Share

5. SELALU TERSISIH

Author: Rosemala
last update Huling Na-update: 2024-10-31 11:34:14

5

Pramudya dan Puspita masih terpaku di tempatnya, sementara wanita cantik yang baru saja bicara itu mendekat. Senyum manis terus mengembang dari bibir merahnya. Tepat saat wanita dengan dress selutut itu tiba di meja makan, Hasna muncul dari pintu yang sama.

"Pram, ini Imelda, anak Tante Dini. Jangan bilang kamu lupa." Hasna langsung menjelaskan saat menyadari keheranan di wajah anaknya.

"Imelda?" gumam Pram. Keheranan masih menghiasi wajahnya.

"Iya, Pram. Imel yang waktu kecil suka kamu gendong-gendong, suka main pengantin-pengantinan sama kamu. Cantik, kan, dia sekarang?" Hasna tersenyum bangga sambil melirik wanita bernama Imel itu. Setelahnya, wanita lebih setengah abad itu duduk di kursi, mendekat ke arah Puspita yang kini menundukkan kepala.

"Lebih cantik dari kedua istrimu, bahkan jika kecantikan keduanya digabungkan," lanjut Hasna dengan sengaja. Matanya mengerling tajam ke arah Puspita.

Puspita menelan ludahnya, sementara Pramudya memejamkan matanya sebentar, lalu mengembuskan napas.

"Ibu, ada apa ke sini pagi-pagi? Tidak menemani ayah sarapan?" Pram mengalihkan topik.

Hasna mengibaskan tangannya. "Ibu mengantar Imel ke sini. Dia baru pulang dari luar negeri, Pram. Katanya dia rindu kamu, dan membawa oleh-oleh juga buat kamu."

Pram melirik wanita yang masih menebar senyum itu sekilas.

"Iya, nih, Mas Pram. Aku bawa ini." Imel meletakkan sebuah paperbag di atas meja. "Khusus buat Mas Pram. Semoga suka, ya."

Pram tidak menjawab, hanya melirik benda itu sekilas, lalu melanjutkan sarapannya.

Bola mata Hasna bergerak gelisah melihat Pram yang acuh dengan Imel.

"Heh, Pram, kamu hanya sarapan roti panggang itu?" Hasna menunjuk piring di hadapan anaknya. "Hanya itu yang bisa disajikan istrimu? Padahal kamu butuh nutrisi yang lengkap untuk menjalani aktivitas seharian di kantor. Pantas saja kamu sekurus ini sekarang."

Pram kembali memejamkan mata. Ia tidak suka situasi ini. Selama ini kedatangan sang ibu ke rumahnya memang hanya mendatangkan masalah, mungkin karena ia menikahi wanita yang tidak direstuinya. Baik Soraya ataupun Puspita, di mata sang ibu selalu salah. Ia tahu kini pun Hasna sedang mencari-cari kesalahan Puspita.

"Heh, Puspita, kamu hanya bisa menyajikan ini untuk suamimu sarapan?" Kini tatapan Hasna menghujam Puspita yang sejak tadi hanya diam. "Lihat anakku sekarang, semakin hari semakin menyedihkan. Aku memang sejak awal ragu apa kamu mampu mengurusnya. Dan terbukti, kamu tidak becus; anakku semakin kurus. Apa kakak madu tersayangmu dulu tidak mengajarimu—"

"Bu …." Pram memotong tajam. "Sudahlah! Aku yang minta sarapan ini, toh nanti juga makan siang di kantor. Puspita hanya menyajikan apa yang aku pinta." Pram jengah. Apalagi sang ibu membawa-bawa Soraya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku buatkan segelas susu rendah lemak, Mas? Aku lihat kamu hanya minum kopi." Imel ikut-ikutan. "Tidak baik minum kopi pagi-pagi."

"Tidak perlu! Kopi ini juga aku yang minta." Pram menukas cepat. "Aku sudah selesai sarapan, akan segera berangkat ke kantor. Permisi." Pram bangkit setelah meneguk kopi yang dihidangkan Puspita. Setelahnya, ia berlalu tanpa berkata-kata lagi. Puspita bergegas menyusul, mengantar Pram hingga ke depan mobilnya sambil membawakan tas kerjanya.

Namun, siapa sangka jika Hasna juga menyusulnya, menahan Pram saat pria itu akan memasuki mobilnya.

"Pram, jangan bersikap seperti itu sama Imel. Dia sudah jauh-jauh datang ke sini, membawakan oleh-oleh juga untukmu. Dia sudah seperhatian itu, tapi beginikah caramu berterima kasih?" Hasna menegur Pram dengan raut tidak suka.

Pram mengembuskan napas lelah. "Aku tidak minta dia melakukannya, Bu. Tolong sampaikan saja terima kasihku."

"Pram, kamu jangan seperti ini terus. Ayolah, Ibu sudah terlalu lama membiarkanmu tersesat dengan pilihanmu yang salah saat menikahi Soraya dulu. Dan lihatlah, kamu berakhir mengenaskan. Ibu tidak mau hal sama terulang. Bukalah hatimu, Ibu ingin melihatmu bahagia. Ibu ingin kamu melihat bahwa Imel yang cocok denganmu. Sejak kecil kalian sudah kenal, dan satu lagi yang terpenting, kalian sepadan."

"Bu, sudahlah! Aku harus berangkat ke kantor." Pram meraih tangan ibunya, lalu mencium singkat. Setelahnya, ia membuka pintu mobil.

"Pram, kamu harus mempertimbangkan ini."

Kalimat Hasna hanya dijawab dengan suara pintu mobil yang ditutup.

**

Pagi ini, Puspita merasakan sedikit lebih sibuk daripada pagi-pagi yang lain. Prily bangun lebih awal dan ingin terus berada dalam gendongannya. Terpaksa ia menyiapkan sarapan sambil menggendong anak itu.

Untunglah semangkuk bubur Manado sudah tersedia di atas meja, sesuai pesanan Pram. Ia berniat memandikan Prily saat suara nyaring high heels beradu dengan ubin terdengar mendekat.

Puspita mengembuskan napasnya. Ia tahu siapa gerangan yang datang. Imel. Wanita itu lagi, dan ini bukan kali kedua wanita itu datang. Sudah sangat sering, bahkan hampir setiap hari Imel datang dengan berbagai alasan.

Walaupun sadar posisinya hanya istri pengganti yang tidak diinginkan, Puspita sangat tidak nyaman jika wanita itu datang mengunjungi Pram. Bukankah Pram pria beristri?

Bukan tanpa alasan ia tidak suka dengan kedatangan wanita itu. Beberapa kali ia melihat Imel bersikap mesra pada Pram seolah mereka adalah pasangan.

Sayangnya, sikap Pram yang tidak tegas membuatnya kecewa. Suaminya itu seolah nyaman-nyaman saja dengan kehadiran wanita lain di rumahnya. Atau mungkin Pram memang menyukai wanita itu?

Puspita mengelus dadanya. Kalau saja tidak ingat pesan Soraya untuk selalu menjaga Prily, mungkin ia sudah lama pergi dari sana. Toh, sikap Pram juga tidak pernah berubah sejak awal.

"Di mana Mas Pram?" tanya Imel dengan santai, seolah tidak menanyakan seorang suami kepada istrinya.

Puspita baru akan menjawab saat suara Pram mendahului memanggil namanya.

"Puspita, di mana dasiku? Kenapa kamu tidak siapkan sekalian dengan kemejaku?" Pram muncul dengan setelan kantor yang sudah rapi, hanya minus dasi yang ditanyakannya.

Puspita menepuk keningnya, tadi ia lupa. Belum sempat memilihkan dasi, Prily sudah rewel. Baru saja ia melangkah menuju kamar untuk mengambil benda itu, Imel sudah mendahuluinya.

"Wah, kebetulan sekali, Mas. Hari ini aku bawa hadiah dasi buat Mas Pram." Imel menghampiri Pramudya sambil membuka paper bag yang dibawanya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak memanjang.

"Sepertinya kita memang jodoh, ya. Di saat Mas Pram butuh dasi, saat itu juga aku membawanya," lanjut wanita itu dengan percaya diri. Lalu ingin memasangkan benda itu di leher Pram, tetapi sang pria menolak.

"Tidak usah, Mel." Pram mengangkat tangannya.

"Lho, kenapa, Mas? Ini cocok lho, sama kemeja kamu." Imel terlihat kecewa.

"Tidak perlu, biar Puspita yang ambilkan." Pram mengatakan itu seraya melirik dan memberi kode agar Puspita segera mengambilnya.

Tanpa menunggu waktu, Puspita berlalu menuju kamar masih dengan menggendong Prilly. Tak lama sudah kembali dengan dasi di tangannya. Namun, saat ingin memberikannya pada Pram, Imel dengan cepat merebutnya.

"Aku pasangkan ya, Mas." Imel berkata manja.

"Tidak usah, aku bisa sendiri." Pram meraih dasi itu, tetapi Imel dengan cepat menghindarkan.

"Biar aku yang pasang, Mas. Anggap aja ini sebagai balas budi karena dulu Mas Pram suka gendong aku," jawab Imel lagi. Tangannya langsung melingkarkan dasi di leher Pram dengan tidak tahu malu.

Puspita membuang muka melihat adegan itu, setelahnya berlalu begitu saja dari hadapan mereka. Namun, sebelumnya ia sempat menghujamkan tatapan tajam untuk Pram.

Puspita memilih kembali ke kamar Prily untuk memandikan anak itu. Ia bahkan tidak peduli apakah Pram memakan sarapan yang ia buat atau tidak, karena tadi ia melihat Imel juga membawa kotak makanan.

Rasanya, ia semakin lelah menjalani pernikahan ini. Entah bagaimana nasib pernikahan ini di masa depan. Pergi dari sini? Lalu, bagaimana dengan Prily?

Selesai memandikan dan mendandani Prily, seperti biasa Puspita langsung menyuapi bayi itu dengan bubur Manado, menu yang sama dengan Pram. Pram sendiri sudah tak terlihat, begitu juga Imel. Puspita menarik napas panjang. Mungkin mereka pergi bersama setelah sarapan bersama.

Sekali lagi, ia harus meyakinkan dirinya bahwa keberadaannya di sana hanya demi amanat Soraya untuk menjaga Prily.

Belum sampai lima menit ia membereskan sarapan Prily, anak itu tiba-tiba saja terbatuk-batuk. Puspita langsung memberikan minum dari botol khususnya. Namun, yang terjadi selanjutnya, Prily justru tersedak dan megap-megap. Bukan hanya itu, mata bayi dua tahun itu mendelik hingga hanya terlihat bagian putihnya saja. Tubuhnya kejang-kejang, seperti sedang melepaskan nyawa.

Mata Puspita melebar, sebelum akhirnya menjerit dan berlari mencari pertolongan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Di tunggu kelanjutannya thor
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Waduh bakalan di salahkan gak nieh Puspita sama Pram...kasihan puspita
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
puspita bakal kena semprot d anggap tdk becus...makin penasaran lanjutan ny...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   307

    Langit begitu cerah siang itu. Awan tipis berarak pelan seakan ikut merayakan pencapaian besar yang tengah dirasakan Puspita.Setelah acara inti wisuda selesai di aula yang megah, semua orang bergerak ke luar ruangan. Dan di sana, suasana jauh lebih riuh. Gelak tawa, sorak-sorai, dan bunga-bunga yang memenuhi tangan para wisudawan menjadi pemandangan sejauh mata memandang.Taman kampus yang luas, dihiasi dengan tenda-tenda putih dan hamparan bunga musim semi yang bermekaran, menjadi tempat sesi foto dan perayaan kecil-kecilan yang diatur oleh pihak kampus.Puspita mengenakan toga kebanggaannya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya masih menggenggam buket bunga yang diberikan Pramudya begitu ia turun dari podium. Pram, lelaki yang menjadi suaminya, ayah dari anaknya, dan juga satu-satunya pelabuhan hidupnya—berdiri di sampingnya, mengenakan batik biru senada dengan putra kecil mereka.Tiba-tiba kerumunan kecil masuk ke area taman. Prabu datang bersama keluarganya. Ia terliha

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   306

    Lima tahun kemudian …Pelukan itu hangat. Nyaman. Namun juga sedikit menyebalkan.“Mas …,” desis Puspita sambil berusaha melonggarkan lengan kekar suaminya yang melingkar erat di pinggangnya. “Lepas dulu, aku belum selesai pasang jarum pentul hijab ini, tahu nggak?”Puspita berdiri di depan cermin, tangannya cekatan merapikan kerudung satin warna krem yang selaras dengan kebaya brokat yang membalut tubuhnya yang kini sedikit berisi. Ia menghela napas, menyelipkan anak rambut yang bandel ke balik ciput. Hari ini adalah hari besar—hari di mana ia akhirnya menyandang gelar Sarjana Hukum setelah lima tahun perjalanan yang berliku. Tak mudah, tapi akhirnya sampai juga.Sejak tadi Pram terus saja mengganggunya. Tak membiarkan istrinya berdandan dengan tenang. Hanya karena menurutnya Puspita terlalu cantik. Seharusnya tidak bermake-up saja agar tidak menarik perhatian kaum Adam.Pram menatap pantulan cermin. Matanya teduh, bibirnya tersenyum. Wajah Puspita yang bermake-up flawless membuat na

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   305

    “Kamu iri sama Puspita?” tanya Prabu hati-hati. Ia menatap luruh wajah Andini yang malam ini lebih banyak diam daripada biasanya.“Kalau kamu mau, kita juga bisa segera punya anak. Kita bisa lepas IUD kamu kapan saja,” lanjut Prabu seraya menggenggam tangan sang istri.“Besok kita ke dokter, ya? Aku yakin Oma juga akan melakukan hal yang sama ke kamu kalau kamu hamil.”Andini tersenyum, lalu menggeleng—cepat dan pasti.“Aku belum siap, Mas. Raja masih kecil. Aku belum ingin menjalani kehamilan. Belum sekarang. Rasanya… berat. Aku belum sanggup.”“Tapi aku bisa menambah babysitter kalau kamu mau. Aku tidak akan membiarkan kamu kerepotan mengurus anak-anak.”“Bukan itu, Mas. Lebih ke mental aku saja. Aku benar-benar belum siap menambah anak. Aku takut lebih cenderung ke anak yang lahir dari rahimku. Sedangkan anak-anak Mbak Irena juga butuh ibu. Aku takut tidak bisa adil, Mas. Kasihan mereka—sudah ditinggal ibu kandungnya, masa ibu barunya hanya sibuk dengan anak kandungnya? Tolong, ber

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   304

    “Apa? Puspita hamil?” seru Oma dengan suara nyaring, nyaris membuat telinga Pram berdengung dari seberang telepon.Tak lama, terdengar denting gelas jatuh menghantam lantai marmer. Hening sejenak. Tapi bukan kemarahan yang terdengar setelahnya, melainkan... tawa. Tawa haru, yang menggetarkan dada.“Anak itu hamil! Hamil!” serunya lagi, kali ini kepada siapa pun yang ada di dekatnya. “Opa! Pa! Puspita hamil!” Ia berseru lagi, kini sambil berjalan tergopoh-gopoh mencari suaminya. “Kita rayakan malam ini juga! Di restoran paling mewah! Semua harus datang!”Pram belum sempat menjawab saat Oma sudah sibuk mencari Opa dan memerintah asistennya untuk segera memesan ruang VIP restoran bintang lima. Tak tanggung-tanggung, ia ingin semuanya hadir malam itu juga untuk merayakan kehamilan Puspita. Satu lagi calon cicit akan hadir hingga menambah ramai anak keturunan Bimantara.Pram tersenyum lebar setelah menutup sambungan telepon. Ia menjadi orang yang sangat bahagia mendapat kabar ini, meskipun

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   303

    Matahari siang sudah lebih condong ke barat. Mahasiswa mulai keluar dari gedung-gedung fakultas, sebagian berjalan sambil tertawa, yang lainnya mengeluh soal tugas. Puspita menyampirkan tas ranselnya dan melangkah pelan keluar kelas. Badannya terasa pegal, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena ini hari pertama kuliah. Duduk berjam-jam dalam satu posisi membuat tubuhnya sangat lelah.Apa ini karena ia terlalu tua untuk menjadi mahasiswi baru? Atau karena tulang-tulang dan tubuhnya pernah rusak parah hingga sempat lumpuh?Rasanya ia tak bisa menyamai mereka yang masih berusia belasan, yang semangat belajarnya masih sangat tinggi. Atau mungkin, ini hanya soal belum terbiasa?Terkadang, terbersit keinginan untuk berhenti saja. Toh, ia punya suami yang bertanggung jawab. Lebih dari cukup untuk menanggung hidupnya. Ia juga salah satu keturunan Bimantara. Rasanya, tidak akan kekurangan secara materi. Namun, kembali lagi, ia punya cita-cita yang ingin dicapai. Bukankah ia ingin menjadi sese

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   302

    agi itu, matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menelusup melalui jendela kamar Puspita. Aroma embun dan rumput basah menyusup dari celah ventilasi, membawa suasana segar yang jarang dirasakan Puspita akhir-akhir ini.Dia berdiri di depan cermin, merapikan kerudungnya dengan hati berbunga-bunga. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke bangku kuliah. Setelah semua yang dilaluinya—perjalanan hidup yang berat, pernikahan, hingga lumpuh lama dan sembuh perlahan—kini ia mulai menapaki kembali jalan mimpinya. Menjadi mahasiswi. Kuliah untuk mencapai cita-citanya. Lebih tepatnya meng-upgrade diri meski mungkin ujung-ujungnya tetap di rumah menjadi ibu rumah tangga.Ya, menyadari kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga, tentunya kelak ia tetap harus mengutamakan keluarga. Berkaca pada Andini yang meski seorang insinyur perminyakan—pekerjaan yang pasti sulit didapatkan—tapi saat suami menghendaki ia di rumah saja mengurus rumah tangga, ia harus tetap siap.Karena di rumah pun pe

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status