Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
Motor hitam ala Brat Bobber berhenti di depan gedung berlantai dua berwarna biru muda. Di depan gedung itu terpasang baliho besar bertuliskan nama sebuah perusahaan. Gadis muda pengendara motor tersebut berkerja di sana. Dia memarkirkan motornya di samping gedung. Mengenakan kaos putih lengan pendek, dipadukan dengan jaket denim berwarna hitam, serta celana jeans warna senada. Tak lupa sebuah kaca mata hitam tersemat di wajahnya. Tubuhnya proposional dengan tinggi semampai. Rambut hitam sebahu dia biarkan tergerai. Nay, begitu dia biasa disapa. Bekerja pada bagian survey untuk perusahaan jasa renovasi rumah-rumah tua. Usianya mendekati kepala tiga. Cukup matang memang, tetapi dia belum memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Menikah bukan prioritas utama. Baginya, bekerja dirasa jauh lebih penting dan menyenangkan. Bisa bertemu dengan orang-orang baru, berbagi pengalaman. Terkadang penuh kejutan dan seru.Pagi ini Nay diminta untuk menemui salah satu klien. Perusahaan tempatnya
Nay, membuka mata batinnya lebih jauh. Mencoba menemukan di mana "ketua" gerombolan makhluk perempuan yang sedang mengganggu para pekerja. Ketemu! Pekerja berbaju biru yang tergeletak dekat kursi, dirasuki makhluk perempuan yang paling kuat di antara semuanya."Kau! Keluar!" teriak Nay pada makhluk perempuan di dalam tubuh pekerja tersebut. Untuk membuat mereka semua tersadar cukup temukan si ketua, maka yang lainnya akan mengikuti. Sejurus kemudian Nay melepas jaketnya lalu meluruskan tangan tepat di hadapan para pekerja. Tangan Nay menarik energi dan menyimpannya di dalam. Lengan kiri Nay sangat istimewa. Bagaikan magnet bisa menarik makhluk-makhluk tak kasat mata dan mengurungnya di sana. Satu persatu pekerja Pak Oey tersadar. Wajah mereka pucat dan lemas. Energi mereka cukup banyak terbuang. Mengingat mereka kerasukan lebih dari satu jam. "Ini kalian minum dulu, biar Nay membantu menetralisir tempat kerja kalian." Pak Oey memberikan minuman kemasan pada mereka. "Ini kiriman d
"Ini!" Rey mengangkat bungkusan plastik yang dibawanya. "Bayarnya pake gorengan.""Kamu emang gak modal!" protes Nay. "Kita duduk di sini saja." Nay menunjuk salah satu bangku besi di sudut taman.Mereka duduk bersisian. Lampu temaram menghiasi setiap sudut taman. Walau malam sudah larut, masih terlihat beberapa orang berbincang di bangku yang yang tersebar di beberapa titik. "Bisa tunjukkan fotonya, Rey?"Rey mengeluarkan HP dari saku celananya. "Sebentar, mungkin ini akan membuatmu terkejut."Nay tertawa. "Apa? Terkejut? Segala macam bentuk makhluk mengerikan sudah pernah aku temui. Kalau hanya potongan tubuh tidak mungkin membuatku terkejut, Rey.""Ini, Nay." Rey menyodorkan gambar tubuh seorang wanita persis seperti ceritanya. "Coba perhatikan darah yang mengalir di antara dua kakinya. Ada sesuatu yang menancap di sana. Sebilah bambu kuning. Apa ini berarti sesuatu bagimu, Nay? Mengingat bambu kuning bertalian erat dengan dunia mistis.""Belum tentu, Rey. Tapi ini cukup menarik.
Terdengar dehem bernada rendah dari dekat pintu samping. Nay, menoleh. Sosok tinggi besar sedang memandanginya. Tubuhnya berbulu lebat. Ada sepasang tanduk pendek di kepala. Kuku-kuku panjangnya menjuntai sampai ke lantai. Matanya melotot merah dan besar. Di samping sosok itu, berdiri melayang seorang wanita berbaju putih lusuh dengan rambut keriting panjang menyeringai pada. Mukanya putih seperti memakai bedak bayi. Matanya tak kalah merah dengan sosok bertubuh besar tadi. Mereka berdua memiliki 'energi' paling kuat di antara semua penghuni rumah ini. Bisa dibilang pemimpin di lokasi tersebut. Mereka terlihat enggan mendekati Nay. Mungkin karena dua penjaga yang selalu menemani kemanapun Nay pergi. "Aku tidak bermaksud jahat. Datang hanya untuk berbicara pada kalian. Rumah ini akan direnovasi. Jadi kalian harus mencari tempat baru.""Kau pikir semudah itu mengusir kami dari sini." Nenek tua yang kemarin mengancam Nay ikut berbicara. Dia duduk di tempat yang sama. Dekat tangga.
"Ibumu tidak membuangmu, Nay. Tapi menitipkan pada kami. Dia lah yang meminta kami untuk merahasiakan ini. Kata ibumu, bila kau terus bersamanya, kalian berdua dalam bahaya," ucap Bu Mien membuka sedikit tentang ibu Nay."Tutup matamu, Nay. Aku akan membawamu ke masa di mana kau diantar ibumu ke tempat ini. Atur perasaanmu, Nay. Konsentrasi." Nyi Asrita lalu meletakkan tangannya di dahi Nay.Nay dan Nyi Asrita terbawa melayang melewati lorong gelap. Samar-samar terlihat cahaya di kejauhan. Nay merasa tak sabar. Dia ingin cepat sampai di tempat cahaya itu berasal. Dia meyakini di sanalah tujuan akhir mereka."Lihat cahaya itu, Nay. Kita akan tiba di sana sebentar lagi." Nyi Asrita menggenggam tangan Nay. Dia mencoba menenangkan perasaan anak asuhnya itu yang terlihat mulai menangis. "Iya, Nyi," jawab Nay dengan suara tertahan.Perasaan Nay semakin bergejolak ketika mereka tiba di tempat asal cahaya yang mereka lihat tadi. Ada Bu Mien dan seorang perempuan berambut panjang kusut masai.
Sri, salah satu teman tak kasat mata yang sering bertandang ke apartemen Nay. Menurut ceritanya, dia mati bunuh diri terjun ke laut yang letaknya tak jauh dari kompleks apartemen ini. Bisa dibilang Nay dan Sri berteman karib. Mereka sudah kenal lama. Sri biasa duduk di pohon kamboja dekat lapangan basket. Ada dua temannya yang tak pernah absen menemani. Rossi dan Prita. Mereka juga korban kasih tak sampai. Kisah hidup mereka kurang lebih sama. Bunuh diri karena cinta. "Apa Rey sudah pulang, Sri?" tanya Nay ketika mereka telah sampai di depan unit milik Nay. "Aku belum melihatnya, Nay," jawab Sri "Oh," balas Nay pendek, lalu dia mengambil kunci dari saku tasnya. Nay membuka pintu, kemudian Nay masuk diikuti Sri di belakangnya. "Kalian pacaran, ya?" tanya Sri dengan mimik wajah serius. Nay tertawa. "Kau naksir dia, ya?" Nay balik bertanya, mencandai Sri."Gak mau naksir. Saingannya berat." "Belum dicoba sudah kalah duluan, Sri," ledek Nay. "Sudah jelas Mas polisi ganteng itu naks
"Wait! Jadi kau sudah tahu asal-usulmu, Nay?""Belum jelas, Rey. Makanya aku perlu tahu siapa laki-laki yang ditulis ibuku itu.""Dia ayahmu, kah?""Haduh! Nih, Pak polisi nanya melulu," celetuk Rossi. "Belum tahu juga Rey. Di situ tidak dituliskan.""Kalau benar Bramantyo yang itu, tidak mudah untuk menemuinya, Nay," kata Rey mengambil cangkir kopinya. "Kau tahu dia, Rey?" "Dia pengusaha tambang batubara. Dua tahun lalu, kalau aku tak salah ingat istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia shock berat sampai mengalami gangguan jiwa.""Terus?""Terus, terus, ntar nabrak dong, Nay.""Ih, malah bercanda." Nay mencubit lengan Rey yang hampir saja membuat isi di cangkir Rey tumpah. "Sakit juga ya cubitan orang cantik," kata Rey tersenyum lalu menyeruput sedikit isi cangkirnya yang masih panas. "Sekarang aku tidak tahu dia di mana. Kemungkinan besar berada di rumah sakit jiwa.""Tapi kalau bukan Bramantyo yang itu?" Nay bertanya ragu."Bukankah itu tujuanmu memintaku datang, Nay