"Ngapain kamu buka-buka ponselku?" tanya Rusdi.
"Em ... Nggak apa-apa, tadi ada yang telepon. Cuma nggak sempat aku angkat, teleponnya sudah mati," jawab Ratri. Rusdi mengambil ponselnya dari tangan Ratri, dan hendak pergi ke dalam kamar. "Tiana itu siapa, Mas?" Tiba-tiba Ratri bertanya seperti itu, karena penasaran. "Bukan siapa-siapa, hanya teman kerjaku," jawab Rusdi yang langsung menutup pintu kamar. Ratri terdiam, kemudian ia mendekati Gina. "Kok belum dibuka makanannya, Sayang. Katanya lapar?" tanya Ratri. Gina menggeleng, "Sudah, Bu ... Tapi kok ada sambalnya. Gina kan takut pedas, Bu. Apa ayah lupa?" sahut Gina. Ratri mengernyit, ia meraih bungkusan makanan itu dari tangan Gina. "Sini, Ibu lihat!" seru Ratri. Setelah bungkusan makanan itu dibuka, Ratri merasa heran. Makanan berupa sate yang sudah tercampur sambal. Ada beberapa tusuk sate, yang separuh dagingnya sudah tidak utuh. "Kenapa begini, ya?" gumam Ratri. Tak ingin berpikiran buruk tentang suaminya. Kini Ratri berusaha menghibur Gina yang tengah menatap makanan itu dengan kecewa. "Biar Ibu saja yang buatin makanan enak untuk Gina, ya! Yang ini kita simpan dulu di dapur. Kalau Gina merasa lapar, ibu buatin nasi goreng saja buat Gina. Bagaimana?" tanya Ratri. Gina terdiam, menggelengkan kepalanya penuh kecewa. Ia berlalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya. Setelah menyimpan sate itu ke dapur. Ratri kemudian masuk ke dalam kamarnya. Terlihat di dalam kamar, Rusdi tengah memainkan ponselnya di atas tempat tidur. "Mas, kamu lupa, yakalau Gina nggak kuat pedas?" tanya Ratri begitu ia duduk di samping Rusdi, yang tengah berbaring di atas tempat tidur. "Aku nggak lupa, memangnya kenapa?" tanya Rusdi balik. Ratri menghela nafas kasar, kemudian kembali bersuara. "Kamu membelikan sate tapi sudah dicampur dengan sambal. Gina terlihat kecewa," jawab Ratri. "Oh ... Aku sih pesannya ke penjualnya minta dipisah. Tapi ... Ya sudahlah, mungkin penjualnya saja yang teledor. Sudah, nggak usah dipikirkan. Nanti aku belikan lagi kalau ada yang memberiku uang tips," tukas Rusdi. Ratri mengangguk, kemudian mulai merebahkan diri di samping Rusdi. Tengah malam, Rusdi terbangun karena ponselnya terus bergetar menandakan ada beberapa pesan masuk ke dalam ponselnya. "Rat, mungkin beberapa hari ini aku bakalan disibukan dengan banyaknya pekerjaan. Di kantor tempatku bekerja, akan mengadakan acara besar-besaran yang mengharuskan kami para office boy lembur. Jadi ... Untuk beberapa hari ini, aku bakalan menginap di kontrakan teman aku, dekat kantor tempat kami bekerja. Kamu nggak apa-apa, kan aku tinggal beberapa hari ini?" tanya Rusdi pagi itu. Ia sudah bersiap-siap mengenakan sepatu di teras rumah. "Iya, Mas ... Nggak apa-apa. Yang penting kamu harus selalu memberi kabar," sahut Ratri. Setelah Rusdi berangkat, seperti biasa Ratri akan mengantar Gina untuk sekolah. Dua hari kemudian "Uang aku tinggal segini lagi, apa akan cukup untuk sebulan?" Ratri memegangi dompetnya yang berisi uang sisa empat ratus ribu. Ia baru saja melunasi seragam sekolah Gina. Ratri berpikir keras bagaimana untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kring! Kring! Kring! Tiba-tiba ponsel Ratri berdering. Ratriyang tengah duduk menunggu Gina, segera mengangkat panggilan telepon itu. "Halo ... Maaf dengan siapa, ya?" tanya Ratri,ketika nomor baru menghubunginya. "Halo, Ratri ... Ini aku, Rara. Bagaimana kabarmu, Rat? Sudah lama kita nggak ketemu, kangen banget aku sama kamu. Maaf ya, Rat ... Aku nggak bisa datang ke acara pernikahankamu. Lulus SMA, aku langsung dibawa pindah oleh orang tuaku, aku juga udah nikah di sana. Maaf, aku nggak bermaksud tidak ngundang kamu, karena waktu itu nomor kamu nggak aktif," ujar teman Ratri yang bernama Rara, di seberang telepon. "Rara! Ya ampun, kabar aku baik, Ra. Kabarmu sendiri gimana? Iya nggakapa-apa,Ra ... Aku juga kangen banget sama kamu. Aku sudah ganti nomor, karena ponselku yang dulu hilang, dan ini nomor baru aku. Kamu dapat dari mana nomor aku, Ra?" tanya Ratri. "Kabar aku juga baik, Ra. Biasalah, aku cari tahu dari teman sekolah kita dulu, yang kebetulan dia punya nomor baru kamu. Oh iya, Rat ... Aku lagi di daerah tempat kamu tinggal nih.Kebetulan suami aku sedang menjalani proyek kerjasama dengan perusahaan di daerah sini. Kamu sekarang ada di mana?" sahut Rara. Ratri tersenyum, ia tak menyangka jika teman lamanya semasa SMA menghubunginya, disaat dirinya sedang banyak pikiran. Seketika beban pikiran itu perlahan sedikit terlupakan dengan obrolan kecil mereka. "Oh ya? Bagus dong. Aku masih tinggal di sini, kok di rumah orang tuaku. Kebetulan kedua orang tuaku sudah meninggal. Aku, suami dan anak tinggal di sini," ujar Ratri. "Ya Tuhan ... Aku turut berduka cita ya, Rat. Aku baru tahu kalau orang tua kamu sudah tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku ke sana, ya! Bosan tahu nungguin suami aku di kantor. Dari tadi aku sendirian di kantin kantor. Aku ke sana sekarang, ya! Bye, Rat!" Rara mengakhiri panggilan teleponnya. Tepat pukul 10.00, sekolah Gina telah selesai. Ratri bergegas pulang, ingin menyambut kedatangan teman lamanya itu. Tok! Tok! Tok! Ketika Ratri telah berada di rumah, dari depan terdengar suara ketukan pintu. Gegas Ratri segera membuka pintu itu. Ceklek! "Assalamualaikum ... Ratri!" sapa tamu yang ternyata adalah Rara. "Wa'alaikumsalam ... Rara! Ya ampun, pangling aku lihat kamu.Tambah cantik aja! Ayo silahkan masuk, maaf rumah aku masih berantakan," sahut Ratri sembari bersalaman. "Nggak apa-apa, mana anakmu, Rat? Apa suami kamu sedang kerja?" tanya Rara. "Ada, biar aku panggilkan. Iya, suami aku lagi kerja, Ra," jawab Ratri. "Oh ya? Kerja apa?" tanya Rara. Ratri tersenyum, dari dulu Rara tidak berubah, orangnya memang bawel dan selalu banyak tanya. "Suami aku hanya seorang office boy, Ra," jawab Ratri yang disambut oleh anggukan Rara. Ratri kemudian pergi ke dapur hendak membuatkan teh. "Wah ... Ternyata Gina cantik sekali, ya! Duh ... Tante kalah nih cantiknya sama Gina." Di ruang tamu, Rara dan Gina tampak asyik bercengkerama. Tak jarang Rara seringkali menciumi pipi tembem Gina yang berkulit putih itu. Rara yang pada dasarnya menyukai anak kecil, ia begitu gemas ketika melihat Gina. "Apa kamu sudah punya anak, Ra?" tanya Ratri, yang disambut gelengan kepala Rara. Ratri mengusap lengan Rara sambil menatap teduh. Ting .... Terdapat sebuah pesan masuk ke ponsel Rara, ketika Rara tengah asyik mengobrol dengan Ratri. "Rat, suami aku nyuruh aku nyusul ke cafe. Ini sudah jam makan siang, dia ngajak makan bersama," ujar Rara. "Ya sudah kalau begitu, kalau mau pergi ke cafe nggak apa-apa," sahut Ratri. "Aku maunya kamu dan Gina ikut. Aku masih kangen tahu sama kamu dan Gina. Jarang loh bisa ngobrol kayak gini. Tenang, aku yang traktir kamu. Gina, Gina mau nggak ikut Tante makan di cafe?" tanya Rara. Gina mengangguk penuh semangat. "Tuh ... Gina saja mau. Ayo siap-siap!" ajak Rara. "Memangnya dikantor yang mana sih suami kamu menjalani kerjasama?" tanya Ratri sebelum beranjak masuk ke dalam kamar, untuk bersiap. "Itu di PT. Angkasa .Sudah cepat gih siap-siap," jawab Rara. Sampai di depan cafe, mereka turun dari mobil yang dikendarai Rara. "Itu suami aku, tapi ... Kok ngajak rekan kerjasamanya kesini!" tunjuk Rara pada dua orang pria yang tengah duduk berseberangan di meja cafe, yang salah satunya membelakangi posisi dimana Rara dan Ratri berdiri. "Tapi nggak apa-apa deh,kita gabung saja, Rat!" lanjut Rara. "Nggak deh, Ra ... Aku malu," tolak Ratri. Rara menggeleng, "Nggak usah malu, suami aku orangnya humble kok," paksa Rara. Terpaksa Ratri menerima ajakan Rara. Walau sebetulnya ia merasa malu jika harus berkumpul dengan orang asing. "Ibu sandal aku talinya copot!" Tiba-tiba Gina berjongkok sambil memegangi sandalnya. Dengan cepat Ratri membetulkan sandal Gina dengan posisi berjongkok pula. "Hai, Mas! Maaf lama ya nunggunya!" ucap Rara, membuat dua orang pria itu menoleh ke arah Rara. Dengan posisi masih berjongkok, Ratri bisa melihat dengan jelas kedua pria itu. Deg!Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-
Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme
"Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be
Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K
Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha
Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu