LOGIN"Bumi, jangan tuntun aku begini. Nanti ada yang lihat kita gimana??" bisik Nayanika yang sama sekali tidak didengar oleh Bumi. Bukan tidak kedengaran, tapi dia pura-pura tidak mendengarnya saja.
Akhirnya, keduanya sampai juga di sebuah tempat makan dengan hidangan makanan khas dalam negeri. Nayanika memilih dua lauk saja, biarpun yang lain kelihatan enak-enak dan juga menggiurkan. Bukan cuma karena hemat, tapi perut yang semakin besar membuatnya menjadi cepat begah dan juga cepat sekali laparnya. Nantilah babak kedua ia lanjutkan di rumah. Sekarang seadanya saja dulu."Yang tadi berapa? Mana struknya??" cecar Nayanika."Struk apa?" ucap Bumi yang berpura-pura bodoh."Ck. Udah deh, Bumi. Jangan jadi pahlawan kesiangan. Mana ah struk belanjaan yang tadi. Sini aku mau lihat," rengek Nayanika."Ada di mobil," jawab Bumi."Kapan kamu taruh di mobil?""Ya tadi pas taruh belanjaan. Ada di dalam tas belanja kan tadi."Di koridor rumah sakit.Dokter Anita berjalan melalui setiap lorong rumah sakit ini. Dia, nampak mengunjungi satu persatu ruang pasien, untuk mengecek pasien yang sebelumnya ia tangani. Hingga akhirnya tiba giliran dokter Anita, yang masuk ke dalam ruang Anyelir nomor tiga. Tempat dimana Nayanika berada."Permisi. Selamat sore," sapa Dokter Anita, kepada Nayanika yang baru selesai menyusui anaknya."Selamat sore juga, Dok," sahut Nayanika."Bagaimana keadaannya? ASI-nya lancar kan?" tanya dokter Anita."Iya. Lancar kok. Ini baru selesai menyusu dia tadi," jawab Nayanika."Bagus kalau begitu. Ibunya, tidak ada pusing atau apa kan?" tanya dokter Anita lagi."Nggak ada sih, Dok. Cuma emang agak lemes rasanya. Sama badan rasanya sakit semua," jawab Nayanika."Ya sudah tidak apa-apa. Tadi itu, tekanan darah ibu lumayan rendah. Takutnya malah nggak kuat mengejan juga. Tapi syukurlah kalau kuat ya?""Iya. Em, kapan boleh pulang dari sini ya, Dok?" tanya Nayanika."Kemungkinan besok. Nanti be
"Dek... kamu kenal kakak kan? Kamu paling tahu tentang kakak. Kakak cuma bisa bilang, apapun yang kakak lakukan, ya untuk kebaikan kita bersama. Bukan semata-mata untuk kepentingan kakak sendiri, Dek. Jadi, boleh kan kakak simpan ini sendirian? Hak kamu juga, kalau mau berpikiran buruk tentang kakak. Kakak paham itu. Tapi untuk yang satu ini, biar aja jadi rahasia kakak sendiri," ucap Nayanika.Mentari hanya bisa menghela napas. Niatnya untuk mendapatkan jawaban. Tapi sang kakak malah enggan buka-bukaan. Tapi ya sudahlah. Ini hidup kakaknya, ia juga tidak boleh terlalu ikut campur ke dalamnya juga. Yang pasti, selama ini ia cukup mengenal baik kakaknya sendiri. Tidak pernah yang aneh-aneh dan juga pekerjaan keras. Kalau pun memang benar ada hubungan antara kakaknya ini dengan suami dari temannya sendiri, pasti ada sesuatu yang mendasarinya juga. Tidak mungkin hanya sekedar hal receh. Kalau mau merebut, ya pasti kakaknya sudah mendesak dan meminta pertanggungjawaban juga kan?Kalau tid
Abiyaksa mendorong pintu ruangan dan mendatangi Meisya, yang terdiam dengan tatapan mata yang kosong.Abiyaksa telan salivanya lebih dulu dan kemudian datang memeluk, saat istrinya itu menoleh dan genangan air mulai keluar dengan sangat deras dari kedua matanya."Mas... anak kita udah nggak ada. Padahal aku nggak ngapa-ngapain tadi. Tapi kenapa dia pergi begitu, Mas... aku nggak apa-apain dia. Aku cuma pergi ke kamar mandi tadi. Tapi kenapa dia malah pergi..." Meisya menangis tersedu-sedu. Dia benar-benar tak kuasa menahan kesedihan serta kekecewaannya. Padahal sudah seminggu ini tidak pergi kemana-mana. Sudah makan dengan baik dan bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Tapi kenapa masih juga bisa mengalami kejadian yang tidak pernah ia sangka-sangka ini? Rasa-rasanya, Nayanika malah melakukan pekerjaan yang lebih berat darinya. Dia kelihatan kurus juga. Tapi kenapa anaknya bisa bertahan sampai perutnya besar? Perutnya belumlah sebesar perut Nayanika dan bah
"Apa cuma perasaan Mentari aja ya, Kak? Tapi asli mirip banget sih ini. Kayak versi kecil sama versi perempuannya," ucap Mentari lagi."Ya itu cuma perasaan kamu aja," ucap Nayanika yang kini mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya dan tidak mempedulikan apa yang sang adik katakan.Kepikiran sudah pasti. Tapi ya mau bagaimana lagi? Anak itu memang anaknya dia. Jadi kalau pun mirip ya pantas sajalah.Di tengah rasa heran yang melanda, Mentari jadi ingat dengan apa yang dilihatnya tadi."Oh iya, tadi Mentari baru aja abis lihat suaminya Kak Meisya. Dia gendong-gendong Kak Meisya ke IGD. Nggak tahu sakit apa. Tadi Mentari langsung pergi cari makanan sih. Jadi nggak samperin ke sana," ujar Mentari."Oh." Respon singkat yang Nayanika berikan kepada sang adik. Tidak aneh kalau mendengar Meisya digendong-gendong. Tapi sedikit penasaran juga, dengan apa yang mereka lakukan di sini. Hanya saja, tidak terlalu ia pikirkan. Bukan ranahnya dan bukan juga urusannya.Urusannya hanyalah merawat
Sementara itu di tempat yang lain. Abiyaksa tengah yang sempat terlelap sesaat itupun mendadak bangun. Dia segera menoleh ke samping dan sudah tidak menemukan Meisya di sampingnya seperti tadi."Sayang??" panggil Abiyaksa sembari turun dari atas tempat tidur. Dia melihat ke arah kamar mandi yang sedikit terbuka pintunya, lalu mendekati pintu tersebut."Sayang? Apa kamu di dalam?" tanya Abiyaksa yang sudah menyentuh pintu kamar mandi itu, lalu mendorongnya pelan-pelan, hingga tubuh Meisya yang tengah mematung itu terlihat olehnya."Sayang? Kamu sedang apa di situ?" tanya Abiyaksa yang tadinya hanya fokus pada wajah Meisya yang nampak pucat, berantakan dan juga banyak mengeluarkan keringat."Mas, perut aku sakit tadi. Terus ini, tiba-tiba begini," ucap Meisya seraya memutar bola matanya ke bawah dan melihat darah segar mengalir, dari kedua paha dan kini pelan-pelan sampai ke kakinya."Astaga, Sayang!" pekik Abiyaksa yang secepatnya mendekat tapi Meisya malah tumbang dan untungnya tertan
Nayanika berada di ruang bersalin dengan jarum infus yang sudah menancap di punggung tangan kirinya. Ia yang tengah merebahkan tubuhnya itupun sesekali mencengkram sisi tempat tidur dengan kencang, saat rasa mulasnya itu datang kembali dan lebih sering."Dek..." panggil Nayanika yang raut wajahnya kelihatan pucat pasi ini."Iya, Kak. Kenapa? Mentari ada di sini kok," timpal Mentari yang berada di sisi ranjang pasien ini."Mama gimana, Dek? Mama nggak apa-apa di rumah?" tanya Nayanika yang masih sempat-sempatnya memikirkan orang lain, daripada keadaannya sendiri. "Mama aman kok, Kak. Kakak nggak usah khawatir, Mentari udah titipin Mama ke temen sekelasnya Mentari kan tadi.""Dia bisa jaga Mama kan? Kalau nggak kamu pulang aja. Kakak nggak apa-apa sendirian di sini," ucap Nayanika sambil menggigit bibir bawahnya."Apa sih, Kak? Kakak butuh ditemenin sekarang. Kok malah nyuruh Mentari ninggalin kakak di sini. Kakak tenang aja, Mama aman kok. Temen Mentari itu baik. Dia juga cuma tinggal







