Share

Meminta Bantuan Rey

Sri, salah satu teman tak kasat mata yang sering bertandang ke apartemen Nay. Menurut ceritanya, dia mati bunuh diri terjun ke laut yang letaknya tak jauh dari kompleks apartemen ini. Bisa dibilang Nay dan Sri berteman karib. Mereka sudah kenal lama. Sri biasa duduk di pohon kamboja dekat lapangan basket. Ada dua temannya yang tak pernah absen menemani. Rossi dan Prita. Mereka juga korban kasih tak sampai. Kisah hidup mereka kurang lebih sama. Bunuh diri karena cinta. 

"Apa Rey sudah pulang, Sri?" tanya Nay ketika mereka telah sampai di depan unit milik Nay. 

"Aku belum melihatnya, Nay," jawab Sri 

"Oh," balas Nay pendek, lalu dia mengambil kunci dari saku tasnya. Nay membuka pintu, kemudian Nay masuk diikuti Sri di belakangnya. 

"Kalian pacaran, ya?" tanya Sri dengan mimik wajah serius. 

Nay tertawa. "Kau naksir dia, ya?" Nay balik bertanya, mencandai Sri.

"Gak mau naksir. Saingannya berat."

"Belum dicoba sudah kalah duluan, Sri," ledek Nay.

"Sudah jelas Mas polisi ganteng itu naksirnya sama kamu. Jadi sangat tidak mungkin bersaing dengan seorang Nayara. Apalagi aku bukan perempuan tukang tikung. Gak level tau!" Sri memonyongkan bibirnya. 

"Tapi aku belum ingin menjalin hubungan dengan seseorang, Sri. Kau tahu sendiri pekerjaanku ini. Berhubungan dengan hal-hal tak kasat mata. Rumit, Sri."

"Bukannya Rey sudah tahu seperti apa pekerjaanmu. Aku rasa tidak akan ada masalah yang berarti. Apa susahnya sih bilang iya. Sudah terlalu sering Rey mengatakan perasaannya padamu secara terang-terangan. Tapi tetap saja kau bergeming. Laki-laki cakep, tinggi, kulitnya putih bersih, baik, perhatian dan seabreg kelebihan dia lainnya yang bikin cewek-cewek di luar sana klepek-klepek. Nah, cewek di depanku ini untuk bilang iya saja mesti menunggu 1.777 purnama. Tak bisa kumengerti isi kepalamu, Nay," cerocos Sri panjang lebar.

"Tidak usah dipikirkan, Sri. Bisa tambah ruwet nanti rambutmu." Nay malah meledek Sri. "Coba kau ke apartemennya. Lihat apakah dia sudah pulang apa belum. Tolong, ya," pinta Nay pada Sri yang sedang melihat-lihat CD di rak tak jauh dari sofa.

"Iya, aku liatin deh. Phill Collins ya. Yang ini." Sri menunjuk satu CD album lawas Phill Collins kesukaannya. Makhluk astral seperti Sri memang menyukai lagu-lagu sendu mendayu. Selaras dengan sifat mereka yang perasa.

"Iya. We fly so close kan? Dah hafal aku kesukaanmu, Sri."

"Eh, kenapa gak pakai telepati saja. Suruh dia pulang gitu." 

"Hush! Tidak boleh begitu."

"Daripada rindu. Ngaku aja deh." Sri terkekeh. "Aku cek ke parkiran, siapa tahu Rey sudah pulang. Nanti aku balik lagi. Awas ya kalau tak bilang rindu kalau ketemu, aku rampas dia!"

"Dasar hantu!"

"Dasar, Nay!" Sri membalas lalu melayang keluar melalui jendela. "Jangan rindu, berat. Aku saja, Nay!" teriak Sri melayang semakin jauh.

Nay hanya tertawa menanggapi teriakan Sri. Memanglah dia si hantu centil yang suka melayang kesana-kemari menggoda laki-laki penghuni apartemen ini.

Nay, membolak-balik buku ibunya. Dia tidak terlalu suka membaca. Apalagi tulisan tangan ibunya tidak bisa dibilang bagus. Setelah membaca semuanya, Nay tidak menemukan sesuatu yang istimewa di dalamnya. 

Pada bagian depan berisi mantra-mantra sihir. Di bagian tengah coretan keseharian dan di bagian paling akhir berisi kisah cinta ibunya. 

Ada satu nama yang kerap muncul di bagian akhir ini. Sayangnya ibu Nay tidak menempelkan foto laki-laki yang sering disebutnya. Hanya tertulis dengan huruf besar di lembar terakhir pada sudut kanan bawah, BRAMANTYO EKAWIRA.

***

Nay menunggu Rey di bangku panjang yang berada di sisi lorong apartemen mereka. Sudah lebih dari 30 menit, tetapi belum juga terlihat batang hidungnya.

"Nungguin pacar nih ye," ujar Rossi yang tiba-tiba muncul bersama dua temannya Sri dan Prita.

"Kalian lagi. Trio centil. Sudah selesai ngecengin cowok-cowok basket di bawah?"

"Mereka gak main malam ini, Nay. Kita pindah ke sini saja, ngecen MMBgin Mas Polisi." Prita terkikik lalu duduk di sebelah Nay.

"Sri gak cemburu, nih?" tanya Nay menggoda Sri yang diam bersedekap.

"Sorry gak level!" jawab Sri sekenanya.

Nay tertawa. "Ntar jangan nyesel ya kalau Rey diambil orang."

"Ya iyalah diambil orang, masa diambil hantu." Sri melayang mendekati Nay. "Paling juga yang ambil kamu, Nay. Taruhan deh! Pasti kalian nanti jadian." Sri mendekatkan wajah pucatnya pada muka Nay.

"Coba sekali-kali kau facial Sri. Supaya tak kusam mukamu ini." Nay mengarahkan telunjuknya pada hidung Sri.

"Iya, Sri, di salon Rona di bawah tuh. Ntar Nay yang bayarin." Rossi ikut menggoda Sri yang dibalas dengan bibir manyun ala-ala artis telenovela.

"Udah, nanti Sri nangis kita godain terus. Oh, iya kalian bertiga jangan kemana-mana, ya. Aku dan Rey akan membicarakan hal serius di dalam. Kalian temani aku."

"Tuh, kan beneran kalian pacaran."

"Kalau pacaran ngapain minta ditemenin, Sri."

"Eh, iya juga ya." Sri menoleh."Itu Rey pulang, Nay!" Sri menunjuk laki-laki bertubuh kekar yang hari ini menggunakan kemeja putih dengan menyandang ransel di punggungnya.

Nay menoleh. Tampak Rey tersenyum dari kejauhan. Nay melambaikan tangan membalasnya.

"Tumben duduk di sini sendiri malam-malam begini. Menunggu diriku kah?" tanya Rey saat tiba di depan Nay.

"Iya. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Penting!"

Nay berdiri lalu menarik tangan Rey masuk ke dalam apartemennya. Sri, Rossi dan Prita mengikuti Rey dari belakang.

"Eits, beneran ini boleh masuk?" tanya Rey ketika Nay menutup pintu. "Biasanya dilarang keras!"

"Kali ini berbeda. Duduklah. Aku bikinkan kopi, biar kita enak ngobrolnya."

Rey meletakkan ranselnya di lantai lalu memilih duduk di sofa dekat jendela.

"Jangan pahit ya, Nay. Hidupku sudah sangat pahit. Butuh yang manis-manis."

"Iya-iya," jawab Nay dari pantri yang berjarak hanya beberapa meter dari ruang tamu.

Nay mengeluarkan sepasang cangkir keramik berwarna putih tanpa ornamen dari dalam lemari. Menuangkan capuccino instan ke dalamnya lalu menambahkan air panas dari dispenser yang selalu menyala setiap harinya.

"Ini, kopinya. Mudah-mudahan rasanya pas." Nay meletakkan cangkir beserta piring alasnya di atas meja.

"Sudah cocok jadi istri kalau begini."

"Mulai deh, gombalnya." Nay duduk di sofa samping Rey yang dipisahkan oleh meja kayu kecil. "Ini buku catatan ibuku." Nay menggeser buku yang memang sudah tergeletak di meja ke depan Rey. "Di sini ibuku menyebut Bramantyo Ekawira. Sebagai polisi tentu kau punya banyak akses untuk mencari tahu siapa dan di mana dia."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status