Alana.“Jadi tadi ngobrolin apa dengan Mas Sofyan?” Aku kembali mengajukan pertanyaan yang sama ketika kami berdua sudah berbaring di tempat tidurku.“Ngobrolin tentang kita, Al. Aku sudah berjanji pada keluargamu untuk tidak menyentuhmu sebelum mengucapkan ijab kabul sekali lagi padamu.”“Tapi bukankah kita sudah menikah?”“Pernikahan kita bukanlah pernikahan biasa, Al. Kita menikah demi memperjelas status dari bayi yang sedang berada dalam rahimmu. Untuk memastikan bahwa aku adalah ayah dari bayi itu, bahwa aku adalah orang yang akan bertanggungjawab padanya dan padamu selama mengandungnya, juga agar kamu tidak menanggung malu sendirian atas kesalahan yang telah kita lakukan. Hanya sebatas itu. Aku harus menikahimu sekali lagi setelah bayi itu lahir jika ingin benar-benar hidup sebagai sepasang suami istri pada umumnya. Itupun jika kamu masih bersedia untuk kunikahi kembali setelah bayi kita lahir.”“Mengapa seperti itu? Kamu tau dari mana semua itu?”“Kita sudah berbuat dosa, Al. A
Setiap hari aku memilih datang ke Kafe Jingga dengan diantar Darwin. Sebenarnya ada Rita yang menemaniku di apartemen. Namun berada di sana masih selalu membuatku trauma dengan kejadian seminggu yang lalu saat Mas Wildan menerobos masuk ke dalam apartemenku. Maka, setiap hari aku lebih nyaman berada di Kafe Jingga sambil memikirkan beberapa terobosan baru untuk memajukan kafe.“Mbak Alana, di luar ada yang nyari Mbak.” Handi tiba-tiba saja muncul di depan pintu ruanganku.“Nyariin aku? Siapa ya, Han?”“Saya nggak kenal, Mbak. Saya juga baru pertama kali melihatnya.”“Laki-laki atau perempuan. Han?”“Perempuan, Mbak, bawa bayi.”Perempuan? Bawa bayi? Aku sama sekali tak punya bayangan tentang orang yang dimaksud oleh Handi.“Suruh masuk ke sini aja, Han. Sekalian suruh anak-anak bikinin minum, ya.”“Baik, Mbak.”Aku masih memikirkan kira-kira siapa tamu yang mencariku ketika wanita itu muncul di depan pintu.“Lilis!!!”“Assalamualaikum, Mbak Al,” sapanya.“Walaikumsalam, silahkan masuk
Alana.“Siapa perempuan tadi, Al?” tiba-tiba saja Nafisa sudah berdiri di depan pintu saat aku masih melamun memikirkan semua kata-kata Lilis tadi.“Eh, Naf. Kapan tiba?”“Siapa perempuan tadi? Kulihat ia keluar dari ruangan ini terburu-buru. Wajahnya seperti sedang kesal.”“Dia Lilis, Naf. Istrinya Mas Wildan.”“Sudah kuduga! Aku sempat melihat wajah anak yang digendongnya tadi. Mirip banget sama mantan suamimu. Oh, jadi wanita itu yang membuatmu menggugat cerai Mas Wildan? Terus ngapain dia kemari? Mau nyari gara-gara lagi?”“Isss ... nanya kok kayak kereta api, Naf,” protesku.“Dia kesini untuk memintaku mencabut laporan kepolisian terhadap suaminya,” lanjutku.“Terus kamu mau kabulkan apa maunya?”Aku menggeleng. “Darwin yang melaporkannya, Naf. Bukan aku. Kurasa akan sulit membujuk Darwin untuk mencabut laporannya.”“Baguslah!” Nafisa menghempaskan tubuhnya di sofa.“Tapi aku kasihan pada mereka, Naf. Menurut Lilis, Mas Wildan diberhentikan secara tidak hormat dari perusahaan kar
“Terima kasih,” ucapku padanya dengan isyarat bibir. Sekali lagi ia membalasnya dengan kedipan matanya. Rasanya ingin sekali aku berlari padanya lalu memeluknya erat, tapi itu tak mungkin kulakukan di hadapan Ayah dan Ibu, juga Mas Sofyan dan Teh Niar.“Kamu pesan makanan?” tanyaku pada Darwin ketika kulihat beberapa orang dengan baju seragam berlogo katering terkenal mondar mandir menyiapkan prasmanan di taman yang terletak di samping rumah.“Iya, Al. Aku mengundang teman-teman dan karyawan kantorku untuk makan siang di sini. Nafisa dan semua karyawan Jingga juga sudah kuundang.”Aku kembali menatap takjub padanya. “Kenapa nggak ngasih tau aku? Kamu banyak sekali membuat kejutan hari ini.”“Aku nggak mau kamu capek, Al. Jadi aku menyiapkan semuanya tanpa memberitahumu.” Ia merengkuh bahuku lalu memelukku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya sambil memperhatikan para petugas katering yang masih sibuk mondar-mandir.“Kalau begitu aku masuk dulu, ya. Aku mau mandi dan berganti pakaian
Darwin.Di hari kepindahan kami dari apartemen yang disewa Alana, aku sengaja memberi kejutan pada Alana dengan mendatangkan seluruh keluarganya dari Bandung. Hal itu sengaja kulakukan agar Alana langsung merasa betah di rumah yang baru kubeli ini. Apalagi, aku memang tak melibatkan Alana ketika mencari dan memilih rumah ini. Aku hanya tak ingin wanita hamil itu kecapean.Tak kusangka usahaku mendatangkan keluarga Alana demi melihat ia senang berhasil. Alana terkejut dan berkaca-kaca saat mengetahui Ayah dan Ibunya serta Mas Sofyan dan anak isterinya sudah ada di rumah baru kami. Aku bisa melihat bagaimana tatapan mata berterima kasih dari Alana ketika menatapku. Namun sayangnya, keluarga Alana tak bisa menginap. Dari awal memang Mas Sofyan sudah mengatakan bahwa sorenya mereka akan segera kembali ke Bandung karena Ibu Alana besok dijadwalkan untuk kontrol kesehatan beliau ke rumah sakit.Acara makan siang yang kupersiapkan tanpa sepengetahuan Alana juga berjalan dengan lancar. Aku m
Alana.“Bu, di depan ada kurir.” Rita melaporkan padaku.“Diterima aja seperti biasa, Rita. Paling juga kiriman makanan seperti biasa,” ujarku. Hingga saat ini Darwin memang masih rutin mengirim menu makanan sehat setiap hari padaku.“Tapi kali ini bukan mengantar makanan, Bu.”“Lalu apa? Kurirnya dari mana.”“Katanya dari butik apa gitu, Bu. Saya nggak ngerti.”Karena penasaran aku pun melangkah ke arah pintu.“Selamat siang. Dengan Bu Alana Larasati?”“Iya, benar.”“Kami dari gerai butik ....” Kurir itu menyebut butik ternama milik salah satu artis terkenal. “Kami mengantarkan pesanan dari Pak Darwin Rahardian. Silahkan diterima dan tanda tangan di sini, Bu. Di dalam paketnya juga ada undangan eksklusif untuk Pak Darwin dan Nyonya untuk menghadiri acara VVIP peluncuran model terbaru dari gerai kami.” lanjutnya.Aku menerima beberapa buah paper bag dengan logo brand selebriti tanah air yang juga dikenal sebagai desainer. Perlahan kukeluarkan satu-persatu isi paper bag yang baru saja
“Papaaaa!!!”Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua segera berlari ke arah kami ketika melihaku dan Darwin di antara kerumunan penjemput di bandara.“Non, jangan lari-lari. Nanti jatuh!” seru Mbak pengasuhnya dari arah belakangnya. Namun gadis kecil itu tak peduli. Ia terus berlari hingga mendarat tepat dalam dekapan Papanya yang memang tengah menunduk menyambutnya.“Hai Mama Alana,” sapanya padaku. Aku tersenyum sambil melirik Darwin yang tengah mendekapnya erat.“Paling Inge yang ngajarin, Al.” Lelaki itu mengerti arti tatapanku padanya. Aku terkejut dengan caranya menyapaku, Mama Alana.“Kabar baik, Sayang. Jessy gimana kabarnya?” Aku mengusap-usap kepalanya.“Jessy baik, Mama Al. Kata dokter, Mama Jessy juga sekarang sudah sehat. Hanya Opa yang masih sakit nggak bisa jalan.” Gadis kecil itu berceloteh dengan riang.Dari cerita yang kudengar dari Darwin. Jessy memang tinggal bertiga dengan Opanya dan juga Inge. Karena kondisi Opa Jessy sudah tua dan hanya bisa duduk di kursi roda m
Darwin.Aku bukannya tak terganggu dengan ucapan Alana, sebelum Jessy mengatakan itu pada Alana, gadis kecilku itu juga sudah menagih janjiku padanya kemarin saat aku menemaninya di kamarnya. Menurut Inge kondisinya saat ini memang sudah banyak kemajuan. Bahkan keberangkatannya ke Singapura kali ini adalah untuk pemeriksaan terakhir sebelum ia benar-benar dinyatakan sembuh dan berhasil mengalahkan penyakit kankernya. Sambil memeluk tubuh Alana, pikiranku melayang di saat aku mengucapkan janjiku yang ternyata sampai sekarang masih diingat oleh Jessy, putriku.“Nge, aku sungguh-sungguh nggak mau bercerai,” ucapku pada Inge ketika ia mengatakan niatnya berpisah.“Tapi aku tetap akan mengajukan cerai ke pengadilan, Mas. Keputusanku sudah bulat.”“Kamu sedang sakit, Nge. Kamu sekarang justru sangat membutuhkanku untuk mendukungmu. Kenapa malah memilih bercerai?”“Aku mau berkonsentrasi menjalani pengobatanku, Mas. Aku tak mau terbebani dengan status sebagai istrimu.”“Aku tak pernah merasa