"Ini!" Rey mengangkat bungkusan plastik yang dibawanya. "Bayarnya pake gorengan."
"Kamu emang gak modal!" protes Nay. "Kita duduk di sini saja." Nay menunjuk salah satu bangku besi di sudut taman.Mereka duduk bersisian. Lampu temaram menghiasi setiap sudut taman. Walau malam sudah larut, masih terlihat beberapa orang berbincang di bangku yang yang tersebar di beberapa titik."Bisa tunjukkan fotonya, Rey?"Rey mengeluarkan HP dari saku celananya. "Sebentar, mungkin ini akan membuatmu terkejut."Nay tertawa. "Apa? Terkejut? Segala macam bentuk makhluk mengerikan sudah pernah aku temui. Kalau hanya potongan tubuh tidak mungkin membuatku terkejut, Rey.""Ini, Nay." Rey menyodorkan gambar tubuh seorang wanita persis seperti ceritanya. "Coba perhatikan darah yang mengalir di antara dua kakinya. Ada sesuatu yang menancap di sana. Sebilah bambu kuning. Apa ini berarti sesuatu bagimu, Nay? Mengingat bambu kuning bertalian erat dengan dunia mistis.""Belum tentu, Rey. Tapi ini cukup menarik. Kenapa harus bambu kuning yang digunakan. Baiklah. Aku akan mencoba tersambung dengan pemilik tubuh ini. Apapun yang nanti kau dengar dan lihat, jangan melakukan apapun!""Baik. Aku akan diam dan memperhatikanmu saja."Nay menyentuh layar ponsel Rey. Menghubungkan dirinya dengan perempuan itu. Nay mulai melihat sesuatu. Perempuan berkulit putih bersih sedang berteriak memohon ampun."Maafkan aku, Mas! Tolong jangan pukul aku lagi!""Perempuan sundel! Berapa kali kau sudah mengkhianati aku. Kali ini harus kubuang semua setan dari tubuhmu.""Aku mohon, Mas!"Satu tamparan keras mendarat tajam. Disusul dengan hantaman kayu di kepalanya. Perempuan itu limbung. Terjatuh ke lantai dengan darah yang mengalir dari telinga dan mulutnya. Dia meregang nyawa.Diangkatnya tubuh perempuan tersebut, lalu ia letakkan di atas meja. Lelaki itu mengambil rokoknya. Menyalakan, lalu menghisapnya dalam."Bagaimana, Marni? Sudah mati kau." Laki-laki itu tertawa keras. "Aku akan memotongmu, Marni. Tenang saja. Tidak akan terasa sakit." lagi-lagi dia tergelak.Dia memenggal leher Marni dengan pisau besar dengan satu ayunan keras. Kepala Marni terpisah dari tubuhnya. Dia menyeringai. Seperti tidak puas, berikutnya lelaki itu memotong pergelangan tangan dan kaki Marni.Dia menghisap rokoknya lagi. Duduk sebentar lalu memasukkan potongan-potongan tubuh itu ke dalam plastik hitam yang sudah dia siapkan. Sepertinya laki-laki ini sudah merencanakan pembunuhan itu."Ini, Marni. Aku sudah menyiapkan bambu pengusir setan. Sudah kubuat sangat runcing ujungnya. Agar mudah masuk ke dalam liang setanmu itu! Nikmati, Marni! Nikmati!"Laki-laki itu memasukkan bambu itu dengan kasar. Mendorongnya sekuat tenaga sampai pada ujungnya.Nay, tidak ingin melanjutkan melihat penyuksaan itu. Cukup! Ini sangat mengerikan!"Kamu tidak apa-apa, Nay?" Rey mengguncang tubuh Nay yang terkulai lemas. Menepuk-nepuk pipinya. "Buka mata kamu, Nay!"Nay, membuka matanya pelan. "Cukup Rey, aku sudah tahu. Perutku mual.""Di mana sisa potongan tubuh perempuan itu, Nay?" tanya Rey tak sabar."Pergilah ke tempat pemotongan hewan. Tempatnya tidak jauh dari tempat tubuh Marni ditemukan. Tanyakan pada laki-laki kepala botak berkumis tebal. Dia selingkuhan perempuan itu.""Tukang jagal hewan? Pantas potongannya begitu rapi.""Begitulah. Dia menyimpan dendam bertahun-tahun. Malam itu tunailah sudah. Dendam terlampiaskan. Dia sudah kehilangan kesadaran dan nurani. Di pikirannya hanya ingin membunuh Marni. Memuntahkan semua rasa sakit hati selama ini. Marni berulang kali mengkhianatinya, Rey.""Motif dendam." Rey menimpali.Nay menggeliat. Membenarkan posisi duduknya. Tangannya mencomot sesuatu dari kantung plastik yang dibawa Rey. Gorengan lagi gumamnya. Nay, menaruhnya lagi. Dia bosan tiap kali Rey membawakannya makanan pasti tidak jauh-jauh dari gorengan yang dia beli di ujung jalan sana.Mata Nay mendelik mendekatkan mukanya pada wajah Rey. "Coba sekali-kali bawakan aku pizza atau apa gitu," gerutu Nay lalu melangkah cepat meninggalkan Rey."Hey, tunggu, Nay!""See you. Aku mau istirahat. Jangan ganggu aku seminggu ini. Bosan lihat mukamu." Nay tergelak.Bagi Nay, tetangganya itu sudah seperti kakaknya sendiri. Rey, bekerja di Bareskrim Polri. Tidak memiliki jam kerja tetap. Kadang harus pulang malam atau bahkan tidak pulang. Banyak orang mengira mereka berpacaran. Tapi Nay tidak menganggapnya lebih dari sekadar teman.Itulah Nay, tidak pernah menjalin hubungan serius dengan laki-laki manapun. Berhubungan dengannya pasti akan rumit. Belum tentu bisa menerima keadaan dirinya dengan baik. Karena itulah, sendiri dirasa lebih baik.Mata Nay belum juga terpejam walau telah lewat tengah malam. Dia masih duduk di sofa menikmati secangkir kopi tanpa gula kesukaannya. Suara merdu Celine Dion membawanya jauh dalam lamunan. Ruangan ini terasa begitu sepi. Sama seperti rasa yang kadang muncul dalam dirinya.Tangan Nay meraih ponsel yang bergetar di atas meja di samping sofa. Sebuah pesan masuk ke WA-nya. Ternyata dari Bu Mien.[Nay, ke sini ya besok. Ada yang ingin ibu bicarakan]Nay, membalas pesan Bu Mien.[Mungkin agak sore ya Bu. Nay ada pekerjaan sampai siang]Tak lama Bu Mien pun membalas.[Ibu tunggu ya, Nay. Ada opor ayam kesukaan kamu ibu bikinkan spesial][Nay pasti datang, Bu]Nay meletakkan ponselnya ke tempat semula. Hal penting apa sampai harus mengirim pesan selarut ini? Rasanya Nay tak sabar ingin cepat mengetahuinya.Nay berangkat lebih pagi dari biasanya. Dia ingin hari ini pekerjaannya cepat selesai. Konsentrasinya terbelah. Pesan dari Bu Mien semalam sangat mengganggu pikiran.Jalanan masih lengang. Baru pukul 05.30 pagi saat Nay berangkat. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk sampai ke rumah Pak Hans.Di halaman depan terlihat seorang pria memakai topi dan boot karet hitam sedang memotong rumput. Dari jauh dia sudah melihat kedatangan Nay. Mesin rumput dia matikan lalu berdiri menunggu Nay mendekatinya. "Selamat pagi, Pak," sapa Nay hangat."Selamat pagi. Maaf siapa ya?" tanya pria itu."Saya, Nayara. Kemarin sudah izin ke Pak Hans untuk mengecek rumahnya.""Oh, iya. Sebentar." Dia merogoh sakunya, mengambil kunci dan menyerahkannya pada Nay."Terima kasih, Pak. Maaf dengan Pak siapa ini?""Panggil saja, Pak Man. Apa harus saya temani?" tawar pria itu ramah."Tidak perlu, Pak. Kemarin Pak Hans sudah menemani saya melihat-lihat. Saya hanya perlu memfoto beberapa bagian saja.""Baiklah kalau begitu. Rumah saya di belakang sana." Pak Man menunjuk ke arah rumah bercat putih tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kalau ada perlu apa-apa jangan segan."Nay mengangguk. Sedikit membungkukkan badan lalu berjalan menuju ke pintu depan rumah Pak Hans. "Selamat pagi semua," sapa Nay setelah membuka pintu.Terdengar dehem bernada rendah dari dekat pintu samping. Nay, menoleh. Sosok tinggi besar sedang memandanginya. Tubuhnya berbulu lebat. Ada sepasang tanduk pendek di kepala. Kuku-kuku panjangnya menjuntai sampai ke lantai. Matanya melotot merah dan besar. Di samping sosok itu, berdiri melayang seorang wanita berbaju putih lusuh dengan rambut keriting panjang menyeringai pada. Mukanya putih seperti memakai bedak bayi. Matanya tak kalah merah dengan sosok bertubuh besar tadi. Mereka berdua memiliki 'energi' paling kuat di antara semua penghuni rumah ini. Bisa dibilang pemimpin di lokasi tersebut. Mereka terlihat enggan mendekati Nay. Mungkin karena dua penjaga yang selalu menemani kemanapun Nay pergi. "Aku tidak bermaksud jahat. Datang hanya untuk berbicara pada kalian. Rumah ini akan direnovasi. Jadi kalian harus mencari tempat baru.""Kau pikir semudah itu mengusir kami dari sini." Nenek tua yang kemarin mengancam Nay ikut berbicara. Dia duduk di tempat yang sama. Dekat tangga.
"Ibumu tidak membuangmu, Nay. Tapi menitipkan pada kami. Dia lah yang meminta kami untuk merahasiakan ini. Kata ibumu, bila kau terus bersamanya, kalian berdua dalam bahaya," ucap Bu Mien membuka sedikit tentang ibu Nay."Tutup matamu, Nay. Aku akan membawamu ke masa di mana kau diantar ibumu ke tempat ini. Atur perasaanmu, Nay. Konsentrasi." Nyi Asrita lalu meletakkan tangannya di dahi Nay.Nay dan Nyi Asrita terbawa melayang melewati lorong gelap. Samar-samar terlihat cahaya di kejauhan. Nay merasa tak sabar. Dia ingin cepat sampai di tempat cahaya itu berasal. Dia meyakini di sanalah tujuan akhir mereka."Lihat cahaya itu, Nay. Kita akan tiba di sana sebentar lagi." Nyi Asrita menggenggam tangan Nay. Dia mencoba menenangkan perasaan anak asuhnya itu yang terlihat mulai menangis. "Iya, Nyi," jawab Nay dengan suara tertahan.Perasaan Nay semakin bergejolak ketika mereka tiba di tempat asal cahaya yang mereka lihat tadi. Ada Bu Mien dan seorang perempuan berambut panjang kusut masai.
Sri, salah satu teman tak kasat mata yang sering bertandang ke apartemen Nay. Menurut ceritanya, dia mati bunuh diri terjun ke laut yang letaknya tak jauh dari kompleks apartemen ini. Bisa dibilang Nay dan Sri berteman karib. Mereka sudah kenal lama. Sri biasa duduk di pohon kamboja dekat lapangan basket. Ada dua temannya yang tak pernah absen menemani. Rossi dan Prita. Mereka juga korban kasih tak sampai. Kisah hidup mereka kurang lebih sama. Bunuh diri karena cinta. "Apa Rey sudah pulang, Sri?" tanya Nay ketika mereka telah sampai di depan unit milik Nay. "Aku belum melihatnya, Nay," jawab Sri "Oh," balas Nay pendek, lalu dia mengambil kunci dari saku tasnya. Nay membuka pintu, kemudian Nay masuk diikuti Sri di belakangnya. "Kalian pacaran, ya?" tanya Sri dengan mimik wajah serius. Nay tertawa. "Kau naksir dia, ya?" Nay balik bertanya, mencandai Sri."Gak mau naksir. Saingannya berat." "Belum dicoba sudah kalah duluan, Sri," ledek Nay. "Sudah jelas Mas polisi ganteng itu naks
"Wait! Jadi kau sudah tahu asal-usulmu, Nay?""Belum jelas, Rey. Makanya aku perlu tahu siapa laki-laki yang ditulis ibuku itu.""Dia ayahmu, kah?""Haduh! Nih, Pak polisi nanya melulu," celetuk Rossi. "Belum tahu juga Rey. Di situ tidak dituliskan.""Kalau benar Bramantyo yang itu, tidak mudah untuk menemuinya, Nay," kata Rey mengambil cangkir kopinya. "Kau tahu dia, Rey?" "Dia pengusaha tambang batubara. Dua tahun lalu, kalau aku tak salah ingat istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia shock berat sampai mengalami gangguan jiwa.""Terus?""Terus, terus, ntar nabrak dong, Nay.""Ih, malah bercanda." Nay mencubit lengan Rey yang hampir saja membuat isi di cangkir Rey tumpah. "Sakit juga ya cubitan orang cantik," kata Rey tersenyum lalu menyeruput sedikit isi cangkirnya yang masih panas. "Sekarang aku tidak tahu dia di mana. Kemungkinan besar berada di rumah sakit jiwa.""Tapi kalau bukan Bramantyo yang itu?" Nay bertanya ragu."Bukankah itu tujuanmu memintaku datang, Nay
Nay mengurungkan niatnya untuk makan. Dia keluar dengan meninggalkan makanan yang masih utuh di atas meja. Pelayan di sana sempat memperhatikan Nay yang hanya membayar lalu pergi. Terlebih seseorang di meja kasir. Matanya tak lepas mengikuti langkah kaki Nay. Mungkin dia salah satu anak pemilik restoran. Beberapa meter keluar dari restoran, ponselnya berbunyi. Buru-buru dia mengangkatnya. Dari nada deringnya itu telpon dari Rey."Nay, sepertinya memang benar Bramantyo yang kita bicarakan semalam kenal dengan ibumu." Rey mengawali pembicaraan. "Aku sudah dapat alamatnya. Nanti aku WA. Kalau kau sedang off, kita ketemu di sana jam tiga sore ini. Ganti.""Baik Ndan! Diterima. Siap dilaksanakan!" "Aku tunggu, ya," ujar Rey, kemudian menutup telponnya. Tanpa menunggu, Nay membuka pesan dari Rey : Jalan Adipati nomor 5 (rumah besar berwarna putih) tunggu di sana sampai aku datang.Nay melihat jam di sudut ponselnya. Sekarang baru jam satu. Masih sempat Nay makan siang dulu. Perjalanan ke
Di dalam Pak Bram kembali histeris. Dia terus berteriak-teriak minta benda itu dikembalikan. Pak Arya memanggil dua orang pegawainya yang biasa mengurus Pak Bram untuk mencoba menenangkannya. "Seseorang telah mengirimkan teluh. Lihat Rey! Aku menemukan ini di bawah tempat tidur Pak Bram," tukas Nay pada Rey yang sudah berada di sebelahnya."Oh, jadi Pak Bram kena santet.""Bukan Rey, beda. Teluh itu seseorang mengambil sukma orang yang di dimaksud lalu menyesatkannya ke alam lain. Seperti Pak Bram itu. Nah, di dalam tubuh Pak Bram bukan dia. Namun, roh jahat, hantu atau siluman. Jadi selama sukma Pak Bram tidak dikembalikan, roh jahat itu akan tetap di situ. Menghisap hawa murni si empunya tubuh," kata Nay menjelaskan. "I see!" Rey manggut-manggut. "Kita tunggu Pak Arya keluar. Aku harus berbicara dengan beliau.""Kau tunggu di sini, biar aku menyusul Pak Arya ke dalam.""Oke, Rey. Aku tunggu di depan saja." Rey masuk ke kamar Pak Bram sedangkan Nay kembali ke ruang tamu. Tak lam
Penampakan sukma Nay terlihat berbeda. Mengenakan kain batik bercorak gajah oling berwarna hitam dengan lukisan tumbuhan berwarna emas. Terlihat kontras dengan baju beludru hitam tanpa lengan yang dipakai Nay. Kelat bahu berornamen bunga terlihat apik. Ompok berwarna emas dengan cundhuk mentul menghias kepala menambah ayu wajahnya. Tak lupa selendang kuning yang selalu tersampir di bahu dan kipas berwarna merah menyala terselip di pinggangnya. Serupa dengan penari gandrung Banyuwangi.Makhluk yang merasuki tubuh Pak Bram keluar dari tubuh inangnya. Dia berdiri di depan Nay. Tubuhnya terus meninggi dengan jari-jari tangan yang semakin memanjang. Kepalanya terus membesar menyerupai gurita. Jemari yang memanjang berubah menjadi delapan lengan. Bulatan-bulatan di bagian bawahnya sesekali terlihat saat tentakel itu bergerak ke atas. Dari situ pula Nay dapat merasakan aliran energi yang besar siap mencengkeram."Beraninya kau gadis sombong!"Nay hanya tersenyum tipis. Namun hal itu justru
Belum sempat Pak Bram menjawab, suara tawa seseorang tiba-tiba terdengar menggelegar."Dia bukan ayahmu!" kata suara laki-laki yang tidak terlihat sosoknya."Siapa kau?" tanya Nay geram."Kau akan tahu nanti. Akulah yang mengurung Bramantyo di sini. Kau ingatlah baik-baik suaraku. Kelak kita bertemu lagi. Kali ini aku membiarkanmu hidup. Pergilah!"Tempat itu seketika berguncang. Langit dan tanah pun terbelah dengan cepat. Nay menyambar tangan Pak Bram. Secepat kilat dia membawa sukma itu kembali. Bila tempat itu runtuh mereka tidak akan punya kesempatan lagi.Gantari menarik mereka dengan kekuatan penuh. Energinya terkuras, begitupun Nay. Pandangannya buram, tubuhnya limbung. Tak berapa lama Nay terjatuh ke lantai.***"Please, Nay! Bangun!" Rey menepuk-nepuk pipi Nay. "Apa harus kucium di depan orang-orang supaya kamu bangun?" bisik Rey kemudian."Awas kalau kau lakukan itu!" Nay menjawab pelan. "Aku masih bisa mendengar, hanya tubuhku saja yang susah kugerakkan."Rey mengangkat bah