“Bos yakin?” tanya Regan dari jok depan di samping sopir. Kepalanya memutar ke belakang ke arah Pram berada.“Ya,” Pram menjawab singkat tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke jalanan di depan mereka. “Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Dan rumah orang tuaku pasti menyimpan banyak rahasia.”Regan mengangguk mengerti sebelum meminta Pak Min memutar arah menuju rumah orang tua Pram.Pram sendiri sudah bertekad mulai saat ini tidak akan kalah oleh mereka. Apa pun yang mereka lakukan atau katakan, tidak akan menghancurkannya. Karena ia tahu tujuan mereka memang menghancurkannya. Dan semakin ia hancur, semakin mereka tertawa senang.Fokus pada tujuan, itu yang harus dilakukannya saat ini. Olokan dari mereka tak akan membuatnya jatuh. Dan ia terlalu bodoh jika membiarkan mereka menang setelah apa yang mereka lakukan pada keluarganya. Pram tidak rela Arya menikmati harta ibunya setelah pengkhianatan menyakitkan itu. Terlebih wanita itu ikut juga menikmati.Mobil berbelok menuju
Puspita menggeleng. Hatinya sakit mendengar pertanyaan Pram. Benar, suaminya sangat rapuh. Tapi ia tidak akan membiarkan itu. Ia juga sama sekali tidak berniat memandang rendah.Puspita semakin merapatkan diri, lalu melingkarkan tangan di tubuh Pram. Kepalanya direbahkan di punggung sang suami.“Jangan menanyakan hal seperti itu, aku sakit mendengarnya,” ujarnya serak.“Tapi seseorang mengataiku seperti itu. Aku payah, aku menyedihkan, hanya bisa berlindung di bawah ketiak orang tua. Lebih parahnya, ia juga menyebutku kini hanya bisa mengemis belas kasih orang lain. Sayangnya itu memang benar, bukan?”Puspita menggeleng, masih dengan kepala yang rebah di punggung Pram. Ia memeluk suaminya itu dari samping.“Semua itu tidak benar, Mas. Mas Pramudya, suamiku, bukan laki-laki seperti itu.” Suara Puspita tertahan di kerongkongan hingga sangat pelan.“Mas Pram-ku pria hebat. Buktinya, punya perusahaan sendiri di usia yang relatif masih muda. Usia Mas baru menuju tiga puluh lima, tapi sudah
Pramudya melangkah pasti menyusuri setiap lekuk bangunan tinggi menjulang itu. Langkah-langkah tegas dan yakin ia bawa menuju ke lantai atas gedung Adiguna Group, tempat ruang kerja Arya. Bagaimanapun ia harus bicara dengan Arya. Tidak ada pilihan lain selain menghadapi ini semua. Masalah ini tak akan selesai jika dibiarkan menggantung.Bicara berdua dengan Arya, itu yang harus dilakukannya. Karenanya ia memutuskan datang ke sini.Baginya, Arya sudah sangat keterlaluan. Melarangnya masuk rumah dan mengganti semua kunci. Apa tujuannya? Belum lagi urusan Sakti yang seolah lepas tangan. Begitukah sikap seorang ayah?Seorang wanita muda cantik memakai rok sangat pendek langsung berdiri di balik mejanya yang berada tepat di depan ruangan Arya.“Selamat siang, Pak Pramudya,” sapanya ramah dengan senyum menawan. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanyanya lagi. Tentu saja ia tahu jika yang datang itu anak pemilik perusahaan.“Pak Arya ada?” tanya Pram dingin. Matanya menatap pintu ruang kerja Ary
Pram berdiri dari duduknya, kekagetan tak dapat ia sembunyikan. Matanya yang terbuka lebar menatap tak percaya Hartono. Bagaimana bisa sekarang Hartono bicara seperti itu? Bukankah kemarin sangat murka saat ia beri tahu?Pikiran Pram kacau, kemarahannya memuncak, dan dadanya bergemuruh seperti ada badai yang tak kunjung reda. Kenyataannya ini, membuat kepalanya berdenyut nyeri.Bagaimana bisa Hartono, yang seharusnya menjadi figur bijaksana dan yang paling waras di sini, malah menyetujui hubungan terlarang seperti itu?Apa sebenarnya yang terjadi di belakang dirinya? Kenapa semua orang menjadi sangat aneh dan tidak waras?Apa ini mimpi?Pertama, ibunya yang tiba-tiba meninggal, lalu malam kelam Sakti yang membuatnya depresi. Berlanjut dengan ia memergoki hubungan terlarang ayahnya dan Imel. Dan kini, orang yang ia harapkan dapat menengahi masalah ini, malah berdiri di pihak Arya dengan menyatakan merestui hubungan laknat itu.Apa maksudnya semua ini? Rasanya kepala Pram ingin meledak.
Udara dingin malam yang sebenarnya tidak bersahabat menerpa wajah itu. Pram berjalan tanpa tujuan, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ia meminta Pak Min menepikan mobilnya di dekat sebuah jembatan, lalu berjalan menuju tepi pembatasnya.Setiap langkahnya terasa berat. Semua yang terjadi hari ini seperti mimpi buruk yang tak berujung. Ia berdiri menatap ke bawah, di mana hanya kegelapan yang tertangkap indera penglihatannya.Begitu banyak masalah yang membebani pundaknya akhir-akhir ini. Entah ini hanya kebetulan semata atau memang seseorang sudah mengaturnya di saat ini. Sejak ia menikah dengan Puspita, tak henti masalah datang. Sampai ia merasa bersalah karena belum sempat mengajak istrinya untuk berbulan madu, malah sudah harus melibatkannya dalam banyak kesusahan.Seharusnya di saat seperti ini, ketika pernikahannya masih hitungan hari, mereka menikmati manisnya madu pernikahan.Pram menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Berharap dengan begitu, beban di hati
“Apa yang Ibu bicarakan, Pak?” tanya Pram dengan nada tidak sabar.Chandra menatap lurus ke arah Pram untuk beberapa saat, seolah sedang menguji kesabarannya."Bu Hasna telah membuat pengalihan aset. Semua properti dan kekayaan lainnya sekarang tercatat atas nama kamu dan Sakti," jelas Pak Chandra dengan nada tenang namun tegas.Pram tertegun sebelum akhirnya memejamkan mata. Jadi, ibunya sudah se-prepare ini sebelum meninggal? Bukankah ini membuktikan bahwa sang ibu memang mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Imel? Pram menarik kesimpulan bahwa ibunya langsung bertindak cepat karena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."Jadi, semua aset sudah diatur sebelumnya?" tanya Pram dengan tatapan kosong. Ia merasa terharu sekaligus sakit, mengetahui bahwa sang ibu sebenarnya sudah berubah menjelang kepergiannya. Hanya saja Tuhan tidak memberikan waktu lebih untuknya. Di sini, Pram yakin bahwa sang ibu sangat menyayangi dirinya dan Sakti.Ah, andai saja masih ada waktu untuknya dan Sak
“Bos, jangan lupa nanti malam ada undangan pesta di rumah Pak Prabu.” Regan yang baru masuk ke ruangan Pram langsung mengingatkan.Pram, yang sedang menekuri layar komputer di hadapannya, menarik napas panjang. Sebenarnya, ia malas sekali untuk datang ke sana. Hanya saja, Regan selalu mengingatkan bahwa Pram dan Prabu baru saja menjalin kerja sama. Rasanya tidak etis jika Pram absen dari undangan Prabu.“Apa aku tidak boleh punya alasan untuk tidak datang, Re?”“Ingat, Bos. Pak Prabu saat ini pastinya sedang menilaimu dalam segala hal—tidak hanya kinerja, tapi juga kepribadian dan hubungan eosional secara pribadi. Jika undangan istimewa yang ia berikan sebagai rekan kerja baru saja, Bos abaikan, bagaimana hubungan kalian bisa berjalan baik?”Lagi, Pram mengembuskan napas panjang. Ya, ia tahu Prabu bahkan mengundangnya langsung secara pribadi. Prabu terlihat sangat berharap ia datang, walaupun itu acara keluarganya yang sama sekali tidak ada hubungan dengan kerja sama mereka.“Sebenarn
“Selamat malam, Nyonya Pramudya, Anda cantik sekali malam ini,” sapa Prabu dengan ramah, senyum manis menghiasi wajah semringahnya.Puspita melirik Pram sebelum menjawab pelan, “Terima kasih, Pak.”Puspita merasa canggung, sama seperti sebelumnya saat pertemuan pertama. Prabu memang tidak segan untuk menatapnya, apalagi kini sampai melontarkan pujian.“Silakan nikmati pestanya, ya. Jangan sungkan. Kalau butuh bantuan, bisa hubungi panitia yang tersebar di ruangan ini dengan seragam khas mereka,” ujar Prabu lagi, dengan senyum tidak lepas dari wajahnya. Sangat memesona, bahkan di mata Pram.“Terima kasih, Pak Prabu.” Pram menjawab datar sebelum Prabu meninggalkan mereka untuk menyambut tamu lainnya.Prabu yang hanya didampingi asistennya membuat Pram terus bertanya-tanya, di mana istrinya? Apa Prabu belum berkeluarga? Kalau benar, kenapa pria sehebat, setampan, dan semapan Prabu belum menikah? Bukankah hanya dengan menjentikkan jari saja ia bisa mendapatkan wanita seperti apa pun?Rasa
Meeting siang itu akhirnya selesai setelah lebih dari satu jam diskusi yang cukup padat. Para peserta mulai beranjak dari kursi masing-masing—beberapa langsung sibuk dengan ponsel, sementara yang lain merapikan dokumen dan bersiap kembali ke meja kerja. Ruangan mulai lengang, hanya tersisa percakapan kecil dan suara langkah kaki.Pram yang sedari tadi tampak sibuk mencatat selama meeting, akhirnya menoleh ke samping—tempat Prabu duduk sepanjang pertemuan dengan senyum yang tidak biasa.Pram mengernyit pelan. Sebenarnya sejak awal meeting dimulai, ia sudah menyadari ada yang berbeda dari wajah Prabu hari ini. Tidak ada kerutan di dahi, tidak ada gumaman kesal seperti kemarin. Justru sebaliknya—mata Prabu tampak berbinar, dan sesekali ia bahkan terlihat menahan tawa kecil ketika mendengar beberapa presentasi. Pram mengamati, mencoba meraba apakah Prabu sedang menyembunyikan sesuatu.Setelah peserta meeting lain pergi satu per satu, Pram mendekat dan menyenggol lengan Prabu dengan pelan.
Andini terbangun di malam yang sunyi. Hening yang menyelimuti kamar seolah menggema ke dalam dadanya. Lampu tidur berwarna kekuningan menyinari sebagian wajah Prabu yang tertidur pulas di sampingnya. Lelaki itu terlihat tenang, napasnya teratur, dan wajah tampannya … ah, wajah itu, begitu lekat dalam memorinya. Sudah berapa tahun ia bermimpi tentang lelaki ini?Namun, meski wajah itu membuat hatinya hangat, perasaan sesak justru merayap perlahan ke dadanya. Andini tak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Ia menarik napas pelan, lalu memejamkan mata sejenak. Tapi, ketidaknyamanan di tubuhnya membuatnya tak bisa terus diam. Ada nyeri yang menusuk di pangkal pahanya, rasa sakit yang membuktikan bahwa malam itu benar-benar terjadi. Malam ketika ia menyerahkan segalanya.Perlahan, Andini beringsut hendak bangkit dari tempat tidur, berusaha tak membuat suara. Tapi saat ia baru saja mengangkat tubuhnya, suara berat itu terdengar lirih.“Mau ke mana?”Andini terhenti. Ia menoleh pelan. Prabu
Suhu ruangan perlahan memanas seiring serangan Prabu yang tak terbendung lagi. Bukan hanya di bibir Andini, kini ciumannya sudah beralih ke leher dan pundak sang istri yang sengaja ia buka. Logika Prabu tak lagi bekerja. Yang ia tahu, ia ingin memiliki Andini seutuhnya saat ini juga.Tubuh Andini menggelinjang. Tak tahan dengan semua sentuhan Prabu yang menciptakan sensasi asing di tubuhnya. Sensasi yang untuk pertama kalinya ia rasakan. Ternyata… indah dan memabukkan.Namun berbeda dengan Prabu yang logikanya sudah tak berfungsi, Andini masih berusaha untuk sadar dan tak larut terlalu jauh. Di antara serangan panas Prabu, ia berusaha menghentikannya. Kedua tangannya menahan dada Prabu, berusaha mendorongnya.“Mas... hentikan, tolong...” ucapnya lirih di antara napasnya yang tersengal. Entah berapa lama Prabu merampas hak bernapasnya.Namun Prabu tak menghentikan cumbuan itu. Ciumannya berpindah dari leher Andini ke pundak, lalu kembali ke bibir wanita yang telah sah menjadi istrinya,
“Andini, minggirlah,” ujar Prabu dengan suara berat.Andini tetap berdiri tegak di depan nakas, menutupi laci yang tadi nyaris terbuka. Napasnya masih memburu, keringat di pelipis belum juga mengering. Ia menggigit bibirnya, seolah berusaha menahan ketakutan yang mulai menguasai hatinya.“Mas, tolong… jangan buka laci ini,” ucap Andini pelan.“Mengapa?” Prabu melangkah satu langkah lebih dekat. “Apa yang kamu sembunyikan? Ponselmu, ‘kan?”Andini tak menjawab. Sorot matanya cemas, tubuhnya terlihat kaku. Prabu makin mencurigai sesuatu yang besar tengah ia tutupi.“Apa kamu … punya hubungan dengan seseorang? Sampai ponselmu begitu kamu lindungi seperti ini?” tuduh Prabu, nada suaranya menajam.Andini menegang. Matanya membulat. “Apa maksudmu, Mas?”Prabu memicingkan mata. “Jangan pura-pura tak paham. Kamu bersikap seolah ada rahasia besar di ponsel itu.”“Mas, jangan mengada-ada,” ujar Andini cepat.“Kalau begitu, tunjukkan saja. Biar aku lihat sendiri isinya. Selesai.” Kedua tangan Pra
“Siapa yang ngirim pesan barusan?”Andini terperanjat. Ia berbalik cepat. Tangannya menyelipkan ponsel ke bawah bantal. Entah sejak kapan Prabu ikut terbangun dan kini menatapnya penuh selidik.“Tidak ada,” jawab Andini setelah bisa menguasai dirinya. Ia menganggap pesan yang masuk barusan tidak penting untuk diketahui Prabu. Buat apa? Ia sendiri tidak tahu siapa pengirim pesan itu.“Aku… cuma matikan alarm, Mas,” lanjutnya datar.“Jam berapa sekarang? Alarm buat apa?” Prabu tidak puas begitu saja.Andini terdiam sejenak, lalu perlahan menaruh ponsel ke laci nakas di samping tempat tidur.“Dulu aku sering mengetel alarm dini hari waktu kerja di lepas pantai. Lupa kalau belum aku setting ulang.” Dengan santainya Andini menjawab lagi. “Udah, kan? Sekarang tidur lagi.”Tanpa memberi kesempatan Prabu bertanya lagi, Andini kembali merebahkan diri. Punggungnya sengaja menghadap ke Prabu. Ia memejamkan mata.Prabu memandangi punggung Andini lama. Ada yang tak biasa. Cara Andini menjawab. Car
Malam ini, Prabu menatap langit-langit kamar. Lampu temaram membuat garis wajahnya tampak lebih dalam, tajam, dan penuh pikir. Andini baru saja naik ke ranjang setelah merapikan sesuatu di kamar mandi. Sepertinya setelah menginap di kediaman keluarga Bimantara semalam, pria itu tidak ragu lagi untuk tidur satu ranjang bersamanya. Padahal biasanya Prabu memilih tidur di sofa atau karpet demi kenyamanan Andini. Kecuali jika ia benar-benar lelah hingga tak sadar tertidur di ranjang. Atau yang paling masuk akal, ia sudah terlelap duluan sebelum Andini masuk kamar. Kini, Prabu masih terjaga, tapi ia sudah berada di atas kasur. Bahkan saat Andini naik ranjang pun, ia tetap di sana. Pria itu diam. Namun ketika Andini menarik selimut, suara beratnya memecah kesunyian malam. “Laki-laki tadi di kantor, siapa dia?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Andini. Andini mengernyit. Ia duduk di ujung ranjang, memandangi wajah Prabu dari samping. “Yang mana?” “Yang memanggilmu dengan sebutan
Sementara wajah Pram seketika tegang. Kekakuan menyelimuti mereka, sebelum kekehan Pram terdengar lagi. Tangannya mencubit kecil hidung Puspita.“Jangan berani-berani. Dosen, mahasiswa, semua laki-laki, tetap laki-laki. Sekali kamu berpaling, aku culik kamu, bawa kabur, dan kunci di kamar tidak akan membukanya lagi.”Tawa Puspita makin riuh. Lega. Pram tidak salah paham tentang dosen muda. Tentang … Haidar.Setelah tawanya mereda, Puspita kembali bersandar di dada Pram, merasa damai. Ia bisa mendengar detak jantung suaminya yang stabil, menjadi irama tenang di telinganya.“Mas, menurutmu … bagaimana hubungan Bang Prabu dan Andini bisa harmonis seperti kita tidak?” Puspita mengalihkan obrolan.“Bisa, Sayang. Percayalah,” jawab Pram mantap. Ia mengelus punggung Puspita perlahan. “Mas bisa melihat ada benih cinta di mata mereka. Ada iri dan cemburu juga jika melihat kita mesra, kan?”“Kamu sengaja ya, Mas bikin mereka panas?” Puspita mengerucutkan bibir, setengah mencibir.“Ya tentu saja.
“Mas ….”Puspita melangkah ringan memasuki ruang kerja suaminya. Senyum manis mengembang di wajah cantiknya, memancarkan semangat yang sulit disembunyikan. Rok panjang berwarna pastel dan blus sederhana yang dikenakannya malah menonjolkan kecantikannya yang alami.Pram yang sedang membalikkan berkas-berkas di meja kerjanya, mengangkat wajah, matanya langsung berbinar melihat kedatangan istrinya. Ini memang bukan kali pertama Puspita datang ke sana tanpa memberi kabar dulu, namun, setiap kedatangan itu menjadi surprise untuknya. Di luar kejutan-kejutan lain yang selalu disiapkan istrinya itu.Kejutan-kejutan yang walaupun kecil dan sepele, tetapi sangat berarti hingga menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan yang tiada tara bagi Pram.Pram tidak pernah menyangka pernikahannya akan sebahagia ini bersama istri mudanya itu. Istri muda yang benar-benar masih muda dan penuh energi untuk menularinya semangat menjalani hidup.Hidup memang penuh kejutan. Rasa benci yang begitu besar terhadap P
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-