"Wait! Jadi kau sudah tahu asal-usulmu, Nay?"
"Belum jelas, Rey. Makanya aku perlu tahu siapa laki-laki yang ditulis ibuku itu.""Dia ayahmu, kah?""Haduh! Nih, Pak polisi nanya melulu," celetuk Rossi."Belum tahu juga Rey. Di situ tidak dituliskan.""Kalau benar Bramantyo yang itu, tidak mudah untuk menemuinya, Nay," kata Rey mengambil cangkir kopinya."Kau tahu dia, Rey?""Dia pengusaha tambang batubara. Dua tahun lalu, kalau aku tak salah ingat istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia shock berat sampai mengalami gangguan jiwa.""Terus?""Terus, terus, ntar nabrak dong, Nay.""Ih, malah bercanda." Nay mencubit lengan Rey yang hampir saja membuat isi di cangkir Rey tumpah."Sakit juga ya cubitan orang cantik," kata Rey tersenyum lalu menyeruput sedikit isi cangkirnya yang masih panas. "Sekarang aku tidak tahu dia di mana. Kemungkinan besar berada di rumah sakit jiwa.""Tapi kalau bukan Bramantyo yang itu?" Nay bertanya ragu."Bukankah itu tujuanmu memintaku datang, Nay. Kau hebat bila berurusan dengan orang mati. Tapi tidak dengan orang hidup. Aku lebih hebat, Nay.""Iya, iya. Eh, mungkin ini bisa membantu, Rey." Nay mengambil secarik kertas dari sakunya. "Ini nama orang tua ibuku. Ada alamatnya juga di situ. Bu Mien yang menuliskannya. Kau bisa menyelidiki apakah keluarga mereka saling mengenal." Nay kemudian memberikan kertas tersebut pada Rey."Oke, akan aku coba selidiki. Mudah-mudahan jawabannya segera kita dapatkan." Rey kembali menyesap kopi di cangkirnya."Terima kasih, Rey. Cepat habiskan kopinya. Tidak baik laki-laki berduaan dengan perempuan yang bukan istrinya. Bisa menimbulkan fitnah," kata Nay menahan senyumnya. Dia hanya berniat bercanda. Tidak benar-benar ingin pria tersebut cepat pergi."Lima menit lagi saja, Nay. Ini kopinya masih panas," protes Rey mencoba bernegosiasi."Oke. Lima belas menit. Tidak kurang tidak lebih. Selama menunggu cukuplah untuk mengobrol dengan cewek-cewek centil di situ!" Nay menunjuk ke arah pintu kamarnya. "Mereka penggemar beratmu, Rey. Apalagi Sri, dia naksir kamu tuh.""Jangan bercanda, Nay. Gak lucu!""Beneran, Rey. Mereka dari tadi ada di sini. Mau lihat?" tawar Nay cengar-cengir."Gak .... Gak deh! Kamu, Nay, cantik-cantik temannya hantu. Aku pulang sekarang saja."Rey menyesap kopinya sampai habis."Besok kalau sudah ada informasi aku hubungi kamu," ucap Rey, mengambil ranselnya, lalu melangkah menuju pintu diikuti Nay di belakangnya."Makasih, ya, Rey," ucap Nay ketika Rey sudah berada di luar apartemennya."Kembali kasih, Nay," balas Rey mengusap puncak kepala Nay."Nay, kita pinjam dulu ya," kata Prita menyeringai."Bungkus deh! Awas jangan diapa-apain, ya."Rey menoleh. "Kau bicara denganku?""Enggak, Rey. Itu sama teman-temanku yang tadi." Nay nyengir kuda."Kau ini Nay!" Rey lekas membuka pintu apartemennya lalu mencebik ke arah Nay sebelum menutup pintu.Nay terkikik. Trio centil pun melayang masuk menembus dinding apartemen Rey. Nay tahu mereka sudah sering main ke sana. Seringnya sekadar untuk melihat wajah tampan Rey dari dekat.Hantu perempuan seperti mereka memang sangat menyukai laki-laki berparas tampan.***Nay mampir sebentar ke kantor pagi ini. Tidak ada tugas dari Pak Oey. Dia hanya datang mengabsen saja. Biasanya Nay akan berkunjung ke panti bila sedang tidak sibuk, tetapi hari ini dia ingin jalan-jalan saja.Kebetulan ada tempat makan yang baru dibuka di Jalan S.Parman. Menurut kabar tempatnya nyaman dan makanannya enak. Sambil menunggu kabar dari Rey tidak ada salahnya menghabiskan waktu makan siangnya di sana.Nay mencari tempat duduk di posisi belakang restoran. So far so good. Tidak ada hal yang mencurigakan. Nay memesan satu porsi soto Betawi dan jus melon. Sembari menunggu pesanannya datang, Nay memperhatikan sekitar. Sepasang muda-mudi di depannya menarik perhatiannya. Sebentar terlihat dua. Lain waktu terlihat tiga.Nay jadi penasaran. Dilihatnya lagi, benar ada tiga. Ada sosok lain di belakang si lelaki Sepasang tangan keriput dan pucat memegangi kepalanya. Setiap kali dia menoleh, tangan itu membenarkan lagi posisi agar tetap menghadap perempuan di depannya.Makhluk itu menyadari kalau Nay sedang memperhatikannya. Dia memiringkan kepala. Seperti sengaja agar wajahnya tidak terhalang. Wajahnya buruk. Mulutnya melebar sampai ke pipi. Tidak ada deretan gigi di mulut. Bentuk mata menonjol keluar seperti hampir terlepas. Rasanya makan dengan pemandangan seperti itu bisa menghilangkan selera.Nay beranjak pindah ke meja depan. Tak lama pesanan Nay datang. Aroma rempah dari mangkuk soto membuat Nay ingin cepat menyantapnya."Tunggu, Nay!" Tiba-tiba Gantari menampakkan diri."Kenapa? Ada yang salah dengan makanan ini?" tanya Nay mengerutkan dahi."Coba kau perhatikan pintu di ujung sana itu. Di dalam duduk pemilik restoran ini. Kakinya penuh borok. Dia mencelupkan kakinya di baki. Air dari baki itu dimasukkan ke dalam kuah setiap olahan makanan di sini. Hanya anak dari pemilik tempat ini saja yang boleh masuk.""Ihhh, mual perutku. Jorok! Kenapa tidak bilang dari tadi?""Kau tidak bertanya, Nay.""Dasar kamu, untung aja cakep. Kalau enggak, sudah aku suruh makan ni soto."Gantari tersenyum lalu menghilang dalam sekejap. Dia semacam guardian angel yang ikut kemanapun Nay pergi. Bukan hanya Gantari, seorang lagi bernama Wirabadra. Ia juga selalu siaga membantu Nay kapan pun diperlukan.Sosok Gantari berwajah bersih dan teduh. Tubuhnya diliputi cahaya putih. Jubah yang dikenakannya kuning keemasan. Sangat tampan rupawan dengan rambut melebihi bahu. Sedangkan Wirabadra adalah kebalikannya. Berjubah serba hitam. Hampir tidak pernah tersenyum tapi memiliki kekuatan prajurit tarung yang luar biasa. Kerap kali membantu Nay berhadapan dengan sosok astral yang sulit dikalahkan. Keduanya sosok baik penjaga Nay. Keduanya sudah mendampingi Nay sejak memasuki usia 10 tahun. Tepat saat kemampuannya melihat dimensi lain mulai terbuka.Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge