Mereka langsung terkejut dan salah tingkah, di wanita mundur sambil mengusap bibirnya sementara Mas Arya langsung mendekat.
"Ariska, ngapain kamu di sini?" tanya Mas Arya yang masih tak sanggup menyembunyikan keterkejutan. "Ngeliat kamu yang lagi pacaran dengan sahabatku," jawabku dingin. Aku maju dan mendekat dengan tatapan tajam pada mereka berdua "Kita gak pacaran? Ini hanya...." Mas Arya berusaha melindungi Bella di belakang punggungnya. "Perselingkuhan kan ya?" tanyaku sinis dengan suara lantang. "Bukan ... Ini bisa dijelaskan," ujar Mas Arya sambil menarik lenganku. "Jangan mendekat kamu, Mas!" Aku berusaha menjauh darinya. "... kamu juga Bella, aku gak nyangka ya, kamu setega ini dengan sahabat sendiri?!" Wanita itu bersembunyi sambil memeluk pinggang Mas Arya, melihat kemesraan mereka hatiku makin panas rasanya, terlebih ketika Mas Arya juga membalas sentuhan wanita itu dengan genggaman pasti. Apa yang harus aku ucapkan untuk menggambarkan bagaimana sakitnya perasaanku saat ini, rasa-rasanya kalimat umpatan dan cacian paling buruk di dunia tidak akan cocok untuk mereka. "Kami nggak melakukan apa-apa kok," sanggah Bella pelan. "Jelas-jelas aku melihat kalian berciuman? Apa kalian ingin mengelak, apa aku terlihat buta?" teriakku mengambil sebuah gelas dan melemparnya ke lantai sehingga pecah berkeping-keping. Wanita itu terkejut, wanita yang sudah kuanggap saudara dalam hidupku. "Astaga ... ayo kita pulang," ajak Mas Arya sambil menarik lenganku, sikapnya seolah-olah akulah yang bersalah. "Lepaskan aku! Kenapa aku harus pulang, kau suruh pulang dengan cara diseret, kau pikir aku hewan Mas?" elakku melepaskan cekakan tangannya "Ariska aku harus bagaimana menjelaskan ini padamu?" tanyanya sambil mengacak rambut. Dia terlihat gusar "Inikah yang katamu akan menemui klien dan membahas bisnis? Apa Bella adalah klienmu? Apa bisnis kalian adalah membohongiku dari belakang?!" Air mataku meluncur begitu saja, tak tertahan dan tak bisa kutepis pilu menyakitkan ini. "Aku hanya sedang menghiburnya, ini salah paham Ariska," bujuk Mas Arya mendekat. "Cukup tutup mulutmu Mas," tolakku menampik tangannya ke udara. "Baik, aku akan mengaku, aku sudah lelah," jerit Bella. Kali ini suaranya melengking melebih intonasi suaraku yang seharusnya lebih murka dari mereka. "Bella, diam dulu, aku ingin bicara, dengan Ariska," ujar Mas Arya yang terlihat kini panik menghadapi dua wanita yang sedang marah. "Aku memang pacarnya, aku ingin dinikahi Mas Arya, aku sudah menuntut lama untuk hal ini, memangnya kenapa? kau mau apa?!" tanya Bella sambil berkacak pinggang. "Kurang ajar kamu ya," desisku yang mendekat dan hendak menamparnya namun suamiku mencegah dan menyeretku keluar dari kamar hotel itu. "Ayo pergi Ariska," ajaknya kasar. Plak! Kutampar wajahnya hingga kacamata yang dia kenakan hampir terlepas "Kamu gak berhak seret aku seperti ini, Mas, aku butuh penjelasan terhadap apa yang terjadi, kenapa sahabatku ingin menikahi kamu, sejak kapan ini?" "Sahabat? Hah, siapa yang menganggap kamu sahabat, aku benci banget sama kamu karena kamu menghalangi semua langkahku," teriak Bella melempar botol air mineral ke kaca jendela. Tak kusangka dia menganggapku seperti itu, dibalik semua kalimat manis dan sikap perhatiannya sebagai teman. Wanita itu terlihat menangis dan meremas rambutnya lantas menjatuhkan dirinya di kursi. "Aku sudah lama menjalin hubungan sama Mas Arya, kami sering menghabiskan malam bersama, aku butuh kepastian juga. Aku bosan disebut hanya teman, aku butuh status!" ujarnya sambil mengusap air matanya. "Jadi, itu yang terjadi di antara kalian?" tanyaku bergetar. "Kami sudah seperti suami istri, dia jarang makan siang di rumahmu karena dia pulang ke rumahku. Kau pasti sering bertanya kenapa dia selalu sibuk di hari libur? Itu karena dia bersamaku, menghabiskan waktu denganku, berbagi hidup dan asmara, kau puas!" Dia mengatakan semua itu dengan lantang. "Diamlah Bella, kau menghancurkan semuanya!" Mas Arya memarahi simpanannya itu "Aku bosan menjadi wanita cadangan, seolah aku hanya mainan, aku lelah disembunyikan, aku ingin diakui dan dibanggakan seperti dia yang kau gandeng ke mana-mana, aku muak dengan kepalsuan ini!" "Tetap saja kau salah, karena Mas Arya suamiku, kalian berdua memang menjijikkan," bentakku. "Kau hanya menang status saja, kau hanya pajangan yang tak berguna. Coba, aku ingin tahu kapan terakhir kau dia membicarakan program punya bayi lagi? Tidak pernah lagi kan? Itu karena dia merencanakan itu denganku. Aku tahu kau istrinya, namun aku juga manusia, aku lelah hanya diberi janji, aku butuh bukti." "Cukup Bella!" Bentak Mas Arya yang berusaha mendekat dan memelukku. Apa lagi yang lebih memedihkan hati daripada mendengar pengakuan Bella, rasanya hati ini ditusuk-tusuk lalu dibakar dengan begitu kejamnya. Bagaimana tidak, sahabatku, suamiku, mereka sudah lama menjalin hubungan rahasia dan parahnya, aku tak menyadarinya. Astaghfirullah. Aku hanya bisa mengurut dada. "Selesaikan ini Mas!" ujarku sambil mundur menjauh. "Tunggu Ariska!" "Aku tidak ada kata kata lagi," ujarku. Aku melangkah pergi sementara obat dan makanan yang kubeli untuk Bella ternyata masih di tangan dan aku tak menyadarinya. Kulempar benda itu dan mereka tumpah ke lantai, ke dekat kaki Bella. Isinya obat maag dan asam lambung, suplemen makanan dan vitamin c, juga digestive biskuit. "Aku kecewa berharap dan memberikan kasih sayang pada orang yang kusebut sahabat. Kau tak lebih dari benalu!" "Maaf Ariska ...." Mas Arya kini tak mampu menatap mataku, ia hanya menunduk. "Maaf ...?" Rasanya sia sia sudah Mataku memanas, pandanganku kabur oleh lelehan air mata, kutinggalkan kamar itu dengan hati berdarah, penuh luka.Sebenarnya aku ingin sekali menghajar Bella namun karena Mas Arya melindunginya, aku tak bisa berbuat banyak. Kuseret langkah meninggalkan lorong apartemen itu sambil mengusap air mata. Lututku lunglai dan tak bisa kubayangkan lagi betapa sudah berkeping kepingnya perasaan ini.Aku tidak menyangka dan kejutan yang ada di depan mata membuatku amat merasa, uka yang begitu buruknya.Kukendarai motor kembali ke rumah dengan hati remuk redam, jiwaku teriris dan luka di dalamnya berdarah tak karuan bentuknya. Aku sampai menghentikan motor dan turun untuk menangis di pinggir jalan. Sengaja kupilih tempat yang cukup gelap dan sepi agar bisa meluahkan sakit hati. Aku menangis meraung sejadi-jadinya, dan membungkuk dindekat drainase.Selagi tenggelam dalam kesedihan itu, seorang pria mendekat, pria yang memakai baju olah raga dan helm sepeda. Ia parkirkan sepeda di atas trotoar lalu mendekat padaku."Ada apa menangis Mbak? Tempat gelap seperti ini tidak aman untuk menangis sendiri," ujarnya sa
"Izinkan aku nikah sama Mas Arya," ucapnya meluncur begitu saja.Mendengar itu rasa-rasanya cangkir kopi yang kugenggam akan pecah karena kerasnya tekanan tangan menahan emosi. Ya Allah, ya Rabbi bisa-bisanya wanita yang kemarin bertengkar denganku datang ke rumah, duduk di kursi taman belakang dan meminta suamiku."Apa?" tanyaku pelan, setengah tak percaya."Aku sudah bicarakan ini dengan Ibu mertuamu, dan dia bersedia mengizinkan Mas Arya poligami," jawabnya. " ... tinggal keputusan dari kamu aja.""Aku gak percaya Ibu mertua melakukan itu," jawabku tertawa getir."Aku berani mengajakmu untuk membuktikan kata calon mertuaku, kau yang akan malu mendengar ungkapan setujunya nanti. Ayo pergi jika kau ingin menambah luka hati," jawabnya pelan namun menusuk jantung."Haruskah kamu menambah garam di atas luka yang ada?" Sisi lemahku muncul begitu saja."Kenyataan harus kau hadapi, sedang aku juga tak mau rugi. Mas Arya sudah menganggapku sebagai istri dan ibunya setuju aku jadi pendampin
Aku sudah sangat lelah menangis hingga jatuh tak sadarkan diri di pelukan suami. Keesokan hari kubuka mata dengan lemah, berharap bahwa kejadian kemarin hanya mimpi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Membayangkan aku akan membagi suami dengan Bella membuatku ingin menghentikan waktu sampai di sini saja, aku ingin diam di titik ini dan tidak ingin melangkahkan kaki maju ke depan dan tersakiti.“Kamu udah bangun , Sayang?” Tanya Mas Arya yang datang dan berlutut di depanku, menatap matanya yang selalu mengisyaratkan cinta dan melelehkan hati, air mata ini kembali tumpah begitu saja.“Aku berharap tidak akan pernah bangun lagi dari tempat ini, Mas, aku terlalu pengecut untuk menerima kenyataan pahit.”“Aku tahu, ini kesalahan terbesarku yang terlalu terjebak hawa napsu, aku lupa mencemaskan perasaanmu, hingga aku terseret jauh.” Ia mendesah sambil mengusap wajahnya, lantas menggenggam tanganku dengan penuh cinta.“Semalam Bella menginap di sini untuk merawatmu, ia baru pulang pagi
"Astaga apa yang kamu lakukan pada Bella?" tuding ibu mertua yang langsung menunjuk wajahku dengan telunjuknya. Aku tersinggung, dan harga diriku tertampar oleh sikapnya."Ibu ... kenapa ibu mengkhawatirkan dia? Padahal dia yang salah?" tanyaku dengan suara parau, menahan sesak di dada."Ya Tuhan ... kamu ini Ariska! Kejam sekali kamu, saking benci dan cemburunya hingga tega melakukan ini, ya ampun ... Aku baru tahu jahatnya kamu!" jerit ibu mertua. Sementara wanita yang pura pura-pura pingsan itu mengedipkan mata padaku tanpa sepengetahuan ibu mertua, ia mengejek dan melecehkanku.Apa yang lebih menyakitkan dari ini ketika sikap ibu mertua begitu arogan, seolah buta akan kenyataan sebenarnya."Astaga apa yang harus kulakukan?" Ibu panik dan memanggil supirnya Pak Ridwan untuk menggendong wanita itu."Dia tidak pingsan, tapi hanya berpura-pura," ucapku."Diam kamu! kalo sampai Bella benaran hamil dan terjadi sesuatu pada calon cucuku, aku akan memberimu pelajaran," jawabnya berteri
Setelah beberapa jam duduk sendiri sambil menguras air mata, aku bangkit dan menurunkan koper yang ada di atas lemari, membuka resleting dan sekali lagi menghela napas panjang lalu memilih pakaian yang akan kubawa dari dalam lemari.Leih baik aku pergi daripada aku terhina di dalam rumah sendiri. Diabaikan dan diperlakukan seperti manusia yang tidak layak dihargai.Meski aku tahu, aku tidak punya tujuan dan uang, tidak tahu harus melangkah dan pergi ke mana, tapi aku harus menguatkan hati, toh, bertahan di sini sama dengan membunuh diri.Memangnya siapa yang bisa tahan, suaminya direbut dan bermesraan di depan mata, sementara mertua yang harusnya bersikap netral atau mengingatkan anaknya malah menyudutkan posisiku sebagai wanita dan menantu?"Ah, ya Allah, mengapa begini sekali takdirku?"Entah akan bagaimana masa depan rumah tangga kami, tadinya aku masih bisa berharap untuk membuka hati dan kesadaran Mas Arya, tapi, apa daya. Ibu mertua lebih berkuasa dan mendominasi anaknya. Lagip
Lama menghabiskan waktu untuk menangis memeluk diri di balik pintu kamar sementara suamiku hanya terdiam di dalamnya. Dia tidak berinisiatif sama sekali untuk keluar dan menahan kepergianku.Bisa kutebak, bahwa Ibunya sudah mengambil keputusan untuk menyuruhnya memilih antara aku atau calon wanita yang akan dinikahi.Ah, aku tahu, aku berat melakukan semua yang tapi tidak ada pilihan lain selain pergi.Sungguh malu untuk pulang ke rumah orang tua ketika aku sudah menjanjikan mereka bahwa kehidupanku akan langgeng dan tidak akan membebani mereka dengan berbagai masalah pribadiku.Lagi pula, jarak rumah orangtua dan tempat ini sangat jauh, berbeda pulau aku terdampar dan bingung harus bagaimana.Kubuka pintu gerbang, flat besi itu bergeser dan menimbulkan suara. Kubalikkan badan untuk sekali lagi melihat tempat yang dulu kusebut istana dan surga.Rasa sayangku pada bangunan itu sama dengan cintaku pada suami, tapi, aku tak bertakdir untuk tetap bersama mereka.Ketika kulangkahkan kak
Sudah kutebak kira kira kehebohan apa yang akan terjadi karena perbuatanku semalam, minimal aku akan dicari Mas Arya lalu dipukuli atau paling parah ditangkap polisi. Tap apa, setidaknya aku sudah melampiaskan sakit hati padanya.Tentang Irene yang juga kupikirkan, ia pasti syok jika tiba tiba di rumah tetangganya terjadi keramaian. Dia pasti curiga padaku, namun aku yakin ia tak akan membuka mulut sudah membawaku ke apartemennya karena itu sama saja mengundang kecurigaan polisi jika kami ternyata bersekongkol untuk menyakiti Bella.Kuganti baju dan mengubah potongan rambut ke sebuah salon, membeli kaca mata dannsetelah mewah khas istri orang kaya lalu memanggang dengan santainya. Pergi ke barat kota untuk mencari unit yang bisa disewa murah lalu melanjutkan hidup dengan menjadi guru les privat atau apa saja. Bisa juga jadi sales kosmetik atau bandar arisan Abal Abal. Aku tak takut dan entah mengapa rasa sakit memberiku energi lebih untuk berani dan melawan. Akan kutuntut dendamku
Mungkin langkah ini berat, karena masih berstatus suami orang. Aku ingin mengakhiri tapi terlalu jengah diri ini untuk menghubungi Mas Arya dan mengatakan keinginanku untuk bercerai darinya. Aku muak mendengar suaranya, aku benci, aku rasanya ingin menghajar wajahmya yang selalu nampak tak berdosa.Dengan bermodal baju mahal, dan perhiasan KW, hari ini adalah hari pertama aku bergaul dengan klub sosialita elit yang suka membeli tas branded dan mengadakan arisan berlian, aku berencana akan membaur dan mungkin akan memanfaatkan kesempatan mengeruk uang dengan menjadi bandar, mereka akan terpengaruh dan percaya denganku yang bersikap sok kaya, pintar, dan profesional. Dngan begitu, Mas Arya akan kaget melihatku yang begitu cepat kaya dan sukses tanpa dirinya.Di momen dia terpana melihat perubahanku, maka di situlah aku akan menghujam harga dirinya ke dalam lumpur nista.Sudah seminggu, ya, seminggu yang menyakitkan dalam hidupku berjauhan dengan suami yang terpaksa akan kulupakan da
Mengetahui kenyataan bahwa pria ini adalah sosok yang penting, aku merasa takut untuk dekat dengannya, khawatir pada sikap lembut yang akan membuatku terbawa perasaan hingga merasa nyaman, lalu pada akhirnya perasanku dikecewakan, ya, aku merasa harus menjaga jarak saat ini juga."Maaf, aku tak bisa lama-lama, aku harus pulang," ucapku menjauh dari ruangan itu."Lho bukannya kita baru sampai?""Maaf, aku tak bisa lama di sini, aku merasa tidak sehat," jawabku membuka pintu, namun gerakan pemuda itu juga tak kalah sigapnya.Dia menahan tanganku yang memegang lengan pintu lalu menatapkpu dengan tatapan lembut, lalu mengarahkan punggung tangannya di keningku untuk memeriksa bahwa aku sakit atau tidak."Tapi, suhu tubuhmu normal, kau kenapa?""Aku hanya merasa tidak nyaman, aku pulang ya," ucapku menjauh dengan langkah cepat.Roni mengejarku sampai ke pintu lift, namun segera kupencet tombol ketika aku telah berhasil masuk ke dalamnya, sehingga ia tak bisa menyusul masuk ke dalam lift.Ke
Pemuda itu pergi, meninggalkan aku dan Irene dengan sejuta kegamangan yang sulit kami pahami. Entah kenapa meski kusebut ia malaikat penyelamat, tapi aku juga penasaran, tertarik kepada latar belakang dan alasan kenapa dia mau melakukan ini untukku."Masak, baru kenal mau nikahin Mbak, kan aneh?""Mungkin itu hanya cara dia untuk menenangkan kita, tidak mungkin juga ada orang yang ujug-ujug datang lalu menikahi tanpa mengenal atau menjajaki.""Tapi bisa saja dia sudah lama melihat Mbak dan menaksir, dan di saat dia sudah mendapatkan kesempatan, dia lalu menunjukkan dirinya.""Ah, analisamu terlalu jauh, dia hanya kebetulan bertemu dengan kedua kali dan mungkin merasa kasihan."Airin yang daritadi berguling di tempat tidur langsung bangkit dan mendekat padaku lalu menyentuh bahuku."Bagaimana kalau ungkapan dia tentang rencana ingin menikahi Mbak, ternyata sungguh dilakukannya?""Yah, aku bukan anak kecil yang mau saja diarahkan ke mana kehendak orang lain. Aku juga berpikir Irene,"
Dia memelukku, berkali kali mencium bahuku mengatakan kalimat 'maaf. Berulang ulang tanpa henti."Apakah sungguh hamil, sungguh kau hamil?" Pria itu terlihat menangis namun juga dia tersenyum bahagia. Aku berusaha melepas pelukannya dan menepisnya mundur dariku."Siapa yang mengatakan itu, itu tidak benar, aku tidak hamil, aku mandul," jawabku dengan tatapan nanar."Jangan berbohong," ujarnya meraih jemariku."Ini kenyataan, aku tidak mengandung!" jelasku tegas."Teman kamu sudah memberi tahuku," ungkap Mas Arya berusaha memeluk lagi.Tiba-tiba dari balik pintu, Irene muncul dan menatapku dengan Iba sekaligus memberi isyarat minta maaf."Irene apa maksudmu?""Mbak, katakan aja yang sebenarnya, mbakngak bisa begini, tersiksa sendiri," ujar Irene pelan."Ya, ampun, aku baik baik aja, aku gak hamil! Jangan beritahu apa apa lagi, dia bukan suamiku lagi, aku tidak punya hubungan apa apa dengannya," jawabku."Mas Arya .. Mbak Bella dan ibunya Mas datang kemari dan mengintimidasi Mbak Risk
"Sungguhkah kau pernah melihat saya?" Pertanyaan itu hanya pertanyaan pura-pura saja, karena aku tidak tahu harus menjawab apa. "Iya, Mbaknya lupa, kenalkan saya Bima, Mbaknya namanya, siapa?" "Saya Ariska." "Kalau mau, saya berniat mengantarkan Mbak Ariska pulang, karena hari mulai mendung dan khawatir jam operasional bis kota sudah berakhir," ucapnya. Kupikir benar saja omongannya, waktu memang sudah menunjukkan pukul 5 sore dan itu artinya aku tidak perlu mengharapkan bis lagi. "Saya akan menumpang taksi online saja," ucapku pelan. "Hmm, kenapa harus membayar kalo ada yang gratis, saya bukan orang jahat kok, kalo misalnya Mbak Ariska ragu, mbak bisa duduk di belakang," jawabnya. Aku sesaat ragu, namun kembali pria itu meyakinkanku. "Ayo, hari sudah mulai hujan," ajaknya sembari menunjuk rintik-rintik hujan yang mulai berjatuhan. "Baiklah jika kau memaksa, tapi izinkan saya membayarnya," jawabku pelan. "Ya, terserah Mbak saja," jawab Pria itu yang kemudian mmbangkit, menyer
Setelah jam kerja berakhir, aku menaiki taksi menuju komplek rumah Mas Arya yang merupakan rumahku dulu.Kuhentukan taksi dan menyuruhnya menunggu, lalu menelpon Mas Arya dan memintanya menurunkan perhiasanku."Kamu ambil sendiri aja, aku lagi sakit, pusing," ucapnya."Aku udah bilang, aku enggan ketemu Bella," jawabku."Bella gak ada, aku sendirian di rumah.""Apa mungkin setelah pernikahan kalian wanita itu tidak tinggal di rumah?""Dia memang tinggal di rumah dan sedang keluar bersama Mama," jawab Mas Arya dengan datar."Oh ya ...." Nada bicaraku tercekat karena tadinya ingin menanyakan dimana wanita itu tidur, apakah dia tidur juga di ranjang yang sama dengan panjang yang pernah kami pakai atau di tempat lain? Tapi, satu saja aku sudah tahu jawabannya."Aku akan masuk ke dalam dan segera pergi," jawabku, mematikan ponsel lalu masuk ke dalam.Ketika pintu terbuka Mas Arya yang baru turun dari lantai 2 langsung berpapasan denganku. Tatapan mata kami beradu dan aku langsung membuang
Mobil ambulans mendengungkan sirine yang tak kalah kalapnya dengan perasaanku sekarang, sakit diperut, luka di hati, tubuh yang lemah, semua adalah paduan sempurna yang akan membunuhku, lalu aku sadar bahwa semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki. Akhirnya diri ini jatuh dalam kesendirian, dan habis sudah.Kubuka mata perlahan, mencoba memindai dan menyesuaikan pandangan mata terhadap cahaya ruang rawat yang terang.Pakaianku susah diganti dengan baju rumah sakit, di tangan tertancap selang infus. Aku berusaha ingin bangkit namun kepalaku pusing, mendadak berputar dan tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah diranjang.*Matahari beranjak naik, meninggi menimbulkan kesilauan yang memantul dari balik jendela kaca, aku terbangun.Ketika kubuka mata, seorang perawat sedang memeriksa selang infus dan menggantinya dengan botol baru."Suster apa saya boleh pulang hari ini?""Oh, maaf Bu, belum boleh karena kondisi ibu dan calon bayi Ibu sedang lemah.""Apa yang terjadi pada saya?""Ane
Setelah seminggu berlalu Aku sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi kepada Bella dan kandungannya, tidak ada kabar saama sekali, hanya Irene yang sesekali menelpon dan memberi tahu bahwa akhir akhir ini tugas kantornya sangat menumpuk dan cukup menyita waktu, aku bisa maklum, sehingga kukatakan padanya agar dia tak perlu terlalu mengkhawatirkanku.Ketukan di pintu ketika aku hendak berangkat kerja, mengangetkan sekali. Perlahan kubuka dan ibu mertua berdiri di sana.Aku enggan pengen sekali untuk berurusan dengan wanita ini karena dia pasti akan selalu menyudutkanku, namun tak sopan rasanya jika aku harus mengusirnya."Tidak perlu khawatir, aku datang untuk terakhir kalinya menjumpaimu," desisnya dengan tatapan mata kejam."A-ada apa, Bu?" Aku takut dan galau khawatir dia telah mengetahui kehamilanku dan berencana untuk merebut bayiku."Ini ambillah," ungkapnya sambil melempar kertas ke wajahku.Kupungut kertas-kertas yang jatuh dan entah kenapa dadaku semakin bergemuruh karen
"Tunggu, Ariska, Maaf, tadi aku hanya bertanya," ungkapnya menahan lenganku."Menuduh dalam pertanyaan, kan, Mas?""Mungkin pemilihan kata yang salah," ujarnya pelan."Mungkin iya, dan maaf aku terlanjur tersinggung, lepaskan lenganku," jawabku sembari menyapu air mata untuk terakhir kalinya.Aku naik ke lantai tiga, menutup pintu dan sekali lagi mengemas tangis yang masih tersisa. Irene yang melihatku datang dengan air mata, hanya menatap miris dan mendekat."Aku udah cegah, makanya mbak gak usah turun," ujarnya datang dan menepuk bahuku pelan."Aku hanya ...." Aku mendongak padanya dengan deraian air mata."Ya, aku paham, masih ada nilai kasih sayang yang tertinggal dalam hati Mbak terhadap Mbak Bella, tapi, kini semuanya udah beda," jawabnya lirih.Kutatap wajah Irene yang iba, uang yang sudah dipungut dan diletakkan di atas meja, juga sisa baju yang masih berserakan, hatiku makin tak karuan rasanya."Aku saat ini sungguh hancur, Rin, aku sedih, hanya butuh didengarkan dan dirangk
Seolah flashback pada kisah sinetron Rahasia Ilahi yang kerap kusaksikan di masa kecil, akhirnya manusia durhaka itu mendapatkan musibah setelah baru saja menyakiti perasaanku.Sekali lagi aku ingin mengkonfirmasi yang terjadi kepada pria itu dan bertanya padanya,"Hmm, apa Bapak yakin bahwa wanita berbaju merah yang baru turun dari flat saya adalah orangnya?""Iya, Bu. Wanita itu baru saja bertengkar dengan petugas keamanan lain karena ditegur sudah membuat keributan, dia berteriak dan langsung oleng terjatuh ke dalam selokan besar."Mendengar jawaban petugas keamanan itu, Irene langsung tertawa terbahak-bahak, dia terlihat buah sampai-sampai tidak mampu mengendalikan suara tawanya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" "Pingsan di dalam kubangan comberan," jawabnya.Siapa yang tidak geli sekaligus miris mendengarnya, wanita yang baru saja angkuh dan mengacak-ngacak barang dagangan kami, tiba-tiba sudah dihinakan Allah dengan menjatuhkan dia dan menjadikan dia bahan tertawaan oran