Share

Chapter 2: Tumbal sang anak

"Ikuh, mung perasaane mas bae! Jare Mila si, laka sing aneh!" (Itu, cuma perasaan mas saja! Kata Mila si, tidak ada yang aneh!) seru Jamilah berbisik meyakinkan.

Aku terdiam, bingung! Semua bercampur menjadi satu.

Siapa yang benar dan siapa yang salah? aku tak tahu!

Intinya setelah kak Warkam keluar dari ruangan itu, aku merasa dia begitu berbeda.

Tetapi yang jadi masalahnya, apa yang aku lihat dan orang lain lihat itu berbeda. Karena tak ada yang merasakan keanehan atau keganjilan yang aku rasakan.

Aku tahu itu, saat melihat sekitar. Tepatnya beberapa orang yang datang dan mereka bersikap biasa saja. Bahkan, ada yang pamit sama kak Warkam untuk pulang.

Tetapi di mataku, semua masih sama. Kak Warkam tak membalas salam dari orang-orang.

"Yah, Ayah ...!" ucap Suci mengayunkan bajuku sambil sesekali menariknya.

"Ana apa, nok?" (Ada apa, nak?) tanyaku sambil sedikut menunduk dan mendekatkan pendengaran ke mulut Suci.

"Mang Warkam kosi meneng bae si, yah? Apa mang Warkam kelaran?" (Om Warkam kok diam saja si, yah? Apa om Warkam sakit?) tanya Suci berbisik.

Aku kaget dan terdiam untuk sesaat.

Rupanya selain aku, Suci pun mengetahui kejanggalan tersebut.

"Oh iya, yah! Lagi kaen mang Warkam ning umah kuh karo bu Ijah kedik, kan?" (Oh iya, yah! Waktu itu om Warkam datang ke rumah sama bu Ijah juga, kan?) tanyanya lagi.

"Bu Ijah?" tanyaku bingung.

"Iya, Yah!" jelas suci meyakinkan.

"Aneh! Kan waktu kaen kang Warkam dewekan?! Bisa-bisane Suci ngomong ana bu Ijah? Aduh! Pecah kih endas, mikir sing ora-ora. Sing bener endi si?!" (Aneh! Kan waktu itu kak Warkam sendirian?! Bisa-bisanya Suci bilang kalau ada bu Ijah? Aduh! Pecah nih kepala, mikir yang tidak-tidak. Yang benar yang mana si?!) gumamku dalam hati.

Dipikir dari pada bingung, aku pun melangkahkan kaki mendekati mbak Raeni, istri dari kak Warkam.

"Mbak Ra! Pengen nakon! Prapto ninggal kenang apa? Kan tak deleng kuh ora kelaran ora apa?" (Mbak Ra! Mau nanya! Prapto meninggalnya kenapa? Kan aku lihat dia tidak sakit tidak apa?) tanyaku penasaran sambil sesekali melirik kearah patung yang bernyawa (Warkam).

"Jarene si, Prapto nemu duit 100 perak ning arepan umah. Tapi, tak menengaken bae karena melas, wis pirang-pirang dina ora jajan. Terus, duite go tuku es karo jaburan," (Katanya si, Prapto menemukan uang 100 rupiah di halaman rumah. Tapi, tak aku hiraukan karena kasihan, sudah beberapa hari tidak beli jajan. Terus, uangnya buat beli es sama cemilan,) jelas mbak Raeni diiringi dengan tangisan.

"Terus, kok bisa mengonon?" (terus, kok bisa seperti itu?) tanyaku lagi yang masih penasaran.

"Tes kuen kuh glendeng, lara weteng! Terus mutah-mutah sampe teka ning lemes, toli toli temu-temu bocah kuh wis laka bae." (Habis itu mengeluh, sakit perut! Terus muntah-muntah sampai lemas, terus tiba-tiba dia tiada.) jawab mbak Raeni sambil menangis.

Aku memilih diam, mencoba tuk meresapi kejadian tersebut dan tak lagi berani bertanya, karena takut membuat mbak Raeni semakin sedih.

"Gara-gara sira nakon priben kejadiane, mas Warkam nangise tambah kejer!" (Gara-gara kamu yang nanya perihal kejadian, mas Warkam nangisnya tambah kencang!) seru mbak Raeni dengan nada membentak.

"Hah? Sing bener bae? Boro-boro nangis. Melotot, iya! Kosi raine dadi tambah abang mengkonon? Toli melototi ning Kirun," (Hah? Yang benar saja? Mana mungkin dia nangis. Melotoin, iya! Sampai wajahnya tambah merah begitu? Terus, melototin Kirun,) gumamku dalam hati.

"Wah ..! Wis ora beres kinih!" (Wah ...! Sudah tak beres nih!) gumamku lagi dan pergi menjauh.

Singkat cerita, acara pemakaman pun selesai dan aku langsung pulang meninggalkan istri dan anakku.

Matahari kian condong ke barat, namun masih siang dan aku tak bisa membendung lagi rasa kantuk ini.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kedalam kamar dan merebahkan tubuh, lalu tertidur.

Tak terasa, sudah pukul 16 sore.

Cacing di perut pun, sudah mulai demo.

"Eh bocah! Sing mau dikon balik bli gelem balik!" (Eh anak! Dari tadi disuruh pulang tak mau pulang!) terdengar teriakkan dari depan rumah, suaranya seperti Jamilah.

Aku langsung bergegas keluar kamar dan melihat apa yang sedang terjadi.

Lalu, aku pun menegur Jamilah,

"Ana apa si? Bocah aja di sewoti mengkonon! Melas ...!" (Ada apa si? Anak jangan di marahi begitu! Kasian ...!) teriakku.

"Kih mas! anake sampean di kon balik bli gelem! Ngomonge, Prapto ngejak dolan. Prapto kan wis ninggal! Kih bocah aneh-aneh bae," (Nih mas! Anakmu di suruh pulang tidak mau! Bilangnya, Prapto ngajakin main. Prapto kan sudah meninggal! Nih anak aneh-aneh saja," jelas Jamilah.

"Wis kih, cekelen anake! Mila pan masak dikit!" (Sudah nih, pegang anakmu! Mila mau masak dulu!) pinta Jamilah memberikan Suci padaku yang kala itu tengah menangis.

Aku membawa Suci masuk dan menyuruhnya duduk di ruang tamu.

Lalu, aku menanyakan suatu hal,

"Suci! Ayah pengen nakon! Ana apa karo Prapto?" (Suci! Ayah mau tanya! Ada apa dengan Prapto?) tanyaku dengan tutur lembut.

"Ka-ka-kang Prapto, jaluk tulung ning Suci! Ka-ng Praptoe ora gelem digawa ning wong kaen!" (Ka-Ka-Kak Prapto, minta tolong sama Suci! Ka-k Praptonya tidak mau dibawa sama orang itu!) jelasnya sesenggukan.

Aku diam untuk sesaat sambil berpikir kalau yang dikatakan Suci benar atau tidak?!

Aku hanya takut, kalau anakku mempunyai kehalusinasian yang tinggi.

"Wong sapa?" (Orang siapa?) tanyaku penasaran.

"Uwong sing endase kaya tikus. Tapi, cungure gede." (Orang yang kepalanya seperti tikus. Tapi, hidungnya besar.) jelas Suci yang masih sedikit tersedu.

"Ya wis, ko ayah sing nyelametaken kang Prapto! Tapi Suci aja nangis terus ya? Toli, gampang ko cerita maning," (Ya sudah, nanti ayah yang menyelamatkan kak Prapto! Tapi Suci jangan nangis ya? Terus, nanti cerita lagi,) bujukku dengan nada lembut.

"I-iya, ayah!" seru Suci.

Sembari menunggu Suci mulai tenang dan sambil menunggu Jamilah selesai masak, aku mencoba kembali bertanya kepada Suci, tentang apa yang terjadi.

Tetapi, belum sempat aku bertanya, Suci kembali menjelaskan,

"Mengkenen, Yah! Suci ndeleng kang Prapto melayu. Ning gurie ana wong kuen sing gedag-gedag. Kang Prapto jaluk tulung, tapi laka wong sing ngeladeni." (Begini, Yah! Suci lihat kak Prapto lari. Dibelakangnya ada orang itu yang mengejar-ngejar. Kak Prapto minta tolong, tapi tak ada orang yang meladeninya.) jelas Suci.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang Suci utarakan.

Tetapi aku berpikir, tak mungkin anak sekecil Suci pandai berbohong.

"Suci kan ngomong karo ibu, tapi ibu meneng bae! Sampe kang Prapto digered ning wong kuen. Lamon bli percaga, takon ning Siska!" (Suci kan ngomong sama ibu, tapi ibu diam saja! Sampai kak Prapto diseret sama orang itu. Kalau tak percaya, tanya sama Siska!) jelas Suci kembali.

Siska yang aku tahu adalah teman imajinasi Suci.

Sedari kecil Suci suka bermain sendiri dan terkadang, kerap ngobrol seorang diri. Tetapi saat ditanya main sama siapa, selalu jawab main sama Siska.

"Ayah! Suci! Ayo, mangan dikit!" (Ayah! Suci! Ayo, makan dulu!) teriak Jamilah dari arah dapur.

Kita pun bergegas pergi ke dapur untuk makan siang.

Makan siang di jam 16.30.

Seperti biasa, aku dan Jamilah makan didekat dapur dan duduk di tikar anyaman.

Sedangkan Suci, makan sambil lihat televisi.

"Yah! Ayah ...!" teriak Suci.

"Apa, nok?" (Apa, nak?) tanyaku balik.

"Yah! Mene dikit ...! Gage!" (Yah! Kesini dulu ...! Cepat!) pinta Suci.

"Iya, iya ... Ana apa?" (Iya, iya ... Ada apa?) tanyaku sambil berjalan mendekatinya.

"Wis mas aja diladeni! Mangan bae dikit!" (Sudah mas jangan dihiraukan! Makan saja dulu!) seru Jamilah, teatapi aku tak menghiraukannya dan terus berjalan mendekati ruang televisi.

"Ana apa, Ci?" (Ada apa, Ci?) tanyaku.

"Ikuh, Yah! Iku ...!" (Itu, Yah! Itu ...!) seru Suci sambil menunjuk kearah televisi.

"Iya, ana apa?" (Iya, ada apa?) tanyaku bingung.

"Ikuluh, wong sing gawa kang Prapto, raine mirip kaya kuen!" (Ituloh, orang yang bawa kak Prapto, wajahnya mirip seperti itu!)

Aku tercengang, kaget.

Karena yang ada di acara televisi saat itu, tepatnya yang ditunjuk Suci, adalah babi.

Seketika, bulu kudukku langsung meremang.

"Siska ning endi?" (Siska dimana?) tanyaku kepada Suci dan mulai mempercayai kalau anakku ini mempunyai kemampuan lebih.

"Ikih ning iring kiwe, lagi mangan bareng!" (Ini disebelah kiri, sedang makan bareng!) jelas Suci.

Sebenarnya aku ragu untuk menannyakan ini.

Tetapi, apa yang akan aku lakukan?

Bahkan, aku pun tak tahu apa yang tengah terjadi!

"Bisa takonaken ning Siska?" (Bisa tanyakan sama Siska?) tanyaku ragu.

"Bisa! Pengen takon apa?" (Bisa! Mau tanya apa?) Siska balik bertanya.

"Takon ning bature! Sing raie kaya sing ning tipi, kuh sapa?" (Tanya sama temanmu! Yang wajahnya seperti yang di televisi, itu siapa?) tanyaku ke Suci.

Suci terdiam untuk sesaat.

Lagaknya, seperti seseorang yang tengah mendengarkan.

"Raja siluman babi!" jelas Suci.

"Hah ...? Raja Siluman babi?" Aku kaget dan balik bertanya.

"Iya! Jare Siskae mengkonon!" (Iya! Kata Siskanya seperti itu!) jelas Suci.

"Aduh mas! Omongane bocah cilik kok dirongokaken? Arane bae gah bocah, ngomonge ngelantur" (Aduh mas! Omongannya anak kecil kok didengerin? Namanya juga anak-anak, omongannya suka ngelantur!) teriak Jamilah mendekati kita.

Aku memilih diam!

Mencoba menerka siapa yang benar!

Suci beranggapan kalau dia tahu dunia sebelah.

Sedangkan Jamilah, dia tak mempercayai adanya hantu atau semacamnya.

Selesai makan, kita habis kan waktu sore dengan menonton acara televisi.

Hingga azan magrib berkumandang.

Aku pun langsung pergi ke kamar untuk berganti pakaian dan meniatkan diri tuk mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa.

Namun, setelah keluar kamar,

Bersambung ... .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status