POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
1. Ingin keduanya.[Nggak usah datang ke persidangan ya, Nye. Supaya proses persidangan lebih cepet]Kubiarkan saja pesan dari Luna, kekasih Mas Bian yang sebentar lagi menggantikan posisiku sebagai istri Mas Bian itu, tapi kali ini berbeda. Jika aku dinikahi karena uang, dia dinikahi karena cinta.[Nye?! Kok dibaca aja? Kenapa nggak bales?] Kembali Luna mengirimkan pesannya yang terlihat begitu tak sabaran melihat aku menjadi janda.[Iya, Luna.]Berat tangan ini walau hanya membalas dengan dua kata itu. Pesan dari Luna itu semakin membuat diri ini seolah tak berharga saja. Setelah sedemikian rupa dia datang dalam kehidupanku dan Mas Bian, dia juga mengatur jalannya perceraian kami, seolah hanya dia dan perasaannya saja yang penting, sedang perasaanku bak butiran debu yang tersapu angin. Tak berharga."Siapa, Nye?" tanya Mas Bian yang duduk di sebelahku. Saat ini kami sedang duduk di bangku belakang rumah, tempat biasa kami menghabiskan waktu sebelum maghrib menyapa."Ibu, Mas," ja
2. Tak mau dimaduMadu? Apa Mas Bian mengutarakan tentang keinginannya untuk menikahi Luna tanpa menceraikan aku? Mustahil, melihat Luna yang begitu tak sabar bahkan mampu mengatur jalannya persidangan agar cepat selesai maka sudah sangat jelas, jika menunggu proses persidangan saja dia sudah tak sabar, mana mungkin dia mau berbagi. Aku pun sama, lebih baik berpisah dari pada harus dimadu. Terlebih, madu dari suamiku adalah Luna, wanita cantik, masih perawan, berkarier sangat bagus, setia menunggu Mas Bian, dan tidak menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Sampai ayah yang menentang hubungan mereka meninggal pun Luna masih menyendiri sampai akhirnya mereka kembali bersama, sungguh pengorbanan yang sangat luar biasa menurutku. Mungkin itu juga yang membuat Mas Bian semakin mencintainya, kesetiaan Luna teramat besar.Dari pengamatanku selama ini, cinta mereka terulang saat Mas Bian mendapat tawaran di perusahaan lain untuk menggantikan kepala divisi. Aku dengar mereka berada di bawah
3. KeputusanTak kuhiraukan bentakan itu. Kutinggalkan saja Mas Bian sendirian di dapur. Lantas aku membaur bersama Mama, Papa, dan Via di meja makan."Mbak, sini, duduk. Kita makan," ajak Via begitu aku datang, menarik kursi yang ada di sebelahnya untukku. Aku pun duduk di sebelah Via, sedang Mama dan Papa di depan kami. "Mana Bian?" tanya Mama seraya mengambil nasi untukku."Ada di dapur.""Bian!" teriak Papa memanggil Mas Bian tak sabar. Mungkin Papa sudah lapar."Iya." Mas Bian datang, masih dengan segelas air di tangannya. Melirik ke arahku sejenak kemudian beralih ke Papa dan Mama sebelum duduk di sebelahku.Segera kusiapkan nasi di piring Mas Bian, seperti biasa, aku masih setia melayani semua kebutuhan dan keperluannya termasuk melayaninya saat makan, meski aku dan dia akan berpisah. Setidaknya, aku tidak meninggalkan bekas luka jika aku tahu benar, luka itu menyakitkan."Mau rendang atau soto, Mas?" tanyaku lembut, anggap saja tak ada apa-apa meski hatiku tidak baik-baik sa
4. Pulang.Bisa aku rasakan, Mas Bian datang dan duduk di sisi sebelahku. "Nye ... apa kamu sudah tidur?" tanyanya lembut, mengusap rambut dan pundakku pun lembut. Aku bergeming, sebisa mungkin menahan kemarahan yang sudah memenuhi dada agar tidak keluar karena bisa saja menimbulkan luka baru."Mas tau kamu belum tidur, Nye. Maafkan mas, mas terpaksa melakukannya.""Apa karena Mas sudah meniduri Luna?" celetukku tanpa sadar. "Anyelir! Demi Allah, mas tidak segila itu. Mas masih waras dan tau dosa.""Apa berselingkuh itu bukan dosa?" "Maaf, Nye. Maaf. Mas sudah berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa itu, tapi mas selalu gagal." Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hati ini saat suami sendiri mencintai wanita lain dengan begitu hebatnya? Seolah anak panah menancap tepat di jantungku saat Mas Bian mengatakan tak bisa menahan rasa cintanya pada Luna.Aku beranjak duduk, dengan sigap Mas Bian membantuku."Apa karena aku kurang cantik, pendidikanku putus di tengah jalan? Bukan wanita kari
5. Terluka lagiSelepas Mas Bian pergi, aku segera mengemasi semua barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper. Sebisa mungkin aku memasukkan semuanya, terutama barang yang penting. Karena aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menginjakkan kakiku di rumah ini meski hanya untuk mengambil barang. Setelah semua beres aku segera memesan taksi, jadwal periksa kehamilan adalah jam 10. Kali ini aku memilih untuk tidak mengingatkan Mas Bian. Sudah waktunya aku belajar untuk mandiri karena setelah ini aku akan mengurus segala sesuatunya sendiri, bukan?Dari hasil pemerikasaan hari ini, dokter mengatakan bayiku sehat dan baik. Hanya saja tekanan darahku agak tinggi, dokter menyarankan agar aku tidak stress dan terlalu banyak pikiran. Dokter juga menanyakan di mana Mas Bian, tumben tidak ikut, padahal seharusnya dia ikut, agar bisa membantuku menurunkan tensi dan menjaga agar sang Ibu tetap dalam kondisi stabil. Ya, itu pandangan dokter, dokter tidak tahu bahwa justru suamiku sendirilah
POV Bian[ Mas, aku sudah berangkat bersama Pak Tarjo. Tidak perlu khawatir, aku sudah sampai. Makanan tinggal dipanaskan saja, sudah aku siapkan di lemari dapur. Tadi aku sudah periksa kehamilan dan semua baik. Tak perlu khawatir. Dan tak perlu menyempatkan diri atau terburu-buru jika memang masih sibuk dengan Luna. Aku sudah sampai dengan selamat.]"Tadi Anyelir menghubungiku, Lun?" tanyaku pada Luna setelah aku membuka pesan dari Anyelir dan memeriksa daftar panggilan masuk. Ada nama Anyelir di sana."Iya, Mas. Kamu masih di kamar mandi tadi. Aku mengangkatnya dan aku menyuruhnya meninggalkan pesan kalau ada yang penting." Astaga, pasti Anyelir berpikir yang tidak-tidak. Dia pasti marah karena sampai jam segini aku belum juga pulang. Aku bahkan lupa kalau ada jadwal periksa yang sebelumnya satu bulan sekali sekarang menjadi dua minggu sekali dan dia tidak memberi tahuku lagi. Fatal, hari ini aku melakukan kesalahan yang sangat besar."Aku pulang dulu, Lun.""Loh, Mas kan sudah jan