Nay mengurungkan niatnya untuk makan. Dia keluar dengan meninggalkan makanan yang masih utuh di atas meja. Pelayan di sana sempat memperhatikan Nay yang hanya membayar lalu pergi. Terlebih seseorang di meja kasir. Matanya tak lepas mengikuti langkah kaki Nay. Mungkin dia salah satu anak pemilik restoran.
Beberapa meter keluar dari restoran, ponselnya berbunyi. Buru-buru dia mengangkatnya. Dari nada deringnya itu telpon dari Rey."Nay, sepertinya memang benar Bramantyo yang kita bicarakan semalam kenal dengan ibumu." Rey mengawali pembicaraan. "Aku sudah dapat alamatnya. Nanti aku WA. Kalau kau sedang off, kita ketemu di sana jam tiga sore ini. Ganti.""Baik Ndan! Diterima. Siap dilaksanakan!""Aku tunggu, ya," ujar Rey, kemudian menutup telponnya.Tanpa menunggu, Nay membuka pesan dari Rey : Jalan Adipati nomor 5 (rumah besar berwarna putih) tunggu di sana sampai aku datang.Nay melihat jam di sudut ponselnya. Sekarang baru jam satu. Masih sempat Nay makan siang dulu. Perjalanan ke sana ditambah macet bisa lebih dari satu jam. Cukuplah.***Rey ternyata sudah sampai lebih dulu saat Nay tiba. Dia menunggu di samping pintu pagar rumah besar yang alamatnya ia sebutkan di WA tadi."Pak polisi sudah duluan ternyata," kata Nay mematikan mesin motornya."Right on time, Nay," sahut Rey, mengacungkan jempolnya.Rey menekan bel rumah itu berkali-kali. Namun, belum juga muncul siapapun dari balik pintu pagar yang tinggi itu. Akhirnya setelah sekian kali, akhirnya muncul seorang wanita paruh baya membuka pintu."Maaf, ada perlu apa, Mas?" tanya perempuan itu sopan."Tadi saya sudah menelpon Pak Arya. Membuat janji jam tiga ini.""Oh, Mas Reymond, ya?" tebaknya."Iya."Perempuan itu lalu mempersilakan mereka masuk. Tidak terlihat tanda-tanda ada kehidupan di rumah sebesar ini. Sepi."Silakan duduk." Perempuan itu menyilakan Nay dan Rey duduk di kursi ruang tamu yang berinterior klasik."Terima kasih," balas Nay.Tak menunggu lama, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan turun dari lantai dua. Dia tersenyum hangat pada Rey dan Nay."Maaf mengganggu waktunya, Pak." Rey menyalami orang itu. "Ini, Nay yang saya ceritakan tadi di telepon."Nay menyalami orang itu. "Saya Nayara, Pak.""Mirip sekali kamu dengan Ratri. Cantik."Nay tersipu.Apakah ini Bramantyo yang disebut ibunya? Nay bertanya pada dirinya sendiri.Pak Arya mengajak mereka ke sebuah ruangan. Di sana seseorang mirip dirinya duduk di kursi roda. Tubuhnya kurus, hanya kulit membalut tulang.Begitu masuk, Nay merasakan ruangan itu seperti diselubungi kain hitam, membatasi orang yang berada di dalamnya untuk berinteraksi."Ini Kakak saya. Bramantyo Ekawira. Beginilah keadaannya sekarang. Tidak lagi bisa mengenali siapapun. Termasuk kami keluarganya. Kami sudah mencoba sampai Singapura tapi hasilnya tetap nihil," ungkap Pak Arya. Wajahnya terlihat sedih.Hati Nay tergetar. Benarkah ini ayahnya? Nay mencoba mendekati untuk mencium tangannya. Belum sempat Nay menyentuh, pria itu menepis dengan kasar. Matanya menatap Nay tajam."Keluar kamu!" pekiknya keras.Rey dan Pak Arya terkejut. Tidak menyangka pria tersebut akan bersikap seperti itu. Tangan Pak Bram terus menunjuk pintu meminta Nay keluar.Rey menarik Nay keluar kamar, sedangkan Pak Arya mencoba menenangkan Pak Bram di dalam. Dia terus berteriak-teriak, "Pergi .... Pergi!""Rey, ada sesuatu yang tidak biasa dengan Pak Bram. Bukan kondisi medis yang bisa dijelaskan. Aku perlu bertanya dengan Pak Arya lebih lanjut," kata Nay merendahkan suaranya.Pak Arya keluar dari kamar kakaknya lalu ditutupnya pintu kamar itu."Maaf, kalau Kakak saya berkata kasar.""Tidak apa, Pak. Mungkin beliau terganggu dengan kedatangan kami," kata Rey."Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud lancang, sepertinya ada sesuatu yang tidak biasa sedang dialami Pak Bram.""Maksudmu, Nay?" tanya Pak Arya. "Mari kita duduk di depan saja supaya enak ngobrolnya."Mereka kembali ke ruang tamu. Mata Nay penuh selidik, melirik ke tiap sudut ruangan yang dilewati."Bagaimana, Nay? Apa yang kamu maksud tidak biasa?" tanya Pak Arya begitu mereka sudah berada di ruang tamu."Ketika saya masuk kamar tadi, saya seperti masuk ke dalam ruang kedap suara. Tidak terdengar apa pun dari luar. Ada energi yang meliputinya.""Nay sensitif terhadap hal-hal seperti itu, Pak," kata Rey menjelaskan."Sejak kapan Pak Bram seperti itu?" tanya Nay kemudian."Sejak kematian istri dan anaknya, Kakak saya tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Sampai suatu hari dia berteriak-teriak tidak karuan. Seperti bukan dirinya. Suara yang keluar dari mulutnya lebih berat. Berbeda dengan suara aslinya. Saya sendiri kadang takut melihatnya.""Apa sudah pernah ada yang mencoba membantu Pak Bram? Maksud saya bukan dokter.""Paranormal maksudmu, Nay? Belum. Keluarga kami tidak percaya dengan hal-hal semacam itu.""Boleh saya membantu, Pak?" tanya Nay menawarkan diri."Memang kamu bisa?" tanya Pak Arya terlihat ragu."Percayalah Nay sangat bisa, Pak." Rey ikut meyakinkan Pria tersebutl."Baiklah, tidak ada salahnya dicoba. Silakan saja, Nay," kata Pak Arya memberikan Nay kesempatan."Baiklah, saya akan memeriksa kamar Pak Bram."Nay berdiri dari kursinya lalu melangkah menuju kamar Pak Bram. Dia berjongkok di depan pintu. Tangannya menyentuh lantai, melacak energi tertentu yang tidak biasa. Memilah-milah setiap gerakan energi makhluk gaib yang ada di tempat ini. Nay mencari benda yang mengeluarkan energi dan berhubungan dengan tubuh Pak Bram. Dia yakin bahwa seseorang telah mengurung sukmanya.Nay terus mencari sampai akhirnya dia menemukan energi yang terhubung dengan tubuh Pak Bram. Letaknya di bawah ubin tepat di bawah tempat tidur. Seseorang mengubur benda itu di sana."Wirabadra, kamu masuk ke dalam. Keluarkan benda itu. Bawa kemari!" Nay memberi perintah pada pendampingnya.Wirabadra dengan cepat menjalankan perintah. Sejurus kemudian dia kembali membawa bungkusan kain kumal berbentuk pocong.Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe