Dengan cepat Ratri menoleh ke arah lain. Ia tak menyangka apa yang dilihatnya akan membuatnya syok.
"Sayang, perut Ibu sakit. Jadi, nggak apa-apa ya, kita pulang! Nanti kapan-kapan kita ke sini lagi makan enak," imbuh Ratri, dengan cepat ia menuntun anaknya keluar dari cafe. Sementara di dalam cafe, Rara tampak kebingungan ketika menoleh ke belakang. "Loh, Ratri mana, ya?" gumam Rara. "Cari siapa, Sayang? Ayo sini duduk, kita makan siang sekarang!" seru Dito, suami dari Rara. Dengan wajah bingung, Rara segera menjawab, "Aku lagi nyari teman aku dan anaknya. Tadi aku ajak mereka kensini, untuk makan siang bareng. Tapi kok sekarang nggak ada, ya!" sahut Rara. "Mungkin teman kamu sedang ke toilet," ujar Dito. Rara menggedikkan bahu, kemudian duduk bergabung di meja bersama suami dan rekan kerjanya. Ting .... Rara mendapat pesan masuk ketika ia selesai memesan makanan. "Maaf, Ra ... Tiba-tiba perut aku sakit. Lain kali saja kita makan barengnya, Ra. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Ratri di pesan tersebut. Rara menghela nafas panjang. "Oh iya, Sayang. Ini rekan kerjasama aku di kotanini.nNamanyanPak Rusdi. Pak Rusdi, ini istri saya namanya Rara." Di tempat lain, Ratri dan Gina menyetop mobil angkutan umum, hendak pulang ke rumahnya. Di perjalanan pulang, Ratri terdiam dengan hati yang berkecamuk. "Tidak, mataku tidak salah lihat. Dia memang mas Rusdi. Tapi kenapa dia berpakaian rapi layaknya seorang pegawai kantoran? Lalu sedang apa di di cafe?" batin Ratri. Ratri menatap lurus ke depan. Ingin mengenyahkan pikiran buruk tentang suaminya. Namun, entah kenapa sangat sulit ia lakukan. "Ibu, gang rumahnya sudah kelewat." Gina membuyarkan lamunan Ratri. "Ya ampun, Bang ... Berhenti di sini!" ujar Ratri. Ibu dan anak itu turun dari dalam mobil. Mereka berjalan menuju gang rumahnya, yang sedikit terlewat tadi. "Ibu kok diam saja, apa perutnya masih sakit?" tanya Gina. Ratri tersenyum kecil kemudian mengangguk. "Masih sakit, Nak ... Tapi nggak apa-apa, istirahat sebentar juga pasti akan sembuh," dusta Ratri. Sampai di rumah, Ratri membiarkan Gina bermain masak-masakan menggunakan sendok dan piring plastik di dalam kamarnya. Ratri yang tengah duduk di ruang tengah, ia meraih ponselnya kemudian mencoba menghubungi Rusdi lewat pesan singkat. "Mas, kamu lagi apa sekarang? Kapan pulang, aku sudah kangen sekali sama kamu?" tanya Ratri mencoba mengetes kejujuran suaminya. Lama pesan Ratri belum dibuka, hingga sekitar sepuluh menit kemudian pesan Ratri berubah menjadi centang dua berwarna biru. Terlihat di layar atas, Rusdi tengah mengetikkan balasan pesan Ratri. Ting.... "Aku baru saja makan siang di kantin. Sekarang lagi lanjut kerja lagi. Aku lagi siap-siap mau ngepel lantai dasar," balas Rusdi. Ratri membuang nafas kasar, ia tak menyangka jika suaminya ternyata bisa membohonginya. Ratri tidak membalas pesan Rusdi, melainkan melakukan video call ke nomor Rusdi. Lagi-lagi hal menyakitkan terjadi lagi. Dengan cepat Rusdi menolak panggilan video Ratri. "Kamu sudah mulai berbohong sama aku, Mas! Entah dari sejak kapan kebohongan itu kamu lakukan di belakang aku," gumam Ratri. Kring! Kring!K ring! Seseorang melakukan panggilan ke nomor Ratri. Ia kemudian menatap layar ponsel, yang tertera nama Rara yang sedang melakukan panggilan itu. "Halo, Ra!" sapa Ratri ketika panggilan itu ia terima. "Halo, Rat ... Bagaimana keadaankamu? Apakah perut kamu masih sakit? Maaf, Rat aku nggak nganterin kamu pulang. Kamu keluar dari cafe saja aku nggak tahu," ucap Rara. "Nggak apa-apa, Ra. Sebentar lagi sembuh kalau istirahat. Oh iya, aku mau tanya. Pria yang bersama suami kamu itu siapa, ya? Apakah dia rekan kerjasama suami kamu di kota ini?" tanya Ratri, begitu penasaran tentang status pekerjaan suaminya. "Iya, Ra ... Dia pak Rusdi. Dia rekan kerjasama suami aku di kota ini. Dia salah satu orang penting yang dipercaya menghandle proyek kerjasama ini. Memangnya kenapa, Rat, apa kamu kenal sama dia?" Rara balik bertanya. "Ah nggak, hanya seperti pernah ketemu sekilas saja. Sudah dulu ya, Ra. Aku mau ke kamar kecil dulu!" seru Ratri, ingin mengakhiri obrolannya dengan Rara. "Ya sudah kalau begitu. Sampai jumpa, Rat. Bye!" Ratri memegangi dadanya yang begitu sesak. Sakit sekali apa yang ia alami saat ini. Tanpa terasa, air mata meluncur begitu saja membasahi pipi Ratri. Suami yang sangat ia cintai, yang ia banggakan, ternyata tak lain hanyalah seorang pembohong. "Jika kamu seorang yang penting, tentu gaji kamu pasti akan sangat besar, Mas. Lalu, kenapa kamu hanya memberiku nafkah satu juta, itu juga aku harus membaginya lagi dengan ibu kamu. Kemanakan sisa gaji kamu?" batin Ratri menangis. Ia baru sadar, jika ia telah disiksa secara batin selama ini. "Aku memang bodoh, kenapa aku begitu percaya sama kamu, Mas. Sejak kapan kamu menjadi orang kepercayaan kantor, dan sejak kapan kamu berbohong dan tidak lagi bekerja sebagai office boy. Oke, Mas ... Jika seperti ini yang kamu mau, aku akan ikuti alur yang kamu buat ini. Aku ingin tahu, sampai mana kamu akan membohongiku," gumam Ratri. Ratri kemudian merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Sembari terisak menahan perih di hati. Untuk mengobati lukanya, Ratri membuka aplikasi biru, dan membuka grup dimana orang-orang sering memposting kisah-kisah nyata yang mereka alami, maupun fiksi. Dengan menyamarkan nama, tempat, dan sedikit bumbu fiksi berupa cerbung, Ratri pun menyalurkan cerita apa yang tengah ia alami saat ini. Dengan begitu, perasaan sakit Ratri sedikit berkurang, dan merasa sedikit lega setelah mencurahkan kesakitan ini di grup di aplikasi biru itu. "Huhhh!" Ratri menghembuskan nafas kasar. Kemudian ia mulai memejamkan matanya hingga ia terlelap. Eso kpagi Ratri terbangun dan memeriksa ponselnya. Memastikan apakah Rusdi menghubunginya atau tidak. "Ah ... Ternyata tidak. Aku terlalu berharap," gumam Ratri. Di atas layar ponselnya, terdapat beberapa notifikasi komentar dari aplikasi biru. Sebelum melakukan aktivitasnya, Ratri membuka notifikasi itu terlebih dahulu. "Lanjut!" "Nyesek!" "Kok sakit banget ya bacanya." "Lanjutin dong kak ceritanya seru!" Ratri begitu kaget, ternyata banyak yang menyukai postingannya semalam. Masih banyak komentar lainnya yang meminta Ratri untuk melanjutkan cerita semalam. Selesai membaca komentar-komentar daripembaca di grup itu. Ratri gegas ke kamar mandi, kemudian membersihkan diri bersiap untuk mengantar Gina sekolah lagi. Seminggu kemudian Rusdi belum kunjung pulang ke rumah. Membuat Ratri menunggu dan terus menunggu hingga ia merasa kesal sendiri. Terlebih setiap malam, Gina selalu menanyakan kapan ayahnya pulang. Ratri mencoba menghubungi nomor Rusdi. Namun, kali ini nomornya tidak aktif. Terkahirkali Rusdi menghubunginya sekitar tiga hari yang lalu. "Baiklah kalau begitu, aku akan mencari tahu sendiri. Apa yang disembunyikan oleh kamu, Mas. Apa kamu masih akan berbohong, setelah aku tahu apa yang kamu lakukan padaku?" batin Ratri. Saat Gina sekolah, Ratri terpaksa menitipkannya kepada saudara sepupunya. Ratri tidak akan membawa Gina, saat dirinya akan menyelidiki Rusdi. Pukul delapan,saat jam kantor sudah dimulai. Ratri datang dan berhenti di depan pos satpam, di PT. Angkasa. "Maaf, Pak ... Saya sedang mencari saudara saya. Katanya sih dia kerja di sini. Apa Bapak kenal dengan saudara saya yang ada di foto ini? Kebetulan saya saudara jauhnya dari kampung dan sudah janjian dengannya. Katanya dia mau masukin saya kerja di sini," Ratri bertanya dan menunjukkan foto Rusdi kepada satpam yang berjaga. Satpam itu mengamati foto yang Ratri tunjukkan. "Oh ini, ini sih pak Rusdi. Dia memang bekerja di sini," jawab satpam itu. "Oh berarti benar, ya kalau mas Rusdi ini bekerja sebagai office boy di kantor ini. Wah ... Ck ck ck, hebat ya mas Rusdi. Bisa bekerja di kantor sebesar ini," imbuh Ratri. "Oh bukan, Mbak ... Pak Rusdi itu bukan office boy, tapi manager. Mbak mau bertemu dengan pak Rusdi? Tapi sepertinya sekarang belum bisa. Pak Rusdi sedang ada meeting dengan ceo perusahaan ini. Mbak bisa menemuinya di jam istirahat," sahut satpam itu. Sebenarnya Ratri geram setelah mendengar itu. "Oh ya? Bapak serius? Ternyata mas Rusdi orangnya suka merendah juga. Bilangnya office boy, tapi ternyata manager. Ya sudah kalau begitu nanti saya ke sini lagi menemuinya. Terima kasih ya, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Ratri. Setelah mendapatkan informasi akurat. Ratri kemudian kembali ke rumahnya. Namun, ia berencana pada jam pulang kantor, ia akan kembali dan menyelidiki Rusdi lebih lanjut. "Oke, mas. Ini baru permulaan!”Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-
Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme
"Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be
Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K
Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha
Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu