Sebenarnya aku ingin sekali menghajar Bella namun karena Mas Arya melindunginya, aku tak bisa berbuat banyak. Kuseret langkah meninggalkan lorong apartemen itu sambil mengusap air mata. Lututku lunglai dan tak bisa kubayangkan lagi betapa sudah berkeping kepingnya perasaan ini.
Aku tidak menyangka dan kejutan yang ada di depan mata membuatku amat merasa, uka yang begitu buruknya. Kukendarai motor kembali ke rumah dengan hati remuk redam, jiwaku teriris dan luka di dalamnya berdarah tak karuan bentuknya. Aku sampai menghentikan motor dan turun untuk menangis di pinggir jalan. Sengaja kupilih tempat yang cukup gelap dan sepi agar bisa meluahkan sakit hati. Aku menangis meraung sejadi-jadinya, dan membungkuk dindekat drainase. Selagi tenggelam dalam kesedihan itu, seorang pria mendekat, pria yang memakai baju olah raga dan helm sepeda. Ia parkirkan sepeda di atas trotoar lalu mendekat padaku. "Ada apa menangis Mbak? Tempat gelap seperti ini tidak aman untuk menangis sendiri," ujarnya sambil menyodorkan tisu. Aku mendongak menatap pria yang tersenyum itu, di keremangan malam dia terlihat menarik, tubuhnya atletis dan tingginya cukup ideal. Aku tidak serta merta menerima tisu pemberiannya karena khawatir bahwa dia hanya orang jahat yang sedang mengincarku. "Maaf tidak usah aku mau pergi saja." "Luka yang dipendam akan membusuk dan membunuh dari dalam, jika ingin menangis, ya, menangis saja, saya akan menemani," ujarnya lembut. "Maaf, saya tidak bisa menerima kebaikan dari siapapun, tidak akan percaya lagi dengan semua orang," jawabku kesal. "Tapi ... Enggak semua orang jahat, Mbak ," sanggahnya. "Halah, sama saja! aku sudah disakiti oleh suami dan sahabat sendiri, jadi aku muak." Entah kenapa aku bisa mengatakan hal itu di hadapan pria asing dengan jujurnya." "Ini Mbak, minum dulu," ujarnya sambil menyodorkan botol air. Rambutku yang berantakan serta menempel di wajahku yang basah oleh air mata makin mengacaukan segalanya. "Ambil aja, Mbak, ini masih disegel kok, botolnya," imbuhnya pelan, mendekatkan botol tersebut lebih dekat ke wajahku. "Terima kasih," jawabku ketika kuambil botol itu, memutar tutup dan meneguk isinya secepatnya. Setengan isi botol berpindah dan membuat pria yang berdiri di depanku tersenyum puas. "Rumah Mbak di mana? Saya antar ya," tawarnya. "Tidak usah, terima kasih, saya akan pulang sendiri," jawabku sambil bangkit dan meraih motorku. "Hati-hati berkendara ya, Mbak, jangan terbawa emosi," imbuhnya ketika aku sudah mau pergi. Aku tak menanggapi, hanya terus memacu motor dan meninggalkan pria yang entah siapa itu. * Sesampainya di rumah, aku langsung membuka pintu, mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut, menatap.ke semua tempat di mana kami pernah berbagi kasih dan kemesraan. Ah, sesaknya. Photo pernikahan yang tampak bahagia itu kuturunkan, lalu kubawa ke halaman belakang dan membantingnya. Raut bahagia kami yang tercetak di sana adalah kepalsuan yang bodoh, aku merasa konyol menikahi pria yang menurutku pangeran tampan, dan cinta dalam hidupku. Kurobek-robek photo itu sambil meraung menumpahkan kekecewaan, apa yang kurasa sekarang adalah perasaan terburuk yang pernah ada di dalam hidupku. Aku merasa hancur dan diinjak ke titik paling rendah. Selagi aku membenamkan wajah ke lutut dan meratapi pedihnya hidup, Mas Arya datang dan tentu saja ia terdiam menatapku menangis di sana. "Ariska, izinkan aku bicara panjang lebar," ujarnya mendekat. Aku mengangkat wajah dan menatapnya dingin. "Untuk apa? untuk menghibur atau memberi pengertian? Memberi tahu bahwa satu-satunya pria yang aku cintai, insinyur tampan dengan penampilan terbaik, sudah membagi hatinya. Apa kau ingin minta izin untuk menikah?" "Tidak bukan begitu, hubunganku dan Bella berjalan tanpa bisa kucegah, aku hanya ...." "Kau hanya apa? Kamu mau bilang kalo semua berjalan tanpa disadari dan kau seolah dihipnotis oleh pesona sahabatku. Bisa tidak kau menimbang lebih dulu, bahwa kami bersahabat, sangat dekat dan kau menciptakan jarak seperti ini?!" "Aku sungguh khilaf ....." "Katakan padaku, bagaimana kau mensbus khilafmu sekarang? Wanita yang kau tiduri menuntut sebuah tanggung jawab, dia ingin status, karena lelah diperlakukan seperti lon*** olehmu." "Jangan demikian kasar, Ariska...." "Kasar katamu? aku tidak percaya ini,". jawabku tertawa sinis. ".... coba pikirkan, menjalin hubungan tanpa status, lalu tidur bersama dan ditinggalkan begitu saja dan semua itu berlanjut setiap hari, apa itu bukan namanya lon** murahan?" "Tolong diamlah!" "Kau yang diam!" Aku langsung bangkit dan mencengkeram lengan pakaiannya, "beraninya kau mendustaiku dan menodai kesucian pernikahan kita, beraninya kau biadab!" Aku mendorongnya hingga ia terjatuh sedang Mas Arya tak hendak melawanku. "Aku menjaga kehormatan dan wibawamu, sedang kau menjual semua itu dengan kenikmatan sesaat, apa aku tidak sungguh membuatmu bahagia, lantas kenapa kau bertahan, kenapa kita tidak cerai saja?" "Tolong, ini sesuatu yang sulit aku kendalikan," jawabnya lantang. "Ir. Arya Dirgantara tak mampu mengendalikan hawa nafsu dan terpaksa berselingkuh?" "Bukan begitu ...." "Baik, aku lelah berdebat tak berguna, sekarang tentukan saja keinginanmu, kita berpisah atau tetap bersama!" "Aku tak mau cerai, tolong ...." "Kau tidak akan rugi, akulah yang rugi, aku tidak punya rumah dan suami lagi, hatiku hancur, hidupku berantakan, lalu kalian para pengkhianat akan menikah dan hidup bahagia selamanya." "Ya ampun, jangan berkhayal akan hal itu ...." "Lalu apa yag kau janjikan pada Bella, apa kau hanya minta izin tidur dengannya lalu pulang tanpa terima kasih. Kau sungguh tak menjanjikan sebuah pernikahan?!" Semakin disebutkan, semakin sakit perasan ini, aku tak sanggup lagi hingga memutuskan untuk menjauh darinya. "Tunggu Ariska, aku ingin bicara," pintanya menahanku. "Lepaskan tanganmu, pendosa sepertimu tak pantas menyentuhku!" ujarku menepis tangannya. "Sungguh ini membingungkan Ariska," keluhku. "Lucu sekali, kau ingin mengambil hati setelah sekian lama menyakiti, maaf tak ada maaf lagi untukmu!" "Kita akan memulai dari awal," pintanya mengejarku namun aku segera masuk kamar dan membanting pintu lalu menguncinya.Keesokan hari kuterima pesan dari kantor polisi agar kami datang dan memberikan keterangan. Meski aku masih trauma tapi tidak ada pilihan lain, aku harus menyelesaikan urusan ini agar bisa segera dituntaskan."Kamu sudah siap?" tanyanya ketika aku sedang mengenakan anting."Iya, mari kita hadapi.""Kamu yakin bisa bertemu dengan pria yang sudah nyaris membunuhmu?""Dia mungkin sedang khilaf dan diburu nafsu, Mas," ucapku sambil menyentuh dada Mas Roni dan merapikan dasinya."Tetap saja, dia nyaris membahayakan ibu anakku," balasnya mengecup keningku."Terima kasih telah selalu menjagaku," ucapku."Sama sama, Sayang."Aku dan dia meluncur menuju ke kantor polisi menemui petugas dan memberi keterangan yang mereka inginkan."Boleh saya bertemu dengan Pak Arya?" tanyaku pada petugas setelah mengambil keterangan dari kami."Ngapain sih sayang?" "Mau nanya aja," balasku sambil memberinya isyarat agar aku mempercayainya."Untuk apa?""Mungkin dia ingin bertemu Bilal, Mas," ucapku lirih.
"Lepaskan aku, lepaskan!" teriakku berusaha melepaskan diri."Aku tak tahu caranya lagi agar kau bisa tetap bersamaku," ujarnya mencoba mengangkat diri ini dan membawaku pergi."Hentikan, atau aku akan berteriak, dan membuat semua orang terbangun," ucapku di pagi yang masih gelap, kondisi villa yang besar, kamar tidur kami yang berada di lantai dua, agak jauh dari depan sini membuat teriakanku sulit di dengar Mas Roni."Biarkan mereka bangun," ujar Mas Arya sambil menarik tubuhku dengan keras ke arah danau."Kamu mau membawaku ke mana?""Ke mana saja, bila perlu kita akan mati berdua," ucapnya sambil mengikat kaki dan tanganku dengan tali rafia yang dia bawah."Apa yang akan kau lakukan ...?" tanyaku dengan suara gemetar."Lihat saja," jawabnya sambil melilit tali tersebut pada kedua tangan dan tubuh lalu menguncinya ke belakang punggungku, kakiku juga begitu. Kuperhatikan tatapan mata liar dan gerakan tangan gemetarnya yang dilapisi sarung tangan. Dia terlihat akan membunuhku tap
"Lepaskan aku, lepaskan!" teriakku berusaha melepaskan diri."Aku tak tahu caranya lagi agar kau bisa tetap bersamaku," ujarnya mencoba mengangkat diri ini dan membawaku pergi."Hentikan, atau aku akan berteriak, dan membuat semua orang terbangun," ucapku di pagi yang masih gelap, kondisi villa yang besar, kamar tidur kami yang berada di lantai dua, agak jauh dari depan sini membuat teriakanku sulit di dengar Mas Roni."Biarkan mereka bangun," ujar Mas Arya sambil menarik tubuhku dengan keras ke arah danau."Kamu mau membawaku ke mana?""Ke mana saja, bila perlu kita akan mati berdua," ucapnya sambil mengikat kaki dan tanganku dengan tali rafia yang dia bawah."Apa yang akan kau lakukan ...?" tanyaku dengan suara gemetar."Lihat saja," jawabnya sambil melilit tali tersebut pada kedua tangan dan tubuh lalu menguncinya ke belakang punggungku, kakiku juga begitu. Kuperhatikan tatapan mata liar dan gerakan tangan gemetarnya yang dilapisi sarung tangan. Dia terlihat akan membunuhku tap
"Lepaskan aku, lepaskan!" teriakku berusaha melepaskan diri."Aku tak tahu caranya lagi agar kau bisa tetap bersamaku," ujarnya mencoba mengangkat diri ini dan membawaku pergi."Hentikan, atau aku akan berteriak, dan membuat semua orang terbangun," ucapku di pagi yang masih gelap, kondisi villa yang besar, kamar tidur kami yang berada di lantai dua, agak jauh dari depan sini membuat teriakanku sulit di dengar Mas Roni."Biarkan mereka bangun," ujar Mas Arya sambil menarik tubuhku dengan keras ke arah danau."Kamu mau membawaku ke mana?""Ke mana saja, bila perlu kita akan mati berdua," ucapnya sambil mengikat kaki dan tanganku dengan tali rafia yang dia bawah."Apa yang akan kau lakukan ...?" tanyaku dengan suara gemetar."Lihat saja," jawabnya sambil melilit tali tersebut pada kedua tangan dan tubuh lalu menguncinya ke belakang punggungku, kakiku juga begitu. Kuperhatikan tatapan mata liar dan gerakan tangan gemetarnya yang dilapisi sarung tangan. Dia terlihat akan membunuhku tap
Pria itu memang terlihat mencari sesuatu, mondar-mandir di depan gerbang dengan aksen yang begitu gelisah kadang dia mendongak kearah pintu dan kadang juga menatap ke arah CCTV. Aku tidak bisa memastikan bahwa itu mas Arya meski cara jalan dan tinggi badan yang sama.Jujur aku menjadi tidak tenang saja jadinya, karena tahu persis orang yang akan mencariku hanya Mas Arya."Tuan, apa Tuan Roni mau melihatnya?""Iya saya ingin memeriksa CCTV dan sekali lagi jika pria itu terlihat datang silakan buka pintu gerbang dan tanyakan apa keinginannya, jawabnya pada si pelayan "Jangan terburu-buru Mas, bagaimana kalau itu adalah psikopat jahat yang berniat membantai kita semua? bukankah buka pintu adalah hal konyol, kenapa tidak lapor polisi saja?""Polisi tidak akan memeriksa kalau kita tidak punya bukti, minimal kita harus tahu siapa pelakunya dan mengenal wajahnya. Aku berniat untuk menemui pria itu," gumam suamiku sambil berlalu dari depanku."Mas ...."Ah, rasanya mencegahnya sudah tidak be
Mungkin sebelum ini aku belum pernah datang ke vila yang begitu megah dan indah, rumah mewah berlantai dua yang terletak di bagian paling atas bukit dengan pemandangan hamparan rumput dan bunga warna warni, hijau kebun teh dan sebuah danau di bagian belakangnya, membuat tempat ini seperti destinasi liburan impian.Mas Roni menghentikan mobilnya tepat di pintu utama membunyikan klakson lalu dua orang penjaga kebun dan vila menyambut kedatangan kami. Seorang pria kurus dengan tinggi sedang yang kutaksir berumur 50 tahun dan seorang wanita yang kutebak adalah istrinya. Mereka terlihat menyambut ramah."Oh, tuan sudah sampai?" mereka menyongsong kami ke depan pintu mobil dengan senyum bahagia "Iya, kami baru saja sampai," jawab Mas Roni sambil membuka pintu mobil dan menyalami pekerjanya."Bagaimana perjalanannya, Tuan?" tanya wanita yang sebagian rambut kepalanya sudah memutih."Nyaman dan menyenangkan, bagaimana menurutmu, Sayang?" tanyanya padaku."Iya, Mas, Alhamdulillah, aku cuku