Share

Bramantyo Ekawira

Nay mengurungkan niatnya untuk makan. Dia keluar dengan meninggalkan makanan yang masih utuh di atas meja. Pelayan di sana sempat memperhatikan Nay yang hanya membayar lalu pergi. Terlebih seseorang di meja kasir. Matanya tak lepas mengikuti langkah kaki Nay. Mungkin dia salah satu anak pemilik restoran.

Beberapa meter keluar dari restoran, ponselnya berbunyi. Buru-buru dia mengangkatnya. Dari nada deringnya itu telpon dari Rey.

"Nay, sepertinya memang benar Bramantyo yang kita bicarakan semalam kenal dengan ibumu." Rey mengawali pembicaraan. "Aku sudah dapat alamatnya. Nanti aku WA. Kalau kau sedang off, kita ketemu di sana jam tiga sore ini. Ganti."

"Baik Ndan! Diterima. Siap dilaksanakan!"

"Aku tunggu, ya," ujar Rey, kemudian menutup telponnya.

Tanpa menunggu, Nay membuka pesan dari Rey : Jalan Adipati nomor 5 (rumah besar berwarna putih) tunggu di sana sampai aku datang.

Nay melihat jam di sudut ponselnya. Sekarang baru jam satu. Masih sempat Nay makan siang dulu. Perjalanan ke sana ditambah macet bisa lebih dari satu jam. Cukuplah.

***

Rey ternyata sudah sampai lebih dulu saat Nay tiba. Dia menunggu di samping pintu pagar rumah besar yang alamatnya ia sebutkan di WA tadi.

"Pak polisi sudah duluan ternyata," kata Nay mematikan mesin motornya.

"Right on time, Nay," sahut Rey, mengacungkan jempolnya.

Rey menekan bel rumah itu berkali-kali. Namun, belum juga muncul siapapun dari balik pintu pagar yang tinggi itu. Akhirnya setelah sekian kali, akhirnya muncul seorang wanita paruh baya membuka pintu.

"Maaf, ada perlu apa, Mas?" tanya perempuan itu sopan.

"Tadi saya sudah menelpon Pak Arya. Membuat janji jam tiga ini."

"Oh, Mas Reymond, ya?" tebaknya.

"Iya."

Perempuan itu lalu mempersilakan mereka masuk. Tidak terlihat tanda-tanda ada kehidupan di rumah sebesar ini. Sepi.

"Silakan duduk." Perempuan itu menyilakan Nay dan Rey duduk di kursi ruang tamu yang berinterior klasik.

"Terima kasih," balas Nay.

Tak menunggu lama, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan turun dari lantai dua. Dia tersenyum hangat pada Rey dan Nay.

"Maaf mengganggu waktunya, Pak." Rey menyalami orang itu. "Ini, Nay yang saya ceritakan tadi di telepon."

Nay menyalami orang itu. "Saya Nayara, Pak."

"Mirip sekali kamu dengan Ratri. Cantik."

Nay tersipu.

Apakah ini Bramantyo yang disebut ibunya? Nay bertanya pada dirinya sendiri.

Pak Arya mengajak mereka ke sebuah ruangan. Di sana seseorang mirip dirinya duduk di kursi roda. Tubuhnya kurus, hanya kulit membalut tulang.

Begitu masuk, Nay merasakan ruangan itu seperti diselubungi kain hitam, membatasi orang yang berada di dalamnya untuk berinteraksi.

"Ini Kakak saya. Bramantyo Ekawira. Beginilah keadaannya sekarang. Tidak lagi bisa mengenali siapapun. Termasuk kami keluarganya. Kami sudah mencoba sampai Singapura tapi hasilnya tetap nihil," ungkap Pak Arya. Wajahnya terlihat sedih.

Hati Nay tergetar. Benarkah ini ayahnya? Nay mencoba mendekati untuk mencium tangannya. Belum sempat Nay menyentuh, pria itu menepis dengan kasar. Matanya menatap Nay tajam.

"Keluar kamu!" pekiknya keras.

Rey dan Pak Arya terkejut. Tidak menyangka pria tersebut akan bersikap seperti itu. Tangan Pak Bram terus menunjuk pintu meminta Nay keluar.

Rey menarik Nay keluar kamar, sedangkan Pak Arya mencoba menenangkan Pak Bram di dalam. Dia terus berteriak-teriak, "Pergi .... Pergi!"

"Rey, ada sesuatu yang tidak biasa dengan Pak Bram. Bukan kondisi medis yang bisa dijelaskan. Aku perlu bertanya dengan Pak Arya lebih lanjut," kata Nay merendahkan suaranya.

Pak Arya keluar dari kamar kakaknya lalu ditutupnya pintu kamar itu.

"Maaf, kalau Kakak saya berkata kasar."

"Tidak apa, Pak. Mungkin beliau terganggu dengan kedatangan kami," kata Rey.

"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud lancang, sepertinya ada sesuatu yang tidak biasa sedang dialami Pak Bram."

"Maksudmu, Nay?" tanya Pak Arya. "Mari kita duduk di depan saja supaya enak ngobrolnya."

Mereka kembali ke ruang tamu. Mata Nay penuh selidik, melirik ke tiap sudut ruangan yang dilewati.

"Bagaimana, Nay? Apa yang kamu maksud tidak biasa?" tanya Pak Arya begitu mereka sudah berada di ruang tamu.

"Ketika saya masuk kamar tadi, saya seperti masuk ke dalam ruang kedap suara. Tidak terdengar apa pun dari luar. Ada energi yang meliputinya."

"Nay sensitif terhadap hal-hal seperti itu, Pak," kata Rey menjelaskan.

"Sejak kapan Pak Bram seperti itu?" tanya Nay kemudian.

"Sejak kematian istri dan anaknya, Kakak saya tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Sampai suatu hari dia berteriak-teriak tidak karuan. Seperti bukan dirinya. Suara yang keluar dari mulutnya lebih berat. Berbeda dengan suara aslinya. Saya sendiri kadang takut melihatnya."

"Apa sudah pernah ada yang mencoba membantu Pak Bram? Maksud saya bukan dokter."

"Paranormal maksudmu, Nay? Belum. Keluarga kami tidak percaya dengan hal-hal semacam itu."

"Boleh saya membantu, Pak?" tanya Nay menawarkan diri.

"Memang kamu bisa?" tanya Pak Arya terlihat ragu.

"Percayalah Nay sangat bisa, Pak." Rey ikut meyakinkan Pria tersebutl.

"Baiklah, tidak ada salahnya dicoba. Silakan saja, Nay," kata Pak Arya memberikan Nay kesempatan.

"Baiklah, saya akan memeriksa kamar Pak Bram."

Nay berdiri dari kursinya lalu melangkah menuju kamar Pak Bram. Dia berjongkok di depan pintu. Tangannya menyentuh lantai, melacak energi tertentu yang tidak biasa. Memilah-milah setiap gerakan energi makhluk gaib yang ada di tempat ini. Nay mencari benda yang mengeluarkan energi dan berhubungan dengan tubuh Pak Bram. Dia yakin bahwa seseorang telah mengurung sukmanya.

Nay terus mencari sampai akhirnya dia menemukan energi yang terhubung dengan tubuh Pak Bram. Letaknya di bawah ubin tepat di bawah tempat tidur. Seseorang mengubur benda itu di sana.

"Wirabadra, kamu masuk ke dalam. Keluarkan benda itu. Bawa kemari!" Nay memberi perintah pada pendampingnya.

Wirabadra dengan cepat menjalankan perintah. Sejurus kemudian dia kembali membawa bungkusan kain kumal berbentuk pocong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status