah. Dia harus mencari pekerjaan. Erik tidak pernah menggajinya dengan baik. Uang hasil pekerjaan pun selalu dia kirimkan kepada orang tuanya.
Hari ini, waktu Arini berjalan begitu lamban. Lama mencari kosan murah, terpaksa dia harus tinggal di tempat kumuh demi harga yang cocok dengan kantongnya. Arini kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang berbau apek dan jamuran.
“Ih joroknya!” keluh Arini menurunkan alis matanya.
Rasa kantuk di matanya sudah Tidak ada lagi. Air matanya terus menetes. Dari tempat indah dan nyaman yang dia rasakan. Kini dia kembali ke tempat dia bermula. Arini tidak mempunyai keahlian apa pun. Hanya akting yang dia kuasai dan kemampuan aktingnya pun tidak diapresiasi oleh khayalak ramai.
“Bagaimana nanti aku hidup, ya Tuhan, aku harus apa?” keluh Arini. Tangannya menyentuh dahi yang terasa panas.
“Begini amat ya hidupku. Rasanya Tuhan itu sayang sama Erik saja,” gerutu Arini sambil memejamkan mata. Dia sampai tidak ingat kalau dia belum makan apa pun. Tubuhnya sangat lelah, gemetar dan tidak bertenaga lagi untuk bangkit dari tempat tidur.
Tidak terasa, waktu hampir petang, Arini tertidur sambil berurai air mata. Kejadian tadi pagi sampai berulang kembali dalam mimpinya.
“Ah kenapa sih dia terus saja hadir dalam mimpiku? Kesal!” gerutu Arini.
Kruuuk, kruuuuk!
“Lapaar,” sedihnya.
Perut Arini semakin terasa nyeri. Dia akhirnya bangkit dari tempat tidur lalu pergi mencari makan malam. Sudah terlewat dua kali waktu makannya. Dia seperti sedang puasa saja.
***
Hari berganti, Arini tidak boleh terus berlarut dalam kesedihan. Tabungannya sudah menipis. Dia harus mencari uang. Kakinya pergi menuju agensi Dua Bintang yang sedang mengadakan audisi. Menurut info dari salah satu temannya yang seorang karyawan di salah satu agensi tersebut. Pagi sekali dia sudah berangkat. Biasa dia menaiki mobil pribadi yang ber-AC, kini dia harus merasakan berdesak-desakkan naik KRL.
Sesampainya di tempat audisi, Arini pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Dia sudah berdandan cantik khusus untuk audisi. Pakaian terbaiknya sengaja dipilih agar bisa lolos audisi.
Lama dia menunggu, gilirannya pun tiba. Casting director tersebut meminta Arini berperan sebagai pemeran utamanya. Akting Arini sudah berkembang dan lebih baik, akan tetapi karakter tokoh yang diperankan Arini adalah anak SMA. Sedangkan Arini kini berusia 23 tahun.
Casting director itu terpaksa menolak Arini karena tampilannya lebih dewasa dari yang diharapkan.
“Maaf Arini, usia kamu sudah terlalu tua untuk memerankan tokoh Salsabilla,” ucap Casting director. Dia memanggil pemain lain yang sudah menunggu gilirannya.
“Apakah ada audisi untuk pemeran pendukungnya atau figuran Pak? Saya tidak apa kok dapat peran yang Cuma selewat saja,” mohon Arini penuh harap.
“Tidak bisa. Peran pendukung sudah ada, untuk figuran kami sudah kontrak dengan Bulan Management. Kamu ya daftar saja ke sana!” tolak Casting director itu dengan tegas.
Arini kecewa, lama menunggu ternyata dia tidak mendapatkan peran apa pun.
Perut Arini mulai terasa sakit. Terpaksa dia berhenti di depan warung nasi yang sedang menyiarkan berita selebritis tanah air. Mata Arini langsung terbelalak pada berita viral tentang perselingkuhan Hendri Hanggono dengan seorang model cantik sahabat Susan, istrinya sendiri.
Arini terus menelusuri beritanya di laman pencarian. Ternyata ada bukti foto yang memperlihatkan Hendri sedang mendaratkan bibirnya ke bibir Mia Andriani.
“Ah, suami istri sama-sama berselingkuh. Rasanya dunia ini sangat aneh, sudah mau kiamat ya,” opini Arini sambil menyentuh layer ponselnya.
Arini duduk di pojok warung nasi. Dia membuka galeri di telepon genggamnya. File video perselingkuhan Erik dan Susan masih tersimpan. “Untuk apa aku menyimpan yang seperti ini di dalam teleponku. Cih, cuma memenuhi memori saja!” keluh Arini. Dia menekan tombol tempat sampah, menghapus video tersebut.
Satu foto Arini dan Erik muncul dan kembali mengorek luka dalam hati Arini. Foto di mana Erik sedang memeluknya dari belakang. Di dalam foto tersebut mereka berdua memamerkan cincin lamaran Erik.
“Astaga, kenapa foto ini harus terlihat lagi sih!” kesal Arini. Ada perasaan ragu di dalam hatinya saat akan menghapus foto tersebut. “Aku masih cinta sama kamu Rik,” sesal Arini dengan mata yang berkaca-kaca.
Arini memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas, melanjutkan memakan nasi yang sudah dipesan dengan perasaan dongkol. Kenapa dia masih belum bisa menghapus semua kenangan bersama Erik. Sedangkan Erik sekarang pasti sedang senang-senang bersama Susan.
Selesai makan, Arini hendak pulang ke kontrakannya. Kembali, KRL menjadi moda transportasi yang ditujunya. Sesampainya di tempat tujuan, Arini duduk di halte bis. Langit berhiaskan mega berwarna kelabu.
Saat Arini berjalan menuju kontrakkannya, hujan turun membasahi bumi. Tubuh lelahnya basah oleh rintikkan air hujan yang lebat. Tidak ingin berteduh, dia meneruskan langkahnya dengan perlahan.
Sesampainya di kontrakkan, Arini bergegas membersihkan diri lalu berganti pakaian. Tubuhnya benar-benar lelah dan akhirnya merebahkan diri di atas tempat tidur. Arini tertidur bahkan sampai bermimpi jika dia sedang menikmati berenang di pantai bersama Erik.
Saat dia membuka matanya, tubuhnya sudah basah kuyup. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Tio, sudah saatnya kamu pulang!" tegas suara bariton yang sedikit berat.Tio membeku saat kedua retinanya tertuju pada sosok paruh baya di depannya. Ini adalah konsekuensi atas keputusannya kembali ke dunia hiburan demi mewujudkan cita-cita wanita paling dicintainya itu. Tangannya menggenggam jemari Arini dengan erat, dia takut jika ayahnya itu akan menyakiti Arini seperti yang orang lain lakukan kepada kekasihnya itu."Tio enggak bisa ikut Papi." Tio benar-benar mengetatkan genggaman tangannya pada Arini.Arini memandangi wajah Tio yang terlihat cemas. Dia tahu sosok bertubuh tegap di depannya itu terlihat sangat mendominasi. Membayangkan betapa kejam dan arogannya saja sudah jelas di depan mata. Tio pasti tertekan dengan kehadiran ayahnya itu."Tio, tenang. Aku enggak akan tinggalin kamu." Arini mengusap lengan kekasihnya itu.Ayahnya Tio mengarahkan retinanya pada sosok cantik di samping putra semata wayangnya. Garis bibirnya datar tetapi tatapannya tajam. Kacamata berbentuk kotak
“Arini, tunggu sebentar,” tahan Tio.Arini berusaha untuk tersenyum walau dia baru saja menangis. Dia mencoba menatap lelaki itu senormal mungkin. Hatinya penuh kekhawatiran, takut kehilangan sosok ini.“Rin, ada yang mau aku katakan,” ucap Tio, matanya berubah sayu.“mau katakan apa?” jawab Arini bernada lembut.“Aku enggak mau pacaran sama kamu.” Tio meraih tangan gadis itu.“Ternyata dia masih seperti ini,” batin Arini.“Aku ingin kita lebih dari sekedar pacaran. Aku enggak bisa lihat kamu jalan sama cowok lain, bergandengan tangan selain denganku. Apalagi aku enggak bisa membayangkan kamu menjauh dan tidak lagi punya perasaan kepadaku. Aku ini posesif Rin,” jelas Tio.Arini membuka matanya lebar, dia masih belum paham maksud dari perkataan Tio.&ld
“Arin, kenapa kamu keras kepala. Tidak bisakah kamu menyerah saja,” pinta Tio putus asa.Lelaki itu ingin mendorong Arini, tetapi dia juga tidak ingin Arini jauh darinya. “Arini, sudah berulang kali aku berusaha untuk tegar tanpamu. Aku tetap saja tidak bisa melihatmu dengan lelaki lain. Aku tidak mau kamu terpaku karena hubungan yang menyakitkan ini,” batinnya.“Kamu mencintaiku, aku juga mencintaimu, mengapa aku harus menyerah? Aku akan berusaha memantaskan diri agar kamu mau bersamaku,” jawab Arini sambil menghapus air matanya.
Arini bangkit. Dia raih tangan Tio lalu dia letakkan di dadanya. “Aku rela menukar kehidupanku. Asal kamu tetap ada sampai aku menutup mata,” ucap Arini. Terlihat ada genangan air di pelupuk matanya.Rasanya menjadi bintang terkenal tidak akan membuatnya bahagia jika dia tidak bersama lelaki ini. Arini hanya wanita sederhana. Dia tidak memiliki banyak keinginan, hanya satu keinginannya saja. Bahagia bersama lelaki yang ada di hadapannya.“Kamu jangan bilang seperti itu. Hidupmu itu sangat berharga,” tegur Tio dengan lembut.Arini meraih jemari Tio, mengizinkannya untuk merasakan detak jantungnya. Terasa debaran jantung Arini yang berdetak kencang dari telapak tangan Tio. Lelaki itu meraih tangan Arini, meletakkannya di sebelah kiri dadanya. Mereka berdua sama-sama merasakan debaran jantung mereka.Mata keduanya saling beradu, tatapan mereka sendu dan ada sebuah harapan yang te
“Perempuan jalang itu!” Susan meremas botol air mineral yang ada di tangannya. Managernya Susan seketika menelan salivanya. Kedua alis matanya mengerut saat melihat Susan yang kesal saat membaca headline berita online jika Arini mendapatkan penghargaan festival film pendek. “Bos, kan Bos sudah terkenal. Kenapa repot-repot urusin artis nggak terkenal itu?” tanya Manager. Susan seketika langsung mendelik. “Pokoknya dia harus segera menghilang dari peredaran. Enak aja, karir gemilang itu Cuma buat gue. Lo telepon semua kenalan laki gue, bilang jangan pernah kasih tawaran film buat si Jalang itu!” perintah Susan. Erik yang baru selesai take syuting menghampiri Susan. Dia duduk di sampingnya sambil minum sebotol air mineral. Asistennya touch up agar penampilan Erik sempurna seperti biasanya. “Beib, kamu kenapa kayak kesel gitu?” t
Hari yang paling dinantikan oleh Arini dan Tio. Acara bergengsi yang melibatkan banyak sineas dari berbagai negara berkompetisi untuk mendapatkan kesempatan masuk nominasi piala Oscar kategori film pendek.Lelaki itu sudah menyiapkan sedemikian rupa. Make up artist yang sudah disewanya untuk mendandani Arini menjadi wanita cantik layaknya putri. Sedangkan Tio sudah memesan tuxedo yang pas untuk bersanding dengan gaun Arini yang mewah.Potongan rambut Tio kini menjadi classic cut dengan dasi kupu-kupu bertabur swaroski. Tuxedo berwana navy blue
Setelah hari itu, Arini berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan mendesak Tio untuk menjadikannya kekasih. Asalkan bersama Tio, dia tidak mengapa.Tibalah hari keberangkatan mereka ke Tokyo. Ini kali pertama Arini pergi ke luar negeri. Tio pun sangat tidak sabar untuk segera menghadiri perhelatan tersebut. Mereka berdua sudah bersiap menuju bandara. Cintami dan kedua orang tua Arini sangat bersedih dan juga terharu. Mereka berharap Arini dan Tio akan membawakan hasil yang baik.
“Tio, tanganmu kenapa?” Arini bergegas menghampiri Tio yang terlihat frustasi.“Arin, kenapa kamu ….” Tio tidak bisa meneruskan kata-katanya.Arini langsung merengkuh lelaki itu. Seberapa besar lelaki itu menolaknya atau bahkan mendorongnya pun dia akan terus merengkuh lelaki ini. Hanya dia yang selalu datang menyelamatkannya. Kini giliran dirinya yang mempertahankan perasaannya.“Jangan usir aku. Aku nggak bisa tanpamu,” pinta Arini lirih.Tio membelalakkan matanya. Angin apa yang membawa gadis ini kembali kepadanya. Arini tidak ingin membicarakan penyakit yang diderita Tio, dia akan tetap menjaga rahasia yang ibunya Tio katakana kepadanya.“Aku juga.” Tio membalas rengkuhan Arini.Sungguh, hal ini tidak terduga baginya. Pada awalnya dia berpikir ki
“Arrrggghh, kenapa aku bodoh seperti itu? Tuhan, mengapa aku ditakdirkan lemah seperti ini?” kesal Tio merusak barang-barang disekitarnya. Dia menarik rambutnya kuat, melemparkan barang-barang miliknya.Tio sangat kesal pada dirinya sendiri. Ada satu hal yang tidak bisa dia katakan pada Arini. Dia tidak mau Arini sedih lebih dari ini. Namun, hal ini mungkin akan membuat Arini dan dirinya semakin menjauh.Di tempat lain,Cintami kembali lagi ke rumahnya karena ada barang yang tertinggal. Di tengah perjalanan, sudut matanya menangkap seorang Wanita yang sedang duduk sambil memeluk kedua lututnya. Cintami akhirnya menoleh, mencari tahu siapa yang sedang duduk di sana.Ternyata gadis itu adalah Arini. Cintami menduga jika Arini seperti itu pasti sedang bertengkar dengan putranya. Sebagai seorang Wanita, dia harus membujuk Arini agar mau tetap bersama anaknya. Dia meminta s