Statusnya sebagai istri muda majikannya menempatkannya di posisi serba salah. Ia terikat pada pria yang tidak pernah menginginkannya, tapi harus bertahan demi permintaan mendiang kakak madunya. Hingga suatu hari, Puspita harus merelakan dirinya terusir dan dituduh dengan sengaja mencelakakan anak sambungnya. "Aku tidak akan kembali, sekalipun kamu meminta," ucap Puspita terakhir kali. Tanpa mengetahui bahwa kemudian mantan suaminya mencarinya dalam kondisi tak terurus. "Kembalilah, aku membutuhkanmu." Apakah Puspita luluh dengan permohonan pria itu? Atau ia justru memilih melanjutkan hidupnya yang sudah tertata dengan dosen tampan yang hendak melamarnya?
Lihat lebih banyak1
“Jangan berharap terlalu banyak dengan pernikahan ini, Puspita. Aku tidak akan pernah seutuhnya menjadi suamimu.” Kalimat itu meluncur dari mulut pria tiga puluh lima tahun yang masih mengenakan jas putih khas pengantin pria. “Pernikahan ini terjadi hanya untuk membahagiakan Soraya. Kau dan aku tidak akan pernah lebih dari kesepakatan ini,” lanjut pria itu dengan tegas dan tanpa perasaan. Matanya yang dingin menatap ke depan, sementara kedua tangannya dilipat di dada. “Itulah yang berhak kau dapatkan ketika memanfaatkan kebaikan istriku.” Puspita, wanita 20 tahun yang duduk di tepi ranjang pengantin, hanya terdiam dengan salah satu tangan memilin ujung kebayanya. Ia sangat mengerti apa yang terjadi dengan pernikahan ini, tanpa harus Pramudya, majikan laki-laki yang baru saja menghalalkannya dalam kalimat ijabkabul pernikahan itu, menegaskan dengan kalimat setajam ini. “Saya tahu, Pak … saya sangat mengerti,” bisik Puspita dengan suara gemetar. “Saya tidak akan meminta lebih,” lanjutnya hampir tak terdengar. Keduanya menikah hanya untuk menyenangkan hati Soraya, istri Pramudya yang mengidap penyakit kronis dan umurnya disinyalir tak lagi lama. Wanita itu meminta Puspita untuk rela menjadi adik madunya, agar bisa merawat Pramudya dan bayi mereka, Prilly. Jadi Soraya bisa tenang jika sewaktu-waktu ia pergi meninggalkan dunia. Permintaan itu memang tidak masuk akal. Dan Puspita bisa saja menolak. Jika saja ia sendiri tidak berada dalam kondisi terdesak dan butuh bantuan. Soraya mengetahui situasinya dan berjanji akan membantu Puspita asalkan gadis itu bersedia menjadi istri kedua. Entah bagaimanapun caranya. Karena itulah, Puspita menyanggupi permintaan Soraya. Namun, Pramudya tampaknya tidak mengetahui perjanjian tersebut. Dan Puspita terlalu takut untuk menyanggah, sekalipun pria itu berpikir bahwa ia adalah perempuan gatal yang sedang memanfaatkan kesempatan. “Bagus jika kau mengerti. Ingat baik-baik.” Usai mengatakan itu, Pram melepaskan jasnya sembari berbalik pergi dan berjalan menuju pintu. Puspita terkesiap. “B-bapak, mau ke mana?” tanyanya. Tangan Pram yang hendak menyentuh kenop pintu, menggantung di udara. Sang pria terdiam sebelum berbalik dan menjawab, “Ke ruang kerja.” Dengan hati-hati, Puspita kembali bertanya, “Di malam pengantin kita?” Pram mengernyit. “Kenapa? Apa aku harus tetap di sini agar kamu bisa merayuku?” Pria itu bertanya ketus. Kedua bola mata Puspita melebar. Wajahnya terasa panas. Apa ia serendah itu di mata Pramudya? Ada perasaan sesak di dadanya, padahal ia tidak punya perasaan apa pun pada pria ini, Sekalipun miskin dan hanya pengasuh bayi, tetapi Puspita tidak akan merendahkan diri merayu sembarang laki-laki. “Saya hanya memikirkan perasaan Bu Soraya kalau melihat Bapak keluar dari kamar ini.” Suara Puspita bergetar ketika mengatakan itu. “Pernikahan ini atas permintaan Ibu. Saya khawatir Ibu kembali kepikiran tentang saya dan Bapak yang tidak akur. Nantinya itu justru membuat kesehatan Ibu memburuk, Pak.” Pram tampak tertegun cukup lama. Puspita berpikir, pastilah majikannya itu baru menyadari bahwa mereka sedang berada di lantai 2, sementara kamar kerjanya di lantai 1. Jika pria itu ke sana, kemungkinan bertemu seseorang yang tengah membereskan sisa-sisa acara. Dan informasi itu pastilah sampai ke Sonya. “Saya tidak akan melakukan apa pun, Pak,” ucap Puspita lagi. “Bahkan tidak apa-apa jika saya tidur di sofa. Saya hanya memikirkan Ibu–” “Berisik.” Setelah menukas seperti itu, Pramudya beranjak menuju sofa panjang di dekat jendela lalu merebahkan diri di sana. Sementara itu, Puspita memejamkan matanya lalu menarik napas dalam-dalam. Menguatkan hatinya sebelum kemudian ia membereskan hamparan kelopak mawar merah di atas ranjang, meskipun gadis itu tetap tidak bisa menahan tangis tanpa suaranya. Ia sudah melepaskan pernikahan impiannya. Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Puspita hanya tinggal melakukan tugasnya seperti biasa, bukan? Juga beberapa tugas tambahan seperti yang disuruh oleh Soraya, majikannya? Ia bisa menghadapinya. Begitu pikir gadis polos tersebut. ** “Hei, apa yang kamu lakukan, Puspita!?” Puspita terkesiap dan langsung berbalik menghadap Pram yang membentaknya. Hampir saja gadis itu menjatuhkan baju yang ia pegang ke lantai karena terkejut. Akan tetapi pemandangan di depannya lebih mengejutkan lagi karena Puspita tengah bertatapan dengan majikan laki-laki sekaligus suami barunya yang tengah bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Buru-buru, gadis itu menundukkan kepalanya sambil meletakkan baju di tangannya di atas ranjang. “M-maaf, Pak. Saya hanya menyiapkan pakaian Bapak,” ucap Puspita kemudian. Jemarinya saling memilin. Gestur khas jika ia sedang merasa gundah dan tidak nyaman. “Memangnya aku menyuruhmu?” balas Pram dengan ketus. Pria itu tadi bergegas ke kamar mandi usai bangun, untuk menyegarkan diri lantaran semalaman tidur di sofa. Berpikir bahwa Puspita sudah turun untuk mengurusi pekerjaannya dan tidak akan kembali ke kamar. “Ti-tidak, Pak,” cicit Puspita. “Tapi Bu Soraya meminta–” “Aku tidak ingin kau menyentuh barang-barangku,” potong Pram dengan suara tandas. “Urusi saja pekerjaanmu sebagai pengasuh anakku. Jangan bertingkah sebagai istriku.” Puspita makin memilin jemarinya. “Mohon maaf, Pak,” ucapnya nyaris tidak terdengar karena takut. Ia masih bisa merasakan tatapan tajam Pram terarah padanya, sekalipun Puspita tidak berani mendongak. “Saya tidak akan melakukannya lagi.” Usai Puspita mengatakan itu, Pram meraih pakaian di atas ranjang dan berjalan kembali menuju kamar mandi. Akan tetapi, langkah pria itu terhenti saat pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. “Neng Puspita, ada yang nyari, Neng.” Mendengar itu, Puspita buru–buru membuka pintu dan mendapati wanita paruh baya di sana. Beliau adalah salah satu asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di sini. “Siapa, Mbok?” tanya Puspita. “Laki-laki, Neng. Katanya sih, paman Neng Pita dari kampung.” Sepasang matanya terbelalak, sementara Puspita bisa merasakan tubuhnya lemas. Pamannya … pamannya pasti ke sini untuk menyeretnya pulang untuk dinikahkan dengan tuan tanah di kampungnya sebagai istri keempat. “Di-di mana dia?” bisik Puspita. “Apakah … Bu Soraya tahu?” “Kenapa Bu Soraya harus tahu, Neng?” tanya si mbok balik dengan nada heran. “Bukankah beliau tamunya Neng? Keluarga pula.” Puspita menggeleng. Ini masuk ke dalam kesepakatannya dengan Soraya. Majikannya itu berjanji, bahwa Puspita akan dilindungi oleh Soraya dan keluarga ini, bahkan oleh Pramudya sebagai suaminya. Hanya saja, pria itu– “Kau akan tetap berdiri di depan pintu seperti itu? Aku harus bersiap-siap,” ucap Pramudya tiba-tiba berkata dengan nada ketusnya. “Dan jangan sekali-sekalinya kamu ganggu istriku sepagi ini.” Ah, ya. Istri. Bagi Pramudya, Puspita masihlah pengasuh bayi. Bukan istri kedua yang juga sudah sepantasnya dilindungi.Langit begitu cerah siang itu. Awan tipis berarak pelan seakan ikut merayakan pencapaian besar yang tengah dirasakan Puspita.Setelah acara inti wisuda selesai di aula yang megah, semua orang bergerak ke luar ruangan. Dan di sana, suasana jauh lebih riuh. Gelak tawa, sorak-sorai, dan bunga-bunga yang memenuhi tangan para wisudawan menjadi pemandangan sejauh mata memandang.Taman kampus yang luas, dihiasi dengan tenda-tenda putih dan hamparan bunga musim semi yang bermekaran, menjadi tempat sesi foto dan perayaan kecil-kecilan yang diatur oleh pihak kampus.Puspita mengenakan toga kebanggaannya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya masih menggenggam buket bunga yang diberikan Pramudya begitu ia turun dari podium. Pram, lelaki yang menjadi suaminya, ayah dari anaknya, dan juga satu-satunya pelabuhan hidupnya—berdiri di sampingnya, mengenakan batik biru senada dengan putra kecil mereka.Tiba-tiba kerumunan kecil masuk ke area taman. Prabu datang bersama keluarganya. Ia terliha
Lima tahun kemudian …Pelukan itu hangat. Nyaman. Namun juga sedikit menyebalkan.“Mas …,” desis Puspita sambil berusaha melonggarkan lengan kekar suaminya yang melingkar erat di pinggangnya. “Lepas dulu, aku belum selesai pasang jarum pentul hijab ini, tahu nggak?”Puspita berdiri di depan cermin, tangannya cekatan merapikan kerudung satin warna krem yang selaras dengan kebaya brokat yang membalut tubuhnya yang kini sedikit berisi. Ia menghela napas, menyelipkan anak rambut yang bandel ke balik ciput. Hari ini adalah hari besar—hari di mana ia akhirnya menyandang gelar Sarjana Hukum setelah lima tahun perjalanan yang berliku. Tak mudah, tapi akhirnya sampai juga.Sejak tadi Pram terus saja mengganggunya. Tak membiarkan istrinya berdandan dengan tenang. Hanya karena menurutnya Puspita terlalu cantik. Seharusnya tidak bermake-up saja agar tidak menarik perhatian kaum Adam.Pram menatap pantulan cermin. Matanya teduh, bibirnya tersenyum. Wajah Puspita yang bermake-up flawless membuat na
“Kamu iri sama Puspita?” tanya Prabu hati-hati. Ia menatap luruh wajah Andini yang malam ini lebih banyak diam daripada biasanya.“Kalau kamu mau, kita juga bisa segera punya anak. Kita bisa lepas IUD kamu kapan saja,” lanjut Prabu seraya menggenggam tangan sang istri.“Besok kita ke dokter, ya? Aku yakin Oma juga akan melakukan hal yang sama ke kamu kalau kamu hamil.”Andini tersenyum, lalu menggeleng—cepat dan pasti.“Aku belum siap, Mas. Raja masih kecil. Aku belum ingin menjalani kehamilan. Belum sekarang. Rasanya… berat. Aku belum sanggup.”“Tapi aku bisa menambah babysitter kalau kamu mau. Aku tidak akan membiarkan kamu kerepotan mengurus anak-anak.”“Bukan itu, Mas. Lebih ke mental aku saja. Aku benar-benar belum siap menambah anak. Aku takut lebih cenderung ke anak yang lahir dari rahimku. Sedangkan anak-anak Mbak Irena juga butuh ibu. Aku takut tidak bisa adil, Mas. Kasihan mereka—sudah ditinggal ibu kandungnya, masa ibu barunya hanya sibuk dengan anak kandungnya? Tolong, ber
“Apa? Puspita hamil?” seru Oma dengan suara nyaring, nyaris membuat telinga Pram berdengung dari seberang telepon.Tak lama, terdengar denting gelas jatuh menghantam lantai marmer. Hening sejenak. Tapi bukan kemarahan yang terdengar setelahnya, melainkan... tawa. Tawa haru, yang menggetarkan dada.“Anak itu hamil! Hamil!” serunya lagi, kali ini kepada siapa pun yang ada di dekatnya. “Opa! Pa! Puspita hamil!” Ia berseru lagi, kini sambil berjalan tergopoh-gopoh mencari suaminya. “Kita rayakan malam ini juga! Di restoran paling mewah! Semua harus datang!”Pram belum sempat menjawab saat Oma sudah sibuk mencari Opa dan memerintah asistennya untuk segera memesan ruang VIP restoran bintang lima. Tak tanggung-tanggung, ia ingin semuanya hadir malam itu juga untuk merayakan kehamilan Puspita. Satu lagi calon cicit akan hadir hingga menambah ramai anak keturunan Bimantara.Pram tersenyum lebar setelah menutup sambungan telepon. Ia menjadi orang yang sangat bahagia mendapat kabar ini, meskipun
Matahari siang sudah lebih condong ke barat. Mahasiswa mulai keluar dari gedung-gedung fakultas, sebagian berjalan sambil tertawa, yang lainnya mengeluh soal tugas. Puspita menyampirkan tas ranselnya dan melangkah pelan keluar kelas. Badannya terasa pegal, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena ini hari pertama kuliah. Duduk berjam-jam dalam satu posisi membuat tubuhnya sangat lelah.Apa ini karena ia terlalu tua untuk menjadi mahasiswi baru? Atau karena tulang-tulang dan tubuhnya pernah rusak parah hingga sempat lumpuh?Rasanya ia tak bisa menyamai mereka yang masih berusia belasan, yang semangat belajarnya masih sangat tinggi. Atau mungkin, ini hanya soal belum terbiasa?Terkadang, terbersit keinginan untuk berhenti saja. Toh, ia punya suami yang bertanggung jawab. Lebih dari cukup untuk menanggung hidupnya. Ia juga salah satu keturunan Bimantara. Rasanya, tidak akan kekurangan secara materi. Namun, kembali lagi, ia punya cita-cita yang ingin dicapai. Bukankah ia ingin menjadi sese
agi itu, matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menelusup melalui jendela kamar Puspita. Aroma embun dan rumput basah menyusup dari celah ventilasi, membawa suasana segar yang jarang dirasakan Puspita akhir-akhir ini.Dia berdiri di depan cermin, merapikan kerudungnya dengan hati berbunga-bunga. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke bangku kuliah. Setelah semua yang dilaluinya—perjalanan hidup yang berat, pernikahan, hingga lumpuh lama dan sembuh perlahan—kini ia mulai menapaki kembali jalan mimpinya. Menjadi mahasiswi. Kuliah untuk mencapai cita-citanya. Lebih tepatnya meng-upgrade diri meski mungkin ujung-ujungnya tetap di rumah menjadi ibu rumah tangga.Ya, menyadari kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga, tentunya kelak ia tetap harus mengutamakan keluarga. Berkaca pada Andini yang meski seorang insinyur perminyakan—pekerjaan yang pasti sulit didapatkan—tapi saat suami menghendaki ia di rumah saja mengurus rumah tangga, ia harus tetap siap.Karena di rumah pun pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen