Share

Mengusir Penghuni Astral

Terdengar dehem bernada rendah dari dekat pintu samping. Nay, menoleh. Sosok tinggi besar sedang memandanginya. Tubuhnya berbulu lebat. Ada sepasang tanduk pendek di kepala. Kuku-kuku panjangnya menjuntai sampai ke lantai. Matanya melotot merah dan besar.  

Di samping sosok itu, berdiri melayang seorang wanita berbaju putih lusuh dengan rambut keriting panjang menyeringai pada. Mukanya putih seperti memakai bedak bayi. Matanya tak kalah merah dengan sosok bertubuh besar tadi.  

Mereka berdua memiliki 'energi' paling kuat di antara semua penghuni rumah ini. Bisa dibilang pemimpin di lokasi tersebut. Mereka terlihat enggan mendekati Nay. Mungkin karena dua penjaga yang selalu menemani kemanapun Nay pergi. 

"Aku tidak bermaksud jahat. Datang hanya untuk berbicara pada kalian. Rumah ini akan direnovasi. Jadi kalian harus mencari tempat baru."

"Kau pikir semudah itu mengusir kami dari sini." Nenek tua yang kemarin mengancam Nay ikut berbicara. Dia duduk di tempat yang sama. Dekat tangga. 

"Aku tidak mengusir. Hanya memberikan penawaran untuk pindah ke tempat baru. Aku sendiri yang akan membawa kalian."

"Apa kau bisa dipercaya?" tanya pemimpin mereka.

"Biasanya kalian yang tidak bisa dipercaya," balas Nay. 

"Manusia sudah banyak berubah. Lebih culas dari kami. Aku bisa saja melawanmu. Anak buahku banyak. Tapi itu akan membuang waktu dan tenaga saja, apalagi meladeni anak kemarin sore sepertimu!"

"Tidak usah bermulut besar seperti itu. Cukup sekali tarikan saja, kau bisa aku segel dengan mudah!"

Nay menyeringai sengit. Ia mulai merapal mantra, kemudian mengambil cawan perak dari dalam tasnya. Tak berapa lama, cawan tersebut mulai menarik makhluk-makhluk astral di tempat itu. Tidak ada yang bisa menghindar terhisap ke dalamnya. Kecuali mereka yang Nay kehendaki  tetap berada di sana.

Cawan yang dimiliki Nay bukan benda sembarangan. Sebuah cawan yang sangat istimewa pemberian Nyi Asrita, gurunya. Konon cawan itu hanya bisa digunakan oleh Nay dengan mantra khusus. 

Setelah dirasa cukup, Nay kembali mengucapkan sesuatu dan menutup cawan itu dengan tangannya. Sebuah mantra penutup untuk mengurung mereka di sana sementara.

Pekerjaan Nay kali ini cukup mudah. Tidak ada perlawanan yang berarti dari makhluk-makhluk penghuni rumah tersebut. Mereka hanya sosok biasa yang sering tinggal di tempat-tempat lama dan tidak dihuni manusia lagi.

Leluhur pemilik tempat itu,  Nyonya Belanda dan suaminya yang sempat ditemui Nay kemarin terlihat turun dari lantai dua. Wanita berpita biru itu melambaikan tangannya, sedangkan sang suami hanya tersenyum tipis. Nay membalas sapaan mereka, sedikit membungkuk  lalu beranjak pergi meninggalkan rumah tersebut.

"Ini Pak Man kuncinya. Saya permisi pulang." Nay memberikan kunci rumah pada penjaga kebun yang masih sibuk memotong rumput. 

"Cepat sekali, Mbak." Pak Man mengulurkan tangannya menerima kunci dari Nay.

"Iya, Pak. Sudah selesai. Terima kasih. Permisi," pamit Nay.

"Mari, Mbak," sahut Pak Man sembari menyimpan kunci di saku bajunya.

Nay memacu motornya cepat. Langit yang tadinya cerah berubah mendung. Ia harus tiba di panti sebelum hujan bila tidak ruas jalan kota akan tergenang banjir saat hujan lebat.

"Kak Nay, datang! Kak Nay, datang!" teriak salah satu anak di panti melihat kedatangan Nay. 

Mereka berlari menghampiri Nay yang membawa dua kantong besar berisi makanan ringan, coklat dan es krim. Momen kedatangan Nay memang selalu mereka tunggu-tunggu. 

"Ini, untuk kalian semua. Jangan berebut. Berbagi yang adil, ya." Nay meletakkan bawaannya di atas meja teras depan. 

"Sudah tiba kamu, Nay," ucap Bu Mien melongok dari jendela.

"Sudah, Bu," balas Nay dengan senyum.

"Masuk!  Ini opor ayamnya sudah matang."

"Iya, Bu."

Nay masuk dari pintu belakang. Dia langsung menuju dapur. Di sana, Bu Mien sedang menuangkan opor ayam ke dalam mangkuk. Nay mendekati Bu Mien lalu mencium punggung tangan perempuan tersebut. Memeluknya beberapa saat. Kebiasaan yang selalu Nay lakukan setiap kali bertemu Bu Mien. 

Bu Mien seorang perempuan luar biasa. Bertutur lembut dengan kesabaran tak terhingga. Tidak pernah sekalipun berkata-kata kasar dan menyakiti, sekalipun anak-anak panti melakukan sesuatu di luar batas. Beliau selalu menasehati dengan bahasa yang baik dan menyejukkan. Seorang Ibu yang benar-benar mengabdikan dirinya hanya untuk anak-anak asuhnya. 

"Sudah, duduk sana. Ibu ambilkan nasinya dulu, ya."

"Iya, Bu."

Nay melangkah ke arah meja makan. Dilihatnya Nyi Asrita duduk di salah satu kursi menghadap meja makan. 

"Duduk sini, Nay." Nyi Asrita memintanya duduk di sebelah kursinya.

Nay mengangguk, lalu menggeser kursi di sebelah Nyi Asrita. Dia tidak biasa berbicara dengan Nyi Asrita di depan Bu Mien. 

Nyi Asrita adalah ibu asuh Nay. Ibu asuh yang tak kasat mata. Posturnya sedang. Bergelung ukel berhiaskan tusuk konde berwarna gading dengan ornamen bulu merak. Konon tusuk konde itu bisa dijadikan senjata. Namun Nay belum pernah sekalipun melihat Nyi Asrita menggunakannya. 

Sejak Nay kecil, dialah yang menjaga Nay. Beliau jugalah guru tempat Nay mengasah kemampuan istimewanya yang telah ada sejak dia bernapas di dunia. Tapi dia selalu sembunyi-sembunyi melakukan itu. Tidak sekalipun Nay bercerita pada Bu Mien perihal Nyi Asrita.

"Ayo dimakan. Ini nasinya." Bu Mien meletakkan semangkuk besar nasi yang masih mengebul di sebelah mangkuk berisi opor. 

"Ibu, tidak sekalian makan?" tanya Nay membalik piring yang tertelungkup di atas meja di depannya. 

"Ibu masih kenyang. Nay makanlah. Sembari makan ibu ingin menceritakan sesuatu padamu."

"Soal apa, Bu?" tanya Nay, seraya mengambil nasi dan menaruhnya di piring. 

"Orang tuamu," jawab Bu Mien dengan mimik serius.

"Jadi ini alasan Ibu meminta Nay datang?" tanya Nay menghentikan tangannya menyendok nasi.

"Iya, Nay."

"Bukankah Ibu sudah tahu Nay sudah tidak tertarik untuk tahu tentang mereka. Biar saja mereka tetap menjadi misteri sepanjang hidup, Nay."

"Tapi ini penting, Nay. Nyi Asrita yang akan menceritakannya padamu."

Nay kaget. Bu Mien tahu keberadaan Nyi Asrita. Bagaimana bisa?

"Terkejut, Nay?" tanya Nyi Asrita melihat ekspresi wajah Nay. "Sebenarnya kami bisa saling berkomunikasi. Hanya saja tidak pernah menunjukkannya padamu. Bu Mien punya kepekaan yang sama denganmu. Tapi Beliau tidak memiliki kemampuan sepertimu. Bu Mien seorang penyembuh. Sedangkan kau kulatih menjadi seorang  petarung.

"Pantas saja saat Nay kecil bila sedang sakit, Ibu selalu menaruh tangannya di tubuh Nay yang terasa sakit.  Ternyata ini sebabnya. Kenapa kalian merahasiakan ini?" tanya Nay.

"Sebentar lagi kau akan tahu." Bu Mien beranjak dari kursi. Menutup pintu depan dan meminta anak-anak yang sedang bermain untuk tidak masuk sampai pintu dibuka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status