4
"Kamu menikah lagi tanpa restu Ibu? Ibu doakan istri barumu juga kena kanker seperti Soraya!"
"Ibu, cukup!" Pram berseru, wajahnya menegang. Ia menatap ibunya dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi tetap tak bisa menutupi kegeraman. "Apa Ibu tahu betapa sulitnya situasi kami sekarang?"
"Sulit?" Bu Hasna mendengus. "Kamu bilang sulit? Kamu tahu apa yang Ibu rasakan saat tahu kamu menikah dengan seorang pembantu tanpa restu?"
Puspita yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa meremas ujung kerudungnya. Ia menahan diri, tetapi hatinya perih mendengar cemoohan Bu Hasna. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berkata, "Maaf…."
Hasna menatap tajam wanita yang menunduk itu. "Seharusnya kau sadar diri sejak awal. Kau hanya seorang pembantu. Apa itu memang tujuanmu bekerja di sini?" Kata-kata Hasna semakin menusuk.
"Ibu, jangan berkata seperti itu pada Puspita!" Soraya tidak tahan lagi. Meski sangat lemah, ia tidak bisa membiarkan ibu mertuanya berkata buruk pada Puspita. "Saya yang meminta Mas Pram untuk menikahi Puspita, Bu. Saya…."
"Apa?" Mata Hasna mendelik. Mulutnya terbuka lebar. Tatapan tajamnya kini berfokus pada wanita yang berbaring lemah di ranjang. "Kamu yang meminta anakku untuk menikahi pembantu itu?" Telunjuknya mengarah ke wajah Puspita yang menunduk.
"Kenapa?"
"Karena Puspita wanita yang baik, Bu. Ia akan menjadi ibu yang baik untuk Prily setelah saya pergi nanti."
Hasna mengibaskan tangannya dengan kasar. "Kamu memang tidak tahu, Soraya. Sudah bau tanah pun masih juga menyusahkan anakku. Kalau memang mau mati, tinggal mati saja. Tidak perlu repot-repot mencarikan istri baru untuk anakku. Akan ada banyak wanita yang bersedia menikah dengan Pram setelah kamu mati. Apalagi aku juga sudah menyiapkan calon penggantimu."
"Ibu…." Pram memekik. Wajahnya merah padam. "Ibu bicara apa? Ayo kita bicara di luar saja. Biarkan Soraya istirahat." Pram meraih tangan Hasna, tetapi wanita itu menepisnya.
"Istrimu yang tidak tahu diri itu tidak butuh istirahat, Pram. Dia hanya butuh introspeksi diri sebelum meninggal."
"Ibu bicara apa?" Pram menatap sang ibu tak percaya.
"Itu memang benar, bukan? Untuk apa dia memintamu menikahi pembantu itu? Pantas saja sakitnya tidak sembuh-sembuh, ia memang hanya bisa menyusahkanmu."
"Cukup, Bu! Jangan membuatku marah. Soraya tidak memintaku menikahi Puspita. Aku sendiri yang mau menikahinya," Pramudya berkata tegas.
"Apa maksudmu, Pram?" Hasna menatap dengan kening berkerut.
Pramudya menahan napas beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Aku mencintai Puspita. Karena itu aku menikahinya. Jadi, pernikahan ini bukan karena permintaan Soraya."
Kata-kata Pram begitu tegas dan meyakinkan, hingga bukan hanya Hasna yang terperangah, Puspita yang sejak tadi hanya menunduk kini menoleh dan menatap pria itu tak percaya.
"Jadi, sekarang jelas, bukan? Semua ini bukan karena Soraya, tapi aku sendiri yang ingin poligami. Aku mencintai Puspita karena ia sama baiknya dengan Soraya."
Hening beberapa saat. Semua orang di ruangan itu terkesima dengan pengakuan Pram yang tak terduga. Hingga….
"Kau pikir Ibu akan menerima pernikahanmu walaupun kamu mencintai pembantu itu?" Hasna menatap penuh kebencian. "Tidak akan, Pram! Tidak akan pernah! Ibu bahkan sudah menyiapkan calon istri baru untukmu!" Tidak kalah tegas, Hasna berkata.
Pram ingin menyahut, tapi suara pekikan dari belakang tubuhnya membuatnya tersentak. Pria itu berbalik dan mendapati Puspita memegangi tubuh Soraya yang terkulai.
"Soraya…." Pram mendesis, lalu meraih tubuh lemah itu dalam pelukannya, menepuk pipi pucat Soraya dengan pelan. Namun, sang istri semakin terkulai dengan napasnya yang kian pendek.
"Soraya! Bertahanlah!" Pram memekik panik, terlebih melihat mata Soraya yang mendelik dan hanya menyisakan bagian putihnya saja. Bukan hanya itu, cairan merah kehitaman mulai keluar dari lubang hidung sang wanita.
"Puspita, cepat panggil ambulans! Aku akan membawa Soraya ke rumah sakit."
**
Pramudya bersimpuh di depan gundukan tanah merah yang tertabur bunga. Seikat bunga segar ia letakkan di dekat nisan bertuliskan nama Soraya Binti Imran. Kepalanya menunduk dalam, tangannya tak henti mengusap ukiran nama di batu nisan itu. Separuh jiwanya sudah hilang bersama dengan terenggutnya nyawa Soraya kemarin di rumah sakit.
Wanita itu sudah lelah; ia menyerah. Kanker payudara yang menggerogoti tubuhnya telah memenangkan pertarungan. Soraya pergi dalam pelukannya. Meninggal dalam damai setelah rentetan wasiat yang yakin akan ia pegang.
Soraya tidak tahu kalau kepergiannya meninggalkan duka yang teramat. Dunia Pram seolah kiamat. Wanita terkasihnya pergi meninggalkan dia dan putri mereka yang masih sangat kecil.
Pram memejam, semua kenangan bersama Soraya selama tujuh tahun pernikahan terus berputar di kepalanya.
"Mas, aku sudah lelah…." Pram semakin memejam saat mengingat detik-detik kepergian Soraya kemarin. "Ingat, setelah aku pergi, jangan pernah melepaskan Puspita apa pun yang terjadi. Aku tidak rela kamu memberikan ibu baru untuk Prily selain Puspita. Prily hanya butuh Puspita dan bukan orang lain."
Meski dengan suara lemah dan terputus-putus, Soraya terus bicara. Padahal Pram sudah melarangnya. Pram hanya bisa menggeleng sambil menggenggam tangan sang istri sebelum nyawa wanita itu benar-benar meninggalkan raganya.
**
Enam bulan berlalu.
Rumah itu seperti mati. Pram berubah menjadi pria yang seolah tak lagi mengenal dunia, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Setiap malam, Puspita melihat pria itu berdiri di dekat jendela, menatap hampa ke arah luar.
Pram bahkan lupa jika ia masih memiliki putri kecil yang haus perhatian. Prily—gadis kecil yang belum genap dua tahun, seolah bukan hanya kehilangan ibunya, tapi juga ayahnya karena Pram terlalu larut dalam kesedihan ditinggalkan Soraya.
Beruntunglah Prily memiliki Puspita. Pengasuh yang kini bukan hanya menjadi ibu barunya, tapi seolah menjadi dunianya.
Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, Puspita mengasuh Prily layaknya anak sendiri. Bukan semata karena permintaan Soraya, tetapi karena ia menyayangi anak itu dengan tulus. Bukan hanya Prily yang Puspita urusi dengan sabar, tetapi juga Pram yang bagai tak memiliki lagi semangat untuk melanjutkan hidup.
Puspita menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu semenjak Soraya pergi. Bukan semata karena amanat Soraya, tetapi karena ia menyadari kewajiban dan posisinya di rumah itu.
Sayangnya, waktu yang terus berjalan tak pernah mengubah hati Pram. Sama seperti dulu, Pram sama sekali tidak pernah melihat Puspita sebagai seorang istri. Berbulan-bulan, tiap kali tatapan mereka bertemu, hanya dingin yang menyambut Puspita, tanpa sedikit pun penghargaan atas pengorbanan yang ia lakukan. Pram menolak melewati masa dukanya, tenggelam dalam rasa kehilangan yang semakin menyesakkan setiap hari.
Pagi ini, Pram sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Sementara Puspita yang baru selesai menyajikan sarapan untuknya, langsung duduk di hadapannya. Ada yang ingin disampaikan Puspita. Namun, wanita itu terlihat ragu. Alhasil, ia hanya menatap pria yang mulai menyantap roti panggang dalam diam.
Semenjak Soraya pergi, Pram memang tidak menolak ia layani sebatas menyajikan makan dan disiapkan pakaian, walaupun tetap hanya kebisuan dan sikap dingin sebagai imbalannya. Bagi Puspita, untuk saat ini itu saja sudah cukup. Paling tidak, perannya sebagai istri cukup nyata.
Puspita masih memikirkan kalimat untuk membuka obrolan, saat suara langkah kaki mendekat ke ruang makan. Wanita paruh baya, ART mereka, datang tergopoh-gopoh. Puspita dan Pram sontak menoleh.
“Maaf, Pak, ada tamu mencari Bapak, tapi minta langsung masuk karena katanya calon istri Bapak.”
“Calon istri?” Pram dan Puspita bergumam heran.
Wanita cantik bertubuh langsing masuk dengan anggun dari pintu dan langsung menebar senyum manis.
“Selamat pagi, Mas Pram. Sudah lama nggak ketemu, ya. Kata Bude Hasna, Mas Pram merindukanku.”
Langit begitu cerah siang itu. Awan tipis berarak pelan seakan ikut merayakan pencapaian besar yang tengah dirasakan Puspita.Setelah acara inti wisuda selesai di aula yang megah, semua orang bergerak ke luar ruangan. Dan di sana, suasana jauh lebih riuh. Gelak tawa, sorak-sorai, dan bunga-bunga yang memenuhi tangan para wisudawan menjadi pemandangan sejauh mata memandang.Taman kampus yang luas, dihiasi dengan tenda-tenda putih dan hamparan bunga musim semi yang bermekaran, menjadi tempat sesi foto dan perayaan kecil-kecilan yang diatur oleh pihak kampus.Puspita mengenakan toga kebanggaannya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya masih menggenggam buket bunga yang diberikan Pramudya begitu ia turun dari podium. Pram, lelaki yang menjadi suaminya, ayah dari anaknya, dan juga satu-satunya pelabuhan hidupnya—berdiri di sampingnya, mengenakan batik biru senada dengan putra kecil mereka.Tiba-tiba kerumunan kecil masuk ke area taman. Prabu datang bersama keluarganya. Ia terliha
Lima tahun kemudian …Pelukan itu hangat. Nyaman. Namun juga sedikit menyebalkan.“Mas …,” desis Puspita sambil berusaha melonggarkan lengan kekar suaminya yang melingkar erat di pinggangnya. “Lepas dulu, aku belum selesai pasang jarum pentul hijab ini, tahu nggak?”Puspita berdiri di depan cermin, tangannya cekatan merapikan kerudung satin warna krem yang selaras dengan kebaya brokat yang membalut tubuhnya yang kini sedikit berisi. Ia menghela napas, menyelipkan anak rambut yang bandel ke balik ciput. Hari ini adalah hari besar—hari di mana ia akhirnya menyandang gelar Sarjana Hukum setelah lima tahun perjalanan yang berliku. Tak mudah, tapi akhirnya sampai juga.Sejak tadi Pram terus saja mengganggunya. Tak membiarkan istrinya berdandan dengan tenang. Hanya karena menurutnya Puspita terlalu cantik. Seharusnya tidak bermake-up saja agar tidak menarik perhatian kaum Adam.Pram menatap pantulan cermin. Matanya teduh, bibirnya tersenyum. Wajah Puspita yang bermake-up flawless membuat na
“Kamu iri sama Puspita?” tanya Prabu hati-hati. Ia menatap luruh wajah Andini yang malam ini lebih banyak diam daripada biasanya.“Kalau kamu mau, kita juga bisa segera punya anak. Kita bisa lepas IUD kamu kapan saja,” lanjut Prabu seraya menggenggam tangan sang istri.“Besok kita ke dokter, ya? Aku yakin Oma juga akan melakukan hal yang sama ke kamu kalau kamu hamil.”Andini tersenyum, lalu menggeleng—cepat dan pasti.“Aku belum siap, Mas. Raja masih kecil. Aku belum ingin menjalani kehamilan. Belum sekarang. Rasanya… berat. Aku belum sanggup.”“Tapi aku bisa menambah babysitter kalau kamu mau. Aku tidak akan membiarkan kamu kerepotan mengurus anak-anak.”“Bukan itu, Mas. Lebih ke mental aku saja. Aku benar-benar belum siap menambah anak. Aku takut lebih cenderung ke anak yang lahir dari rahimku. Sedangkan anak-anak Mbak Irena juga butuh ibu. Aku takut tidak bisa adil, Mas. Kasihan mereka—sudah ditinggal ibu kandungnya, masa ibu barunya hanya sibuk dengan anak kandungnya? Tolong, ber
“Apa? Puspita hamil?” seru Oma dengan suara nyaring, nyaris membuat telinga Pram berdengung dari seberang telepon.Tak lama, terdengar denting gelas jatuh menghantam lantai marmer. Hening sejenak. Tapi bukan kemarahan yang terdengar setelahnya, melainkan... tawa. Tawa haru, yang menggetarkan dada.“Anak itu hamil! Hamil!” serunya lagi, kali ini kepada siapa pun yang ada di dekatnya. “Opa! Pa! Puspita hamil!” Ia berseru lagi, kini sambil berjalan tergopoh-gopoh mencari suaminya. “Kita rayakan malam ini juga! Di restoran paling mewah! Semua harus datang!”Pram belum sempat menjawab saat Oma sudah sibuk mencari Opa dan memerintah asistennya untuk segera memesan ruang VIP restoran bintang lima. Tak tanggung-tanggung, ia ingin semuanya hadir malam itu juga untuk merayakan kehamilan Puspita. Satu lagi calon cicit akan hadir hingga menambah ramai anak keturunan Bimantara.Pram tersenyum lebar setelah menutup sambungan telepon. Ia menjadi orang yang sangat bahagia mendapat kabar ini, meskipun
Matahari siang sudah lebih condong ke barat. Mahasiswa mulai keluar dari gedung-gedung fakultas, sebagian berjalan sambil tertawa, yang lainnya mengeluh soal tugas. Puspita menyampirkan tas ranselnya dan melangkah pelan keluar kelas. Badannya terasa pegal, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena ini hari pertama kuliah. Duduk berjam-jam dalam satu posisi membuat tubuhnya sangat lelah.Apa ini karena ia terlalu tua untuk menjadi mahasiswi baru? Atau karena tulang-tulang dan tubuhnya pernah rusak parah hingga sempat lumpuh?Rasanya ia tak bisa menyamai mereka yang masih berusia belasan, yang semangat belajarnya masih sangat tinggi. Atau mungkin, ini hanya soal belum terbiasa?Terkadang, terbersit keinginan untuk berhenti saja. Toh, ia punya suami yang bertanggung jawab. Lebih dari cukup untuk menanggung hidupnya. Ia juga salah satu keturunan Bimantara. Rasanya, tidak akan kekurangan secara materi. Namun, kembali lagi, ia punya cita-cita yang ingin dicapai. Bukankah ia ingin menjadi sese
agi itu, matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menelusup melalui jendela kamar Puspita. Aroma embun dan rumput basah menyusup dari celah ventilasi, membawa suasana segar yang jarang dirasakan Puspita akhir-akhir ini.Dia berdiri di depan cermin, merapikan kerudungnya dengan hati berbunga-bunga. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke bangku kuliah. Setelah semua yang dilaluinya—perjalanan hidup yang berat, pernikahan, hingga lumpuh lama dan sembuh perlahan—kini ia mulai menapaki kembali jalan mimpinya. Menjadi mahasiswi. Kuliah untuk mencapai cita-citanya. Lebih tepatnya meng-upgrade diri meski mungkin ujung-ujungnya tetap di rumah menjadi ibu rumah tangga.Ya, menyadari kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga, tentunya kelak ia tetap harus mengutamakan keluarga. Berkaca pada Andini yang meski seorang insinyur perminyakan—pekerjaan yang pasti sulit didapatkan—tapi saat suami menghendaki ia di rumah saja mengurus rumah tangga, ia harus tetap siap.Karena di rumah pun pe