Share

6. TIDAK BECUS!

Penulis: Rosemala
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-01 21:34:16

“Apa? Prily sesak napas?” Pram berteriak bicara di telepon. “Ya sudah, langsung bawa ke rumah sakit, aku menyusul ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan dengan gusar.

“Pak, putar arah ke rumah sakit!” perintahnya pada sopir sambil memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Wajahnya diliputi kecemasan.

“Ada apa, Mas?” tanya Imel yang duduk di samping Pram. Wajahnya tampak simpatik, padahal beberapa saat sebelumnya seulas senyum terukir di wajahnya.

“Prily sesak napas.” Pram menjawab tanpa menoleh.

Sejujurnya, saat ini ia merasa dirinya yang tidak bisa bernapas. Apalagi Puspita meneleponnya sambil menangis. Sudah dapat dipastikan jika kondisi Prily sangat serius.

Pram takut.

Ia baru saja ditinggalkan orang tercintanya. Dan jika Prily pun sampai kenapa-napa, ia bisa gila.

“Sesak napas?” Imel mengulang. “Perasaan, saat kita tinggal tadi, Prily baik-baik saja, kan? Kok, bisa sih, sesak napas?” tanya Imel dengan irama kalimat yang sangat diatur.

Pram tidak ingin menjawab. Ia memutuskan memejamkan matanya setelah meminta sopir menambah kecepatan mobil agar segera tiba di rumah sakit. Sayangnya, lalu lintas yang padat di pagi hari, membuatnya agak terlambat.

Dan Pram langsung berlari menuju IGD begitu mereka sampai. Kecemasannya sudah tak terobati.

“Bagaimana keadaan putri saya, Dok?” Dengan wajah tegang, Pram langsung menemui dokter yang menangani Prily.

Dokter wanita berhijab menatap Pram serius. “Sebenarnya, putri Anda hanya mengalami reaksi alergi, Pak. Namun, reaksinya cukup parah sehingga menyebabkan sesak napas.” Sang dokter menjelaskan.

“Alergi?” Kening Pram berkerut.

“Ya, mungkin berasal dari makanan yang tak sengaja diberikan. Bersyukurlah, bayi Prily tidak apa-apa. Kami sudah memberikan tindakan pertama dan menstabilkan kondisinya. Namun, putri Anda tetap membutuhkan pemantauan ketat, ya, Pak.”

Kata-kata dokter seakan tak lagi masuk ke dalam kepala Pram. Tangannya langsung mengepal, menyadari bahwa anaknya hampir saja meregang nyawa karena sesak napas. Bagi Pram, itu sangat fatal.

Pram segera menemui Prily di ruang gawat darurat, setelah bicara dengan dokter. Lelaki itu mematung di samping brangkar sang anak. Tangannya menggenggam erat sisi brankar, dan pandangannya tak lepas dari tubuh kecil Prily yang berbaring lemah dengan masker oksigen yang menutupi wajah mungilnya.

Napas tersengal, bibir bengkak, dan kulit pucatnya membuat hati Pram hancur.

Pram menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Tangannya membelai pelipis sang anak yang memejam, lalu satu kecupan lembut mendarat di kepala Prily.

Meski merasa lega karena Prily selamat, hatinya tetap bergejolak. Rasa khawatir yang mendalam berubah menjadi kemarahan ketika matanya menangkap sosok Puspita yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah pucat dan tangan gemetar.

Pram bangkit, lalu menghampiri Puspita dengan tatapan dingin menghujam.

“Ikut aku keluar,” ucapnya pelan tapi tegas. Setelahnya, lelaki itu berjalan diikuti Puspita yang terus menunduk dalam ketakutan.

Pram menghentikan langkahnya di sebuah sudut sepi, lalu berbalik menghadap wanita yang masih menunduk itu. Wajah Pram merah dan tegang. Dan di mata Puspita itu sangat menakutkan.

“Kamu tahu apa yang dikatakan dokter tadi?” tanya Pram dengan suara tertahan. “Dokter bilang Prily sesak napas karena alergi.”

Puspita masih menunduk. Tak ada sepatah kata pun yang terucap.

“Dan menurut dokter, itu alergi dari makanan. Sebenarnya, apa yang kamu berikan pada anakku, hah?”

Puspita akhirnya mendongak. “Saya hanya memberikan bubur seperti yang Bapak makan, tidak ada yang lain,” jawabnya lirih.

Mata Pram membelalak. “Jadi, kamu memberikan ikan tuna pada Prily?” Suaranya meninggi. “Apa kamu tidak tahu kalau Prily alergi tuna?”

“Ikan tuna?” Puspita mengernyit. “Saya tidak memberikan ikan tuna, Pak.”

Apa maksudnya? Ia sama sekali tidak menggunakan bahan itu untuk membuat bubur Manado tadi.

Dan lagi, tentu saja ia tahu anak asuhnya itu alergi apa saja. Ia tidak bodoh, pun tidak berniat mencelakakan Prily.

Tidak mungkin ia tega melakukan itu.

“Tidak memberikan ikan tuna bagaimana? Jelas-jelas bubur yang aku makan terdapat toping ikan tuna.” Pram menukas. “Katamu, itu juga yang kamu berikan pada Prily?”

Puspita menggeleng yakin. “Saya tidak menghidangkan atau menggunakan tuna sama sekali, Pak. Saya sudah memastikan semua aman sebelum menghidangkan–”

“Tapi kenyatannya, ada ikan itu pada makanan kami.” Pram berdecak. “Aku memakannya tadi pagi. Kupikir, kamu menyajikan makanan lain untuk putriku. Tapi ternyata kamu ceroboh begini!?”

Puspita menggeleng semakin kuat. Tiba-tiba matanya memanas.

Sungguh, tadi ia sudah memastikan semuanya aman, dan ia tentu saja tahu Prily memiliki alergi terhadap makanan tertentu.

“Dua tahun kamu menjadi pengasuh Prily dan tidak tahu kalau dia alergi?” Pram bertanya lagi, suaranya semakin tertahan. Napasnya berat menahan amarah.

“Pak, saya tidak–”

Puspita ingin membantah, tapi Pram seolah tidak memberikan kesempatan untuknya.

“Aku tidak mengerti, Puspita. Bagaimana ini bisa terjadi?” Pram terus mencecarnya. “Kamu tidak bisa merawat Prily dengan benar. Bagaimana tanggung jawabmu terhadap Soraya?”

Puspita tersentak, kepalanya tak henti menggeleng. Matanya sudah diliputi kaca-kaca.

“Maafkan saya, Pak. Tapi saya benar-benar sudah memastikan semuanya aman.” Suaranya bergetar, berusaha keras menahan tangis yang mengancam pecah. “Saya yakin saya tidak memasukkan–”

Namun, Pram tidak tergerak sedikit pun. Kemarahannya semakin memuncak, seolah kata-kata Puspita hanya menambah bara di hatinya.

“Kalau bukan kamu, lantas siapa? Kamu satu-satunya orang yang menyiapkan sarapan untuk kami, Puspita,” bantah Pram. “Ck. Kamu ... kamu benar-benar tidak becus, Puspita!”

Kaca-kaca di mata Puspita mulai pecah, mengaliri pipinya.

Di tengah ketegangan itu, tanpa diketahui oleh Pram dan Puspita, Imel yang sedari tadi menyaksikan dengan senyum kemenangan, melangkah mendekat. Wajahnya penuh keprihatinan. Ia menyentuh lengan Pram dengan lembut, seolah menenangkan.

“Mas Pram, tenanglah. Mungkin Puspita tidak sengaja,” ucap Imel lembut. “Meski … memang aku sering melihat dia menjejalkan makanan ke mulut Prily dengan paksa. Prily sudah nangis, tapi dia tetap memaksa.”

Mata Pram melebar demi mendengar ucapan Imel, tatapannya semakin tajam menghujam. Sementara Puspita hanya bisa menggeleng, berusaha menyangkal.

"Rupanya kamu tidak tulus mengasihi putriku," ucap Pram. "Ternyata benar kata pamanmu. Kamu ingin kaya, dengan menikahiku?"

Lagi-lagi Puspita hanya mampu menggeleng. Ingin menyangkal tuduhan, tapi suaranya terjebak di tenggorokannya.

Pram yang sudah dikuasai amarah, meminta Imel untuk meninggalkan mereka. Pram ingin menyelesaikan urusannya dengan Puspita sekarang juga.

“Selama ini, aku pikir keputusan Soraya sudah tepat menjadikanmu ibu sambung Prily.” Pram berkata lagi, suaranya semakin dalam. “Tapi hari ini, aku tahu istriku telah salah memilihmu.”

Puspita menggigit bibir kuat-kuat. Kata-kata Pram laksana pisau yang mengiris hatinya.

“Kenapa kamu melakukan ini, hah? Kamu tidak suka padaku?” tanya Pram lagi yang membuat Puspita terkejut. “Kalau benar, jangan limpahkan rasa marahmu pada Prily. Dia tidak bersalah.”

“Tidak, Pak. Anda salah paham. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana—”

Pram mengibaskan tangannya dengan marah. “Aku tidak mau dengar apa pun lagi! Mulai hari ini, aku membebaskanmu, Puspita.”

“Ma-maksud Bapak?” Bibir Puspita bergetar. Tubuhnya mendadak terasa dingin.

“Maksudku, aku tidak ingin melihatmu di sekitar Prily lagi. Anakku tidak butuh ibu yang tega sepertimu.”

“Pak–”

“Dengan penuh kesadaran, aku menjatuhkan talak padamu, Puspita Ayudia. Sejak saat ini kamu bukan lagi istriku. Jangan pernah menemui anakku lagi!”

Kaki Puspita mundur dengan sendirinya hingga punggungnya membentur tembok. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Napasnya tersengal. Ia ingin bicara, tapi Pram sudah menjauh dengan kata-kata yang tak pernah diralat.

Ia diceraikan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Atri
hatiku ikut sakit
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Soraya ya bukan Soniya hehehe
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Si nenek sihir deh kayaknya yang naroh ikan tuna di buburnya,jadi ingat amanat Soniya sebelum meninggal "jangan pernah melepaskan Puspita nanti kamu akan menyesal"...dan akhirnya semuanya terjadi,kasihan puspita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   307

    Langit begitu cerah siang itu. Awan tipis berarak pelan seakan ikut merayakan pencapaian besar yang tengah dirasakan Puspita.Setelah acara inti wisuda selesai di aula yang megah, semua orang bergerak ke luar ruangan. Dan di sana, suasana jauh lebih riuh. Gelak tawa, sorak-sorai, dan bunga-bunga yang memenuhi tangan para wisudawan menjadi pemandangan sejauh mata memandang.Taman kampus yang luas, dihiasi dengan tenda-tenda putih dan hamparan bunga musim semi yang bermekaran, menjadi tempat sesi foto dan perayaan kecil-kecilan yang diatur oleh pihak kampus.Puspita mengenakan toga kebanggaannya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya masih menggenggam buket bunga yang diberikan Pramudya begitu ia turun dari podium. Pram, lelaki yang menjadi suaminya, ayah dari anaknya, dan juga satu-satunya pelabuhan hidupnya—berdiri di sampingnya, mengenakan batik biru senada dengan putra kecil mereka.Tiba-tiba kerumunan kecil masuk ke area taman. Prabu datang bersama keluarganya. Ia terliha

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   306

    Lima tahun kemudian …Pelukan itu hangat. Nyaman. Namun juga sedikit menyebalkan.“Mas …,” desis Puspita sambil berusaha melonggarkan lengan kekar suaminya yang melingkar erat di pinggangnya. “Lepas dulu, aku belum selesai pasang jarum pentul hijab ini, tahu nggak?”Puspita berdiri di depan cermin, tangannya cekatan merapikan kerudung satin warna krem yang selaras dengan kebaya brokat yang membalut tubuhnya yang kini sedikit berisi. Ia menghela napas, menyelipkan anak rambut yang bandel ke balik ciput. Hari ini adalah hari besar—hari di mana ia akhirnya menyandang gelar Sarjana Hukum setelah lima tahun perjalanan yang berliku. Tak mudah, tapi akhirnya sampai juga.Sejak tadi Pram terus saja mengganggunya. Tak membiarkan istrinya berdandan dengan tenang. Hanya karena menurutnya Puspita terlalu cantik. Seharusnya tidak bermake-up saja agar tidak menarik perhatian kaum Adam.Pram menatap pantulan cermin. Matanya teduh, bibirnya tersenyum. Wajah Puspita yang bermake-up flawless membuat na

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   305

    “Kamu iri sama Puspita?” tanya Prabu hati-hati. Ia menatap luruh wajah Andini yang malam ini lebih banyak diam daripada biasanya.“Kalau kamu mau, kita juga bisa segera punya anak. Kita bisa lepas IUD kamu kapan saja,” lanjut Prabu seraya menggenggam tangan sang istri.“Besok kita ke dokter, ya? Aku yakin Oma juga akan melakukan hal yang sama ke kamu kalau kamu hamil.”Andini tersenyum, lalu menggeleng—cepat dan pasti.“Aku belum siap, Mas. Raja masih kecil. Aku belum ingin menjalani kehamilan. Belum sekarang. Rasanya… berat. Aku belum sanggup.”“Tapi aku bisa menambah babysitter kalau kamu mau. Aku tidak akan membiarkan kamu kerepotan mengurus anak-anak.”“Bukan itu, Mas. Lebih ke mental aku saja. Aku benar-benar belum siap menambah anak. Aku takut lebih cenderung ke anak yang lahir dari rahimku. Sedangkan anak-anak Mbak Irena juga butuh ibu. Aku takut tidak bisa adil, Mas. Kasihan mereka—sudah ditinggal ibu kandungnya, masa ibu barunya hanya sibuk dengan anak kandungnya? Tolong, ber

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   304

    “Apa? Puspita hamil?” seru Oma dengan suara nyaring, nyaris membuat telinga Pram berdengung dari seberang telepon.Tak lama, terdengar denting gelas jatuh menghantam lantai marmer. Hening sejenak. Tapi bukan kemarahan yang terdengar setelahnya, melainkan... tawa. Tawa haru, yang menggetarkan dada.“Anak itu hamil! Hamil!” serunya lagi, kali ini kepada siapa pun yang ada di dekatnya. “Opa! Pa! Puspita hamil!” Ia berseru lagi, kini sambil berjalan tergopoh-gopoh mencari suaminya. “Kita rayakan malam ini juga! Di restoran paling mewah! Semua harus datang!”Pram belum sempat menjawab saat Oma sudah sibuk mencari Opa dan memerintah asistennya untuk segera memesan ruang VIP restoran bintang lima. Tak tanggung-tanggung, ia ingin semuanya hadir malam itu juga untuk merayakan kehamilan Puspita. Satu lagi calon cicit akan hadir hingga menambah ramai anak keturunan Bimantara.Pram tersenyum lebar setelah menutup sambungan telepon. Ia menjadi orang yang sangat bahagia mendapat kabar ini, meskipun

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   303

    Matahari siang sudah lebih condong ke barat. Mahasiswa mulai keluar dari gedung-gedung fakultas, sebagian berjalan sambil tertawa, yang lainnya mengeluh soal tugas. Puspita menyampirkan tas ranselnya dan melangkah pelan keluar kelas. Badannya terasa pegal, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena ini hari pertama kuliah. Duduk berjam-jam dalam satu posisi membuat tubuhnya sangat lelah.Apa ini karena ia terlalu tua untuk menjadi mahasiswi baru? Atau karena tulang-tulang dan tubuhnya pernah rusak parah hingga sempat lumpuh?Rasanya ia tak bisa menyamai mereka yang masih berusia belasan, yang semangat belajarnya masih sangat tinggi. Atau mungkin, ini hanya soal belum terbiasa?Terkadang, terbersit keinginan untuk berhenti saja. Toh, ia punya suami yang bertanggung jawab. Lebih dari cukup untuk menanggung hidupnya. Ia juga salah satu keturunan Bimantara. Rasanya, tidak akan kekurangan secara materi. Namun, kembali lagi, ia punya cita-cita yang ingin dicapai. Bukankah ia ingin menjadi sese

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   302

    agi itu, matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menelusup melalui jendela kamar Puspita. Aroma embun dan rumput basah menyusup dari celah ventilasi, membawa suasana segar yang jarang dirasakan Puspita akhir-akhir ini.Dia berdiri di depan cermin, merapikan kerudungnya dengan hati berbunga-bunga. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke bangku kuliah. Setelah semua yang dilaluinya—perjalanan hidup yang berat, pernikahan, hingga lumpuh lama dan sembuh perlahan—kini ia mulai menapaki kembali jalan mimpinya. Menjadi mahasiswi. Kuliah untuk mencapai cita-citanya. Lebih tepatnya meng-upgrade diri meski mungkin ujung-ujungnya tetap di rumah menjadi ibu rumah tangga.Ya, menyadari kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga, tentunya kelak ia tetap harus mengutamakan keluarga. Berkaca pada Andini yang meski seorang insinyur perminyakan—pekerjaan yang pasti sulit didapatkan—tapi saat suami menghendaki ia di rumah saja mengurus rumah tangga, ia harus tetap siap.Karena di rumah pun pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status