Nay, membuka mata batinnya lebih jauh. Mencoba menemukan di mana "ketua" gerombolan makhluk perempuan yang sedang mengganggu para pekerja.
Ketemu! Pekerja berbaju biru yang tergeletak dekat kursi, dirasuki makhluk perempuan yang paling kuat di antara semuanya."Kau! Keluar!" teriak Nay pada makhluk perempuan di dalam tubuh pekerja tersebut. Untuk membuat mereka semua tersadar cukup temukan si ketua, maka yang lainnya akan mengikuti.Sejurus kemudian Nay melepas jaketnya lalu meluruskan tangan tepat di hadapan para pekerja. Tangan Nay menarik energi dan menyimpannya di dalam. Lengan kiri Nay sangat istimewa. Bagaikan magnet bisa menarik makhluk-makhluk tak kasat mata dan mengurungnya di sana.Satu persatu pekerja Pak Oey tersadar. Wajah mereka pucat dan lemas. Energi mereka cukup banyak terbuang. Mengingat mereka kerasukan lebih dari satu jam."Ini kalian minum dulu, biar Nay membantu menetralisir tempat kerja kalian." Pak Oey memberikan minuman kemasan pada mereka."Ini kiriman dari pesaing Bos. Dia tidak suka Bos membuka kedai di depan situ. Mengirim mereka untuk menakut-nakuti agar tidak ada yang mau bekerja menyelesaikan kedai itu.""Apa tidak kau cover di situ, Nay?""Bos tidak memerintahkan. Ya, tidak saya lakukan," kata Nay mengenakan lagi jaketnya."Cover semua dari ujung ke ujung, supaya saya tidak perlu mendadak menyuruhmu kembali seperti ini.""Siap, Bos!"Ya, inilah salah satu pekerjaan Nay. Memberikan jasa pagar gaib untuk para pengusaha bagi tempat usaha mereka. Bayarannya terbilang tidak murah. Bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Tergantung besar kecilnya cakupan tempat.Perkenalannya dengan Pak Oey delapan tahun lalu membuka peluang untuknya. Nay banyak berkenalan dengan pengusaha papan atas. Dari mulut ke mulut keberadaan Nay cepat tersebar. Seperti rahasia umum di antara mereka.."Bagaimana keadaan rumah Pak Hans?" tanya Pak Oey setelah Nay selesai."Aman. Tidak sulit untuk dibersihkan. Besok saja saya balik lagi ke sana ya, Bos. Bolehkah hari ini langsung pulang?""Pulanglah. Besok langsung ke sana ya. Tidak perlu mampir ke sini lagi. Mau bawa mobil lagi? Atau naik motor kamu itu?""Naik motor saja, biar gak lama di jalan. Saya balik ya, Pak."Pak Oey mengangkat tangannya dan tersenyum. Nay pulang mengendarai motor hitam kesayangannya. Menikmati semilir angin sepanjang perjalanan pulang, jauh lebih mendamaikan ketimbang harus duduk di belakang setir mobil sendirian.Nay tinggal di salah satu apartemen di sudut kota. Pak Oey yang membelikan satu unit untuknya. Dia tidak punya keluarga. Seseorang menaruhnya di panti asuhan sejak dia bayi merah. Pak Oey sering datang memberikan bantuan untuk panti di mana Nay dibesarkan. Itulah kenapa Nay menganggap beliau seperti keluarganya sendiri.Nay, bekerja padanya khusus untuk membersihkan rumah-rumah angker yang akan direnovasi. Uang yang didapat Nay selama ini paling banyak dia berikan pada Bu Mien, pemilik panti. Dia ingin adik-adik yang masih tinggal di sana bisa bersekolah tinggi dan kelak berkehidupan layak.Nay merebahkan tubuhnya. Mencoba memejamkan mata walau hari baru beranjak senja. Tidur adalah hal mahal yang tidak bisa dibelinya. Setiap hari, selalu saja datang 'mereka'. Kadang hanya singgah untuk urusan yang tidak penting. Dari curhat urusan asmara sampai obrolan julid ala ibu-ibu kompleks."Nay," panggil seseorang dari arah jendela.."Please, aku mau tidur!" bentak Nay tanpa melihat ke asal suara."Tolong kembalikan wargaku."Nay membalik badannya. Nenek tua berkebaya bunga dan kain lurik sudah ada di kamarnya."Wargamu yang mana?" tanya Nay mengerutkan dahinya."Itu yang di tanganmu." Nenek itu menunjuk tangan Nay. "Kampung jadi sepi tidak ada mereka.""Oh, mereka warga Nenek. Maaf, aku lupa melepaskan mereka tadi."Nay langsung menjentikkan jarinya. Keluar sosok perempuan-perempuan berparas sama dengan rambut hitam tergerai kaku acak-acakan.Seseorang memaksa mereka untuk membantu pekerjaannya. Memang makhluk lemah seperti mereka tidak punya banyak pilihan. Manut saja dengan apa yang diperintahkan."Pergilah. Jaga diri kalian baik-baik," kata Nay mendekati jendela."Terima kasih," ujar si Nenek seraya membungkukkan sedikit tubuhnya.Mereka melesat bersamaan melalui jendela. Ya, jendela yang tidak pernah tertutup. Nay sengaja membiarkannya terus terbuka sepanjang hari. Dari sanalah makhluk-makhluk kesepian seperti dirinya masuk dan berbicara dengannya.Nay, membuat secangkir kopi. Lupakan saja tidur. Sepertinya malam ini akan terlewati seperti malam-malam sebelumnya. Terjaga hingga subuh tiba.Benar saja, belum sempat Nay menyeruput kopi, dua perempuan muda datang. Yang satu berbau sangat busuk. Kulit tubuhnya mengelupas kehitaman. Rambut di kepalanya terlihat mulai terlepas. Nay tidak mengenalnya. Sedangkan satu lagi adalah Rossi. Gadis yang mati bunuh diri terjun ke laut tak jauh dari apartemen Nay."Nay, tolong dia. Sudah hampir seminggu dia belum ditemukan. Tubuhnya mengambang dekat pelabuhan, tertumpuk sampah." Rossi menjelaskan maksud kedatangannya."Besok aku akan ke sana. Memberitahu orang-orang di pelabuhan. Bawa dia pergi dari sini. Malam ini aku sedang tidak ingin mendengarkan curhat orang putus cinta lalu bunuh diri.""Lagi PMS ya," ledek Rossi bersungut-sungut."Iya!" Nay membalas ketus.Rossi mencebik kemudian pergi melayang, menghilang di kegelapan malam. Lagi-lagi gadis muda mengakhiri hidup hanya karena cinta. Tindakan bodoh tapi banyak dipilih. Dipikirnya setelah mati akan bahagia. Pendapat konyol! Gerutu Nay dalam hati."Nay! Ini aku. Kamu belum tidur kan?" Ketukan pelan di pintu beriringan dengan suara laki-laki memanggil namanya."Iya, tunggu sebentar." Nay membuka pintu. "Ada apa, Rey?""Ini! Aku bawakan makanan untukmu. Boleh masuk?""Pertanyaan itu lagi. Jawabnya tetap sama. Tidak boleh! Ayo kita ke taman saja bila ingin bicara," ajak Nay pada Rey tetangga depan unitnya."Baiklah, Cerewet!"Rey menarik tangan Nay. Biasanya dia akan berusaha melepaskan. Namun, kali ini Nay membiarkannya saja. Sekali-kali membalas genggaman tangan pria ini tidak ada salahnya, pikir Nay.Rey, terlihat semringah. Sekali-kali dia menoleh melihat wajah perempuan di sampingnya. Nay berpura-pura tidak melihat tingkah Rey. Padahal dia sangat tahu apa yang ada di pikiran pria tersebut."Apa yang ingin kau bicarakan, Rey?" tanya Nay saat mereka berjalan menuruni tangga."Tidak ada. Hanya ingin berbincang denganmu saja.""Tidak mungkin. Genggaman tanganmu ini sudah bisa membuatku tahu."Rey, buru-buru melepaskan tangannya. "Kamu membaca pikiranku, Nay?""Tidak sengaja," jawab Nay tersenyum."Baiklah, ada pembunuhan tadi pagi. Korban dimutilasi. Kepala, tangan dan kaki hilang. Yang kami temukan hanya bagian tubuh saja. Mungkin kau bisa membantuku menemukan di mana bagian tubuh lainnya dibuang.""Berani bayar berapa?" Canda Nay menatap serius mata Rey."Ini!" Rey mengangkat bungkusan plastik yang dibawanya. "Bayarnya pake gorengan.""Kamu emang gak modal!" protes Nay. "Kita duduk di sini saja." Nay menunjuk salah satu bangku besi di sudut taman.Mereka duduk bersisian. Lampu temaram menghiasi setiap sudut taman. Walau malam sudah larut, masih terlihat beberapa orang berbincang di bangku yang yang tersebar di beberapa titik. "Bisa tunjukkan fotonya, Rey?"Rey mengeluarkan HP dari saku celananya. "Sebentar, mungkin ini akan membuatmu terkejut."Nay tertawa. "Apa? Terkejut? Segala macam bentuk makhluk mengerikan sudah pernah aku temui. Kalau hanya potongan tubuh tidak mungkin membuatku terkejut, Rey.""Ini, Nay." Rey menyodorkan gambar tubuh seorang wanita persis seperti ceritanya. "Coba perhatikan darah yang mengalir di antara dua kakinya. Ada sesuatu yang menancap di sana. Sebilah bambu kuning. Apa ini berarti sesuatu bagimu, Nay? Mengingat bambu kuning bertalian erat dengan dunia mistis.""Belum tentu, Rey. Tapi ini cukup menarik.
Terdengar dehem bernada rendah dari dekat pintu samping. Nay, menoleh. Sosok tinggi besar sedang memandanginya. Tubuhnya berbulu lebat. Ada sepasang tanduk pendek di kepala. Kuku-kuku panjangnya menjuntai sampai ke lantai. Matanya melotot merah dan besar. Di samping sosok itu, berdiri melayang seorang wanita berbaju putih lusuh dengan rambut keriting panjang menyeringai pada. Mukanya putih seperti memakai bedak bayi. Matanya tak kalah merah dengan sosok bertubuh besar tadi. Mereka berdua memiliki 'energi' paling kuat di antara semua penghuni rumah ini. Bisa dibilang pemimpin di lokasi tersebut. Mereka terlihat enggan mendekati Nay. Mungkin karena dua penjaga yang selalu menemani kemanapun Nay pergi. "Aku tidak bermaksud jahat. Datang hanya untuk berbicara pada kalian. Rumah ini akan direnovasi. Jadi kalian harus mencari tempat baru.""Kau pikir semudah itu mengusir kami dari sini." Nenek tua yang kemarin mengancam Nay ikut berbicara. Dia duduk di tempat yang sama. Dekat tangga.
"Ibumu tidak membuangmu, Nay. Tapi menitipkan pada kami. Dia lah yang meminta kami untuk merahasiakan ini. Kata ibumu, bila kau terus bersamanya, kalian berdua dalam bahaya," ucap Bu Mien membuka sedikit tentang ibu Nay."Tutup matamu, Nay. Aku akan membawamu ke masa di mana kau diantar ibumu ke tempat ini. Atur perasaanmu, Nay. Konsentrasi." Nyi Asrita lalu meletakkan tangannya di dahi Nay.Nay dan Nyi Asrita terbawa melayang melewati lorong gelap. Samar-samar terlihat cahaya di kejauhan. Nay merasa tak sabar. Dia ingin cepat sampai di tempat cahaya itu berasal. Dia meyakini di sanalah tujuan akhir mereka."Lihat cahaya itu, Nay. Kita akan tiba di sana sebentar lagi." Nyi Asrita menggenggam tangan Nay. Dia mencoba menenangkan perasaan anak asuhnya itu yang terlihat mulai menangis. "Iya, Nyi," jawab Nay dengan suara tertahan.Perasaan Nay semakin bergejolak ketika mereka tiba di tempat asal cahaya yang mereka lihat tadi. Ada Bu Mien dan seorang perempuan berambut panjang kusut masai.
Sri, salah satu teman tak kasat mata yang sering bertandang ke apartemen Nay. Menurut ceritanya, dia mati bunuh diri terjun ke laut yang letaknya tak jauh dari kompleks apartemen ini. Bisa dibilang Nay dan Sri berteman karib. Mereka sudah kenal lama. Sri biasa duduk di pohon kamboja dekat lapangan basket. Ada dua temannya yang tak pernah absen menemani. Rossi dan Prita. Mereka juga korban kasih tak sampai. Kisah hidup mereka kurang lebih sama. Bunuh diri karena cinta. "Apa Rey sudah pulang, Sri?" tanya Nay ketika mereka telah sampai di depan unit milik Nay. "Aku belum melihatnya, Nay," jawab Sri "Oh," balas Nay pendek, lalu dia mengambil kunci dari saku tasnya. Nay membuka pintu, kemudian Nay masuk diikuti Sri di belakangnya. "Kalian pacaran, ya?" tanya Sri dengan mimik wajah serius. Nay tertawa. "Kau naksir dia, ya?" Nay balik bertanya, mencandai Sri."Gak mau naksir. Saingannya berat." "Belum dicoba sudah kalah duluan, Sri," ledek Nay. "Sudah jelas Mas polisi ganteng itu naks
"Wait! Jadi kau sudah tahu asal-usulmu, Nay?""Belum jelas, Rey. Makanya aku perlu tahu siapa laki-laki yang ditulis ibuku itu.""Dia ayahmu, kah?""Haduh! Nih, Pak polisi nanya melulu," celetuk Rossi. "Belum tahu juga Rey. Di situ tidak dituliskan.""Kalau benar Bramantyo yang itu, tidak mudah untuk menemuinya, Nay," kata Rey mengambil cangkir kopinya. "Kau tahu dia, Rey?" "Dia pengusaha tambang batubara. Dua tahun lalu, kalau aku tak salah ingat istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia shock berat sampai mengalami gangguan jiwa.""Terus?""Terus, terus, ntar nabrak dong, Nay.""Ih, malah bercanda." Nay mencubit lengan Rey yang hampir saja membuat isi di cangkir Rey tumpah. "Sakit juga ya cubitan orang cantik," kata Rey tersenyum lalu menyeruput sedikit isi cangkirnya yang masih panas. "Sekarang aku tidak tahu dia di mana. Kemungkinan besar berada di rumah sakit jiwa.""Tapi kalau bukan Bramantyo yang itu?" Nay bertanya ragu."Bukankah itu tujuanmu memintaku datang, Nay
Nay mengurungkan niatnya untuk makan. Dia keluar dengan meninggalkan makanan yang masih utuh di atas meja. Pelayan di sana sempat memperhatikan Nay yang hanya membayar lalu pergi. Terlebih seseorang di meja kasir. Matanya tak lepas mengikuti langkah kaki Nay. Mungkin dia salah satu anak pemilik restoran. Beberapa meter keluar dari restoran, ponselnya berbunyi. Buru-buru dia mengangkatnya. Dari nada deringnya itu telpon dari Rey."Nay, sepertinya memang benar Bramantyo yang kita bicarakan semalam kenal dengan ibumu." Rey mengawali pembicaraan. "Aku sudah dapat alamatnya. Nanti aku WA. Kalau kau sedang off, kita ketemu di sana jam tiga sore ini. Ganti.""Baik Ndan! Diterima. Siap dilaksanakan!" "Aku tunggu, ya," ujar Rey, kemudian menutup telponnya. Tanpa menunggu, Nay membuka pesan dari Rey : Jalan Adipati nomor 5 (rumah besar berwarna putih) tunggu di sana sampai aku datang.Nay melihat jam di sudut ponselnya. Sekarang baru jam satu. Masih sempat Nay makan siang dulu. Perjalanan ke
Di dalam Pak Bram kembali histeris. Dia terus berteriak-teriak minta benda itu dikembalikan. Pak Arya memanggil dua orang pegawainya yang biasa mengurus Pak Bram untuk mencoba menenangkannya. "Seseorang telah mengirimkan teluh. Lihat Rey! Aku menemukan ini di bawah tempat tidur Pak Bram," tukas Nay pada Rey yang sudah berada di sebelahnya."Oh, jadi Pak Bram kena santet.""Bukan Rey, beda. Teluh itu seseorang mengambil sukma orang yang di dimaksud lalu menyesatkannya ke alam lain. Seperti Pak Bram itu. Nah, di dalam tubuh Pak Bram bukan dia. Namun, roh jahat, hantu atau siluman. Jadi selama sukma Pak Bram tidak dikembalikan, roh jahat itu akan tetap di situ. Menghisap hawa murni si empunya tubuh," kata Nay menjelaskan. "I see!" Rey manggut-manggut. "Kita tunggu Pak Arya keluar. Aku harus berbicara dengan beliau.""Kau tunggu di sini, biar aku menyusul Pak Arya ke dalam.""Oke, Rey. Aku tunggu di depan saja." Rey masuk ke kamar Pak Bram sedangkan Nay kembali ke ruang tamu. Tak lam
Penampakan sukma Nay terlihat berbeda. Mengenakan kain batik bercorak gajah oling berwarna hitam dengan lukisan tumbuhan berwarna emas. Terlihat kontras dengan baju beludru hitam tanpa lengan yang dipakai Nay. Kelat bahu berornamen bunga terlihat apik. Ompok berwarna emas dengan cundhuk mentul menghias kepala menambah ayu wajahnya. Tak lupa selendang kuning yang selalu tersampir di bahu dan kipas berwarna merah menyala terselip di pinggangnya. Serupa dengan penari gandrung Banyuwangi.Makhluk yang merasuki tubuh Pak Bram keluar dari tubuh inangnya. Dia berdiri di depan Nay. Tubuhnya terus meninggi dengan jari-jari tangan yang semakin memanjang. Kepalanya terus membesar menyerupai gurita. Jemari yang memanjang berubah menjadi delapan lengan. Bulatan-bulatan di bagian bawahnya sesekali terlihat saat tentakel itu bergerak ke atas. Dari situ pula Nay dapat merasakan aliran energi yang besar siap mencengkeram."Beraninya kau gadis sombong!"Nay hanya tersenyum tipis. Namun hal itu justru