Aku bersiap menuju ke kantor cabang di Kota Balikpapan setelah menikmati sarapan pagiku. Ada beberapa masalah keuangan di kantor cabang Balikpapan yang mengharuskanku sebagai manager keuangan pusat harus turun tangan langsung dalam rangka megaudit laoporan keuangan cabang.
Biasanya jika aku sudah turun tangan langsung seperti ini, beberapa pejabat di kantor cabang akan khawatir dengan posisi mereka. Karena pasti akan ada yang berubah setelah aku melakukan audit keuangan, entah itu penurunan jabatan atau bahkan pemecatan oleh pemilik perusahaan. Karena aku hanya akan turun tangan langsung jika memang kondisi keuangan sudah sangat banyak penyimpangan oleh oknum-oknum tertentu.
Kuraih laptopku di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ini hanya laptop cadanganku di kantor karena laptop yang sehari-hari kugunakan ketinggalan di rumah saat aku mampir membawakan salep untuk mengobati iritasi bayi yang dipesan Lilis.
Beruntung Alana bisa membantuku dengan mengirimkan semua berkas yang kuperlukan di laptop itu ke alamat emailku. Alana memang istri cerdas yang sangat bisa kuandalkan. Beda sekali dengan Lilis yang semuanya tergantung padaku dan Ibu, bahkan untuk urusan salep aja harus aku yang mencarikannya ke apotik.
Ponselku bergetar ketika kami sedang dalam perjalanan menuju kantor cabang, aku meraihnya dan menatap layar. Ibu menelpon.
"Halo, ada apa, Bu?" Aku langsung bertanya pada Ibu.
"Wil, kamu ada nelpon istrimu?" tanya Ibu.
"Siapa, Bu? Alana atau Lilis?" Aku mengusap tengkukku bingung, istri yang mana yang dimaksud Ibu? Mereka berdua sedang berada di rumahku saat ini.
Kudengar di seberang telpon Ibu menghela napasnya.
“Alana, Wil. Kamu ada nelpon Alana nggak? Barusan dia pergi, ini masih pagi banget loh. Ibu nanya mau kemana tapi Alana hanya menjawab mau cari angin.”
“Ya udah nggak apa-apa, Bu. Mungkin Alana lagi suntuk di rumah.”
“Tapi, Nak ...”
“Kenapa lagi, Bu? Jangan bikin Wildan pusing deh, tolong jaga mereka selama Wildan di luar kota ya, Bu. Wildan lagi banyak kerjaan banget di sini.”
Kembali terdengar helaan napas Ibu.
“Alana tadi nggak sarapan, Wil. Padahal Ibu sudah masakin bubur ayam kesukaannya, dan tadi pagi saat Ibu membangunkannya untuk sholat subuh, Ibu lihat mata Alana bengkak seperti habis menangis semalaman.”
Aku terdiam. Aku memang tak menghubungi Alana lagi setelah kemarin menyuruhnya mengirim email. Jika benar apa yang dikatakan Ibu, apa yang membuatnya menangis?
“Wil, apa mungkin istrimu sudah mengetahui tentang Lilis dan bayi kalian?”
“Ah ... nggak mungkinlah, Bu. Memangnya Alana tau dari siapa? Ibu nggak ngomong sesuatu ke Al kan?”
Aku berusaha meyakinkan Ibu, padahal aku sendiri menjadi sedikit khawatir mendengar penjelasan Ibu tentang Alana.
“Nggak, Nak. Ibu nggak bahas apapun ke istrimu. Sebaiknya kamu cepat pulang, Wil. Ibu punya firasat kalau Alana tau sesuatu. Tak biasanya dia seperti ini pada Ibu.”
“Wildan baru saja tiba, Bu. Bahkan belum sampai di kantor cabang dan belum tau seberapa besar masalah di sini. Ibu doakan saja semua berjalan baik, dan tolong jaga Alana ya, Bu.”
Terus terang hatiku gelisah setelah berbicara dengan Ibu di telpon, namun aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja. Aku sudah berhasil menyembunyikan ini selama setahun dari Alana, dan keberhasilanku sudah di depan mata. Aku hanya ingin hidup bahagia dengan Alana dan putraku setelah ini.
Beberapa pejabat penting cabang perusahaan Balikpapan menyambutku dan tim ku di depan pintu utama ketika mobil perusahaan yang menjemput kami di hotel tadi tiba di kantor cabang. Perusahaan tempatku bekerja bergerak di bidang pertambangan dan mempunyai beberapa cabang di daerah Sumatera dan Kalimantan bahkan sampai ke Papua. Aku sendiri menjabat sebagai Manajer Keuangan di kantor pusat di Jakarta.
Kulangkahkan kakiku dengan gagah dan langsung menuju ke ruang keuangan untuk melakukan pekerjaan kami, mengaudit laporan keuangan cabang perusahaan yang belakangan terlihat mencurigakan. Sebenarnya aku sudah tau di mana kesalahannya dan siapa yang berada di balik permainan keuangan di cabang ini. Instingku sebagai akuntan tak pernah salah, namun kami mambutuhkan bukti otentik agar kasus penggelapan ini bisa diproses di pengadilan nantinya. Sejenak kulupakan masalah di rumah dan mulai berkonsentrasi pada pekerjaanku.
Saat istirahat untuk makan siang, aku membuka beberapa pesan di ponselku. Aku memang jarang membuka ponselku ketika sedang sibuk dengan pekerjaanku. Kubuka beberapa pesan dari Ibu.
[Alana belum pulang sampai sekarang, Wil.]
[Ibu khawatir dengan Alana.]
[Nggak usah terlalu khawatir, Bu. Nanti juga Alana pulang. Mungkin dia lagi jalan dengan teman-temannya.] balasku pada Ibu.
Kemudian pesan dari nomor Lilis yang tertera dengan nama “Fadli” di ponselku.
[Yang semangat Ayah kerjanya.] Tulisnya di bawah foto bayiku yang terlihat sedang tertidur pulas.
[Mas udah ketemu nama belum buat anak kita? Masa Lilis manggilnya baby baby mulu sih?]
[Kalau Lilis kasih nama Bagas, Mas setuju nggak? Nanti sisanya Mas Wildan yang nambahin.]
[Sabar dulu ya, Lis. Mas masih belum nemu nama yang pas untuk putra kesayangan Mas.] Begitu balasanku pada Lilis.
Bukan apa-apa, aku ingin Alana yang memberi nama pada putraku itu. Tapi aku belum ada waktu berdiskusi dengan Alana.
Kuscroll pesan-pesan di applikasi Whatsappku, masih ada beberapa pesan dari teman-temanku, kebanyakan dari mereka mengomentari foto putraku yang kupasang di status tadi. Tak ada satu pun pesan dari Alana. Kucoba menelpon ke nomornya namun Alana tak mengangkatnya.
Kuulangi berkali-kali namun Alana tetap saja tak mengangkat telponnya. Akhirkya kuputuskan mengirimkan pesan padanya.
[Lagi ngapain istri cantikku? Kok nggak angkat telpon? Aku kangen.]
Tak ada balasan, hanya centang dua berwarna abu-abu menandakan Alana belum membaca pesanku.
[Aku lanjut kerja dulu ya, Sayang. Doakan lancar dan cepat selesai biar bisa pulang dan memelukmu lagi. Love u Alana.]
Kusimpan kembali ponselku dan meneruskan makan siangku. Ada sedikit kekhawatiran dalam hatiku, seperti juga yang dirasakan Ibu. Tapi kutepis semua itu dan membayangkan yang indah-indah saja tentang rumah tanggaku.
💫Bersambung💫
Dengan senyum sumringah aku dan Darwin, juga Jessy dan Baby Gandhi bergantian menyalami semua tamu. Tak lupa sambil berfoto mengabadikan semua kebahagiaan yang tercipta hari ini. Darwin memang sengaja menyewa potografer profesional khusus untuk acara ini. Salah satu sudut ruang tamu bahkan sengaja didekorasi dengan indah.“Anggap aja pelaminan kita, Al. Kita kan nggak pernah menggelar resepsi pernikahan,” ucapnya saat aku menanyakan mengapa harus ada hiasan seperti itu.Ternyata sudut yang dihiasi dengan indah itu memanglah menjadi pelaminan kami, pelaminanku bersama suami dan kedua anakku. Tamu-tamu yang datang bergantian menghampiri sudut cantik itu dan mengajak kami berfoto bersama.Lalu tamu yang tak kusangka-sangka itu muncul di depan pintu. Mas Wildan datang dengan menggandeng Lilis sambil menggendong putra mereka. Aku melirik Darwin yang langsung melempar senyuman pada mereka.“Aku sengaja mengundangnya, Al. berdamailah dengan masa lalu, maka masa depan kita akan semakin indah,
Alana.“Kita mau ke mana sih? Perasaan sejak pulang dari Surabaya Abang sering banget deh nyulik Al?” tanyaku ketika masih pagi Darwin sudah menyuruhku bersiap-siap tanpa mengatakan hendak mengajakku ke mana.“Udah nurut aja, Al. Masih banyak rencana masa depan kita yang ada di otakku.”“Tapi aku jadi sering ninggalin anak-anak.”“Justru semua ini demi kenyamanan kita semua nantinya, Al. Termasuk anak-anak kita.”Lalu akupun hanya menurut dan mengikutinya.“Ngapain kita ke rumah sakit? Abang sakit?” tanyaku heran bercampur panik ketika ia menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit.“Nggak ada yang sakit, Al. Aku mengajakmu ke sini untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan.”“Dokter kandungan?” Aku semakin heran dan kali ini menatapnya penuh curiga.“Jangan curiga gitu dong. Kita akan berkonsultasi mengenai alat kontrasepsi apa yang cocok untukmu dan tidak membahayakan dirimu dan juga Baby Gandhi. Aku sudah membuat janji dengan dokter terbaik di rumah sakit ini.”“Kenapa harus kon
“Tentu saja boleh, Sayang. Tapi untuk saat ini Opa belum bisa ikut dengan kita. Kondisi Opa belum memungkinkan. Opa juga masih punya banyak urusan di sini,” ucapku memberinya pengertian.Lalu kami bergantian berpamitan dan mencium punggung tangan Pak Leon. Pria tua itu kembali membungkuk ketika aku meraih punggung tangannya.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup Jessy, Nak. Papa percayakan dia padamu dan Papa berharap bisa segera mendapat kabar baik kepindahan kalian ke rumah Jessy. Sejak kecil Jessy sangat menyukai rumah itu. Terima kasih juga sudah mau menandatangani semua berkas pelimpahan perusahaan.”“Tak perlu berterima kasih, Pa. Bukankah itulah gunanya keluarga? Bagi Alana Papa sekarang adalah orangtua Alana. Terima kasih juga sudah mempercayakan semua pada Alana,” jawabku lirih.***Darwin langsung berangkat ke kantormya setibanya kami semua di Jakarta. Sedangkan aku dengan dibantu Rita dan baby sitter Jessy yang ikut ke Jakarta bersama kami membereskan beberapa hal. Terutama
Alana.Aku terbangun dan menggeliat. Kenapa tubuh terasa pegal-pegal? Perlahan kusibakkan bed cover berwarna putih yang menutupi tubuhku. Hahhh!! Aku polos!! Tak mengenakan sehelai pakaian pun. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Lalu semua segera terjawab saat pintu kamar mandi di dalam kamar mewah ini terbuka, dan sesosok tubuh berbalut handuk putih mucul dari sana.“Good morning, Sweetie,” sapa lelaki itu sambil tersenyum padaku.Ingatanku pun melayang pada apa yang terjadi semalam di kamar ini. Aku menoleh pada box bayi yang terletak di dalam kamar. Mengapa aku sampai melupakan bayiku? Aku tidur terlelap sepanjang malam, itu artinya aku tak menyusui Baby Gandhi, padahal biasanya ia bisa terbangun sampai 2 atau 3 kali menyusu padaku sebelum akhirnya kembali tertidur.Karena panik memikirkan bayiku, tanpa sadar aku kembali menyibak kain yang menyelimuti tubuhku untuk melihat Baby Gandhi. Tubuh polosku kembali terekspos, la
“Aku bahagia melihat hubunganmu sekarang, Al. Dari Inge pula aku tau jika Darwin pria yang baik, kurasa ia memang lebih pantas berjodoh dengan wanita yang tulus sepertimu. Maafkan aku, sekali lagi maafkan semua luka yang pernah kutorehkan dalam hidupmu. Mungkin ke depannya kita akan sering bersinggungan dalam urusan perusahaan Pak Leon yang jatuh ke dalam tanggungjwabmu. Kumohon jangan takut padaku dan jangan meragukanku. Mari kita bekerja sama dengan baik dan profesional, ini juga adalah salah satu permintaan terakhir Inge.”“Lalu apa yang akan Mas Wildan lakukan selanjutnya?”“Aku akan kembali pada Lilis, Al. Bagas memerlukan kasih sayangku. Aku yang sudah memulai semuanya, aku yang sudah menyetujui menikahi Lilis waktu itu meskipun masih terikat pernikahan denganmu. Maka aku harus bertanggungjawab pada mereka. Aku ikhlas meskipun Lilis tak pernah menganggapku ada. Inge mengajarkan padaku bahwa anak adalah mahluk suci yang lahir tanpa dosa, maka tak semestinya kita sebagai orang tua
Alana.“Boleh bicara sebentar, Al?” Suara bariton Mas Wildan mengagetkanku. Rupanya lelaki itu belum pulang dan masih melakukan rapat di ruang kerja Pak Leon dengan beberapa orang kepercayaan Pak Leon lainnya saat aku, Darwin dan Pak Leon tengah berbincang di ruang tengah.“Boleh, bicara di sini aja,” jawabku sedikit gugup sambil melirik suamiku, sedangkan Pak Leon sudah masuk ke dalam ruang kerjanya dengan dibantu oleh asistennya yang setia mendorong kursi roda pria tua itu.“Aku mau bicara empat mata denganmu, Al,” ucapnya lagi.Aku kembali melirik Darwin. Lelaki yang sudah memberiku seorang putra itu tersenyum tipis kemudian mengangguk tanda memperbolehkan.“Mas mau ngomong apa? Aku hanya punya waktu sebentar,” ucapku saat sudah duduk di hadapan Mas Wildan.Lelaki itu tersenyum menatapku.“Pertama aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Al. Karena modal yang waktu itu kamu berikan padaku, perusahaanku bisa kembali berkembang hingga akhirnya menemukan kembali kepercayaan para pel