"Rissa, kok kamu ada di sini?" tanya Kang Alvin, mengelus pipi istrinya dengan lembut. Maklum saja, masih pengantin baru mereka memamerkan kemesraannya meski pada wanita yang kini menatap lekat.
Siapa lagi jika bukan Bi Ratih yang sedari tadi mematung di depannya, wanita janda beranak satu itu memalingkan pandangannya mungkin karena canggung melihat terus dua sejoli yang saling menautkan jemari dengan erat.
"Aku ... cuman mau ke dapur ambil air," jawab Rissa gelagapan.
"Dapur kan di sana, Sayang. Kok malah ke sini?" ucapnya lembut. "Kamu masuk lagi ya, di sini dingin. Nanti kamu kena flu."
Saran Kang Alvin diangguki sang istri, nasihatnya dibenarkan jika dia memang tidak bisa berada di suhu rendah. Dia akan rentan sakit apalagi kalau tubuhnya terkena air dingin. Pria itu memang tahu apa yang tidak disukai atau sangat disukai sang istri. Kalau bisa dibilang, dia termasuk ke dalam kategori suami idaman.
Namun, mengingat bercak noda di seprainya yang padahal masih baru, lalu memergoki kedekatan Kang Alvin dengan Bi Ratih, dan pembicaraan mereka yang mengaitkannya dengan seprai bernoda darah itu. Dia menggelengkan kepalanya pelan mencoba menjauhkan prasangka buruk mengenai suaminya.
"Kamu dari tadi di sini, Sayang?" tanyanya pelan.
"Baru aja tadi kok." Rissa berbohong, dia tidak mau merusak hari pengantinnya karena masalah seprai. Mengenai noda merah pekat yang mengotori kain berwarna putih itu bisa saja dari darah hewan. Wanita itu mencoba untuk berpikir positif lagipula mana mungkin Kang Alvin melakukan hal yang tidak-tidak. Dia pria baik yang dikenalnya sudah dua tahun lalu di kampus.
Kang Alvin menghela napasnya pelan, mungkin dia merasa lega karena istrinya tidak mendengar percakapannya dengan Bi Ratih atau hanya menghirup udara di malam hari saja? Entahlah.
"Kalau gitu kita masuk lagi yuk, Sayang." Pria itu membelai kedua pipi sang istri penuh cinta.
"Bi Ratih kenapa belum tidur?" Sebelum pergi, Rissa memiringkan kepalanya bertanya pada asisten rumah tangganya yang masih saja mematung di tempat.
"Eh? Iya, Nyonya. Mau tidur sekarang juga," jawabnya gelagapan.
Gelagatnya terlihat aneh, langkahnya tergesa begitu dia memutuskan pergi lebih dulu ke kamarnya. Bukannya berprasangka buruk pada asisten rumahnya yang kini sudah berlalu meninggalkan mereka, tapi Rissa merasa jika Bi Ratih ada main dengan suaminya. Hubungan apa yang terjalin antara mereka?
"Ke kamar yuk, Sayang." Ajakan Kang Alvin menyadarkan istrinya. Rissa merasa tersentak begitu suaminya mengeratkan genggaman tangannya.
Sepasang pengantin baru itu pun kembali masuk ke dalam kamarnya. Seprainya juga kini sudah diganti dengan motif bunga matahari. Rissa melepaskan genggaman suaminya, lalu dia membaringkan tubuhnya bersebelahan dengan Kang Alvin.
"Kenapa, Sayang?" tanya Kang Alvin, meraih dagu istrinya dengan jemari lentiknya.
Rissa menggelengkan kepalanya, seulas senyum terbingkai manis dari parasnya. Gadis itu mencoba untuk bersikap biasa, menjauhkan pemikiran buruk mengenai suaminya.
Pria beralis tebal itu melingkarkan tangan kanannya di pinggang sang istri dengan mesra. Namun, perlakuannya tidak digubris Rissa. Dia menepis tangan suaminya pelan, seolah tidak ingin dirinya disentuh.
"Kenapa, Sayang? Malam ini kan akan menjadi momen terindah bagi kita. Bukankah begitu, Sayang?" tanya Kang Alvin pelan.
Rissa bukannya tidak ingin menunaikan nafkah batinnya pada pria yang kini sudah halal baginya, tapi dia seolah enggan memberikannya begitu terlintas pemikiran buruk terhadap Kang Alvin.
Apa Kang Alvin berselingkuh di belakangnya? Melakukan sesuatu yang tidak diinginkan di malam pertama mereka?
"Aku capek, Mas."
Wanita itu membalikkan tubuhnya membelakangi sang suami. Dia memang tahu jika seorang istri tidak boleh memalingkan wajahnya, tapi dadanya terasa sesak dan kedua matanya mulai memanas. Dia tidak kuasa menahan bendungan air mata yang sedari tadi mendesak keluar.
Tidak lagi terdengar panggilan dari Kang Alvin, mungkin pria itu memahaminya jika seharian ini mereka menjadi Raja dan Ratu dalam sehari. Berdiri berjam-jam sembari menyalami para tamu undangan yang memberikan selamat.
Rissa memejamkan kedua matanya, bersamaan air matanya keluar berjatuhan membasahi bantal. Hatinya terasa sakit melihat kedua mata Kang Alvin yang seperti menyembunyikan suatu hal besar. Dia yakin jika pria itu mengetahui sesuatu.
"Selamat tidur, Sayang." Kang Alvin akhirnya bersuara, Rissa kira suaminya sudah tertidur pulas. Dia juga mengecup puncak kepala sang istri dengan lembut.
Perlakuan pria itu memang sangat manis, tapi kenapa seperti ada yang mengganjal hatinya? Seperti ketidakpercayaan terhadap sesuatu, tapi dia belum bisa membenarkannya karena tidak ada bukti dalam genggamannya.
***
Sinar matahari mulai menyelinap ke dalam jendela kaca yang dibiarkan terbuka sedikit. Beberapa kali Rissa mengerjapkan kedua matanya, begitu netranya dibuka sempurna dia dihadapkan dengan satu buket bunga mawar berwarna merah.
Posisi wanita itu sudah berada di hadapan tempat suaminya tidur semalam. Namun, keberadaan pria itu tidak ada di sana terganti dengan buket bunga yang membuat keningnya mengernyit bingung.
"Ke mana, Kang Alvin?" tanya Rissa lirih, dia mengedarkan pandangannya ke segala arah, tapi tetap saja tidak ditemukan.
Rissa menyambar buket bunga itu dengan bibir yang mengembang membentuk senyuman. Tidak salah lagi jika buket bunga itu pasti dari suaminya. Dia memutuskan keluar kamarnya, mencari suaminya.
Kedua matanya menyisir sekitar, hingga tatapannya terhenti di satu titik. Pria yang tengah dicarinya tengah menggendong putra Bi Ratih. Namanya Zidan, usianya masih sekitaran dua tahun.
"Kang ...," panggilnya pelan membuat pria yang merasa dirinya terpanggil menoleh ke arahnya.
"Eh, Sayang. Gimana suka kan buketnya?"
Rissa menganggukkan kepalanya pelan, mencoba mengulum senyum meski dirinya masih mematung di tempat terus memandangi kedekatan suaminya dengan putra asisten rumah tangganya.
"Bagus ya? Itu Bi Ratih lho yang pilih."
Ucapan Kang Alvin membuat hati Rissa terasa terbakar. Sebenarnya hubungan apa yang terjalin antara keduanya?
Keberadaan Clarissa memang berada di tangan Fatma, alasannya membawa bayi mungil itu karena dia ingin memiliki Alvin sepenuhnya. Dirinya sudah sangat terobsesi dengan sosok pri atersebut yang tidak bisa pergi dalam pikirannya. Makanya, dia memutuskan untuk membawa bayi tersebut diam-diam pada malam hari saat kedua matanya terlelap.Bayi mungil yang kini tengah berada di pangkuannya tampak gelisah, sepertinya dia ingin sesuatu, tapi hanya bisa merengek membuat Fatma kesal sendiri.“Aduh, jangan nangis terus dong, pusing deh dengernya.” Begitu yang disampaikannya, dia benar-benar tidak bisa habis pikir pada Clarissa yang tidak bisa diam.“Kamu mau apa sih? Mimi?” tanya Fatma. Dia mencoba menanyakannya pada bayi mungil nan menggemaskan itu .Akan tetapi, justru tidak ada jawaban yang didapatkannya. Hal itu membuatnya mendengus kasar karena dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi.“Tapi aku bukan ibu kamu.” Dia mengatakannya dengan tegas, Fatma pikir jika bayi dalam pangkuannya itu akan s
Kehilangan Clarissa yang entah berada di mana, membuat Alvin benar-benar tidak tenang. Bahkan dia tak tahu harus mencarinya ke mana, tapi meski begitu, lelaki itu akan terus mencarinya.Rissa sedari tadi menangis tiada henti, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, terlebih lagi sebelumnya Clarissa itu Bersama dengannya. Tentunya hal itu membuatnya sangat terpukul sekali.“Aku enggak tahu harus cari Clarissa ke mana lagi.” Rissa menundukkan pandangannya, dia benar-benar terpukul sekali atas kehilangan putrinya yang sampai saat ini entah berada di mana.“Kamu malah nyerah gitu aja?” tanya Alvin, dia menggeleng pelan seolah kebingungan sendiri dengan apa yang dikatakan istrinya.“Aku bukannya nyerah, Kang. Tapi, aku cuman berada di fase yang enggak tahu lagi harus kayak gimana ngadepin ini semua.” Perempuan itu menangis tiada henti. Mana ada seorang Ibu yang tidak menangis sama sekali saat anaknya hilang begitu saja.“Ini juga gara-gara kamu!” sergah Alvin, dia mengatakannya dengan
Gambar yang memperlihatkan sosok Alvin, membuat Rissa bertanya-tanya, siapa pengirimnya? Akan tetapi, dia juga mempunyai firasat jika orang yang mengirimkannya adalah Fatma. Pemikirannya itu ditanggapi dengan cepat olehnya sendiri. Namun, untuk apa dirinya mengirimkan terhadapnya? Atau mungkin hal itu seolah menunjukkan bahwa dia tengah berada di tempat yang sama seperti suaminya.“Padahal enggak usah kirim-kirim foto segala, lagipula aku udah tahu kalau dia itu satu tempat kerja sama suamiku.” Rissa menggeleng pelan, karena dirinya tidak habis pikir pada si pengirim. Hal itu membuatnya merasa cemas sendiri karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada suaminya.Maka dari itu, Rissa mencoba untuk menghubungi suaminya memintanya agar segera pulang. Namun, justru sambungan telepon darinya tidak saja diterima Alvin. Setelah banyaknya kejadian yang membuat Rissa semakin tidak tenang dalam menjalani kehidupannya, bahkan dia juga jadi lebih banyak memberikan Batasan terhadap suami
Alvin pergi ke tempatnya bekerja, dia berharap jika Fatma tidak lagi mengejarnya, karena wanita itu juga sudah tahu jika dirinya mempunyai keluarga. Mana mungkin dia terus berlaku seperti itu saja. Kesannya seperti tidak mengenakkan.“Selamat pagi, Pak.” Salah satu karyawan menghampiri Alvin, dia menyapanya dengan sangat ramah. Tentu saja, lelaki itu pula membalasnya dengan senyuman pula yang merekah.“Iya.” Alvin menyunggingkan senyumannya.Tidak lama kemudian, Fatma berjalan ke arahnya, senyumannya terlihat merekah. Wanita itu bahagia sekali saat kedua matanya beradu pandang dengan lelaki satu anak itu.Alvin berusaha untuk menghindarinya, dia segera melangkahkan kakinya ke arah ruangannya, tapi justru Fatma mengikutinya begitu saja seolah enggan ditinggalkan. Bahkan, saat lelaki itu hendak memasuki ruang kerjanya pun wanita itu mencekal pergelangan tangannya seolah menghentikannya begitu saja.Sikap Fatma membuat Alvin semakin tidak nyaman, bagaimana tidak seperti itu? Bahkan kala
Kali ini Rissa jauh lebih posesif pada Alvin, karena bagaimana pun juga suaminya itu pernah melakukan hal yang tidak seharusnya, membohonginya begitu saja. Tentu saja, hal itu justru membuatnya tidak suka atas perlakuannya. Seperti saat ini keduanya tengah berhadapan di meja makan, Rissa seolah tidak nafsu makan, karena segala hal yang terjadi begitu sangat melelahkan baginya. Wanita itu merasa jika Alvin sudah memberinya terlalu banyak luka, tapi justru dirinya semakin cinta terhadapnya. Dia juga bahkan tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi persoalan tersebut. Rissa memang selalu melakukan yang terbaik untuk rumah tangganya, tapi namanya juga hubungan percintaan yang sudah dijalin dengan kesucian memang selalu saja tidak bisa terlepas dari masalah. Munkin hal itu juga disebabkan dari traumanya di masa lalu yang membuatnya tidak bisa melepaskan Alvin begitu saja. Persembunyian mengenai Bi Ratih juga membuat Rissa seolah tidak bisa mempercayai sang suami sepenuhnya, meskipun Alv
Fatma masih saja terus mengusik Alvin, bahkan dia kali ini seringkali memberikan makanan buatannya. Namun, hal itu tidak membuat Kang Alvin luluh untuk memakannya. Fatma memberikannya untuknya, lalu dia akan menyerahkannya pada pekerjanya yang memang sedang bertugas ke ruangannya, entah itu cleaning service atau yang lainnya. Kang Alvin enggan menerimanya karena merasa takut akan terjadi seperti kejadian sebelumnya, bagaimana jika istrinya tahu kalau di kantor ada perempuan genit yang sedang berusaha menggodanya. Mungkin saja dia akan menggamparnya atau bisa lebih parah lagi enggan untuk memaafkannya. Meski sebelumnya pun Kang Alvin tidak berselingkuh, tapi dia merasa banyak bersalah bahkan seolah mengkhianati istrinya begitu saja, dia enggan melakukan hal seperti itu lagi. Sudah cukup baginya membohongi sampai dirinya nyaris kehilangan istrinya. "Ini untuk Bapak." Fatma tidak akan pernah menyerah memberikan makanan buatannya pada Alvin. Seperti biasanya, Alvin akan menolaknya se