Share

Chapter 3: Jaga malam

"Hahaha, pengen mendi? Tahlil? Dau gah magrib!" (Hahaha, mau kemana? Tahlil? Baru juga magrib!) jelas Jamilah menertawakanku.

"Pan sembahyang!" (Mau salat!) jawabku.

"Lah ...? Ana angin apa sampean sembahyang?" (Lah ...? Ada angin apa Anda salat?) tanya Jamilah ragu.

"Mila! Sembahyang gah kena!" (Mila! Salatlah) pintaku.

Bukannya Jamilah menuruti perintahku, dia malah tertawa.

Suci pun ikut-ikutan senyum.

Ya, memang keluarga kita jauh dari agama.

Tetapi saat seseorang mulai berubah dan ingin mendekatkan sama yang maha kuasa, apa salah?

Aku tak menghiraukan apa yang diucapkan Jamilah, lalu bergegas pergi keluar rumah menuju musalah yang jaraknya hanya beberapa meter saja.

Sehabis salat magrib, aku tak langsung pulang.

Tapi ngobrol dengan marbot yang namanya sama denganku. Yaitu, Kirun.

Kita ngobrol sampai datang waktu isya.

Sehabis salat isya, aku mewakili kak Warkam tuk mengajak para jama'ah tahlil di rumah dia.

Dari awal datang, sampai semua jama'ah tahlil pada pulang ke rumahnya masing-masing, kang Warkam tak menampatkan batang hidungnya.

Membuatku bertanya-tanya dan mendekati mbak Raeni,

"Mbak! Kang Warkame endi?" (Mbak! Kak Warkamnya mana?) tanyaku.

"Ora weruh! Jarene si ana perlu," (Gak tahu! Katanya si ada keperluan,) jawab mbak Raeni.

"Keperluan apa si? Sampe tahlilan anake dewek ora melu?" (Keperluan apa si? Sampai tahlilan anak sendiri tak ikut?) tanyaku lagi. Tetapi, mbak Raeni tak menjawab dan pergi tuk meladeni tamu yang datang untuk melekan (bergadang).

Aku merasa iba sama mbak Raeni dan ikut membantunya menyambut warga yang datang, serta menyiapkan keperluan guna melekan.

Tak berselang lama, mbak Raeni terlihat lelah dan duduk melamun di kursi ruang tamu.

Aku kembali mendekatinya untuk menanyakan sesuatu,

"Mbak! Ngerasa aneh bli karo kang Warkam?" (Mbak! Merasa ada yang aneh tidak dengan kak Warkam?) tanyaku sambil duduk disampingnya.

"Aneh priben, Run?" (Aneh bagaimana, Run?) mbak Raeni balik bertanya, tetapi tak berani menatap.

"Ya anehlah, mbak!) jelasku.

"Lah, sira sing aneh! Yong mas Warkam biasa-biasa bae!" (Lah, kamu yang aneh! Orang mas Warkam biasa-biasa saja!) jelasnya meyakinkan, "Ya, paling ... Blolih ning kamere Prapto," (Ya, paling ... Tidak boleh ke kamarnya Prapto) timpa mbak Raeni.

"Bloli priben, mbak?" (Gak boleh bagaimana, mbak?) tanyaku penasaran.

"Ya embuh! Yong kamere bae sampe dikonci!" (Ya gak tahu! Kamarnya saja sampai dikunci!) jelas mbak Raeni.

Tak berselang lama, kak Warkam pun pulang.

Akan tetapi, aku tak berani menegurnya.

Karena, kak Warkam menatapku dengan tatapan benci dan mata yang melotot.

"Ya wis mbak! Mader kang Warkame wis teka, Kirun pamit ya?" (Ya sudah mbak! Lagian kak Warkam sudah datang, Kirun pamit ya?) ucapku, berdiri dari tempat duduk.

"Oh ya wis, Run! Kesuwun ...! Salam kanggo Jamilah!" (Oh ya sudah, Run! Terima kasih ...! Salam buat Jamilah!) balas mbak Raeni, aku mengangguk dan langsung pergi.

Sesampainya dirumah, Jamilah menyambutku dengan raut wajah hawatir.

Dia sampai menunggu setengah kantuk diruang tamu.

"Mas! Sing endi bae? Tes magrib ora balik, toli jarene pan tahlil? Ko, jam semene dau balik?" (Mas! Dari mana saja? Habis magrib tidak pulang, terus katanya mau tahlil? Kok jam segini baru pulang?) tanya Jamilah.

"Tes magrib ning tajug bae, nonggoni sampe isya. Tes isyae tahlilan, toli mbaturi mbak Raeni!" (Habis magrib di musalah saja, nunggu isya. Sehabis isya tahlilan, terus menemani mbak Raeni!) jelasku.

"Oh ya wis, mung pengen ngupai weruh bae, dina kien mas ana jadwal ronda," (Oh ya sudah, cuma mau ngasih tahu saja, hari ini mas ada jadwal ronda,) ucap Jamilah.

"Oh iya, ora kelingan," (Oh iya, lupa,) jawabku, "Mila wis masak, kan?" (Mila sudah masak, kan,?) sambungku bertanya.

"Uwis mas! Wis mana salin dikit terus mangan! Tes kuen, dau mangkat ronda!" (Sudah mas! Sudah sana ganti pakaian dulu terus makan! Habis itu, baru berangkat ronda!) pinta Jamilah.

"Oh iya, Suci si endi?" (Oh iya, Suci mana?) tanyaku.

"Wis turu ...." (Sudah tidur ....) jawab Jamilah.

Aku bergegas ke kamar untuk ganti pakaian, baru setelah itu pergi ke dapur untuk makan. Dan setelahnya, aku pamit untuk berangkat meronda.

Bermodalkan senter batrai, aku keluar rumah dan menyusuri jalan yang gelap nan sepi.

Sesekali, aku menggetok-getok senter, karena cahayanya kian meredup.

Aku memilih memutar lewat belakang, tepatnya jalan area pesawahan yang memang tak ada penerangan.

Angin malam mulai melambai, menerpa dedaunan.

Dinginnya menusuk tulang, sampai kain sarung pun aku kenakan.

Aku terus berjalan menelusuri jalan setapak dan langkahku terhenti, kala sampai didekat pohon beringin.

Dari jauh terlihat samar bayangan putih terbungkus kain, akan tetapi tak menyulutkan niatku untuk terus berjalan.

Senter aku sorotkan ke sosok tersebut, tapi cahanya tak sampai.

Sambil terus memastikan bahwa yang aku lihat bukanlah sesuatu yang mencurigakan, aku terus menyoroti bayangan tersebut.

Semakin dekat dan semakin jelas, ternyata sosok tersebut adalah pocong!

Ya, pocong yang berdiri membelakangiku.

Langkahku sempat terhenti, dan sosok itu mulai bergerak.

Melompat, mengitari pohon.

"Wah! Wong pengangguran kih?!" (Wah! Orang iseng nih?!) dalam batinku berucap.

Aku memberanikan diri tuk mendekati pohon tersebut.

Dengan bermldalkan bismillah, aku coba mencari keberadaannya.

"Maukuh, ngilange ning kene?!" (Tadikan, hilangnya disini?!) ucapku sambil berjalan keare belakang pohon yang tepiannya petakkan sawah.

"Eh! Aja sarat-sorot bae! Silo ...!" (Eh! Jangan sarat-sorot terus! Silau ...!) teriak seorang perempuan, yang ternyata bu Ijah.

"Eh, bu Ijah! Maaf bu! Maukuh perasaan ndeleng pocong, ngilange ning kene!" (Eh, bu Ijah! Maaf bu! Tadi tuh perasaan lihat pocong, hilangnya disini!) jelasku.

"Pocang-pocong, pocang-pocong! Laka pocong! Sing mau gah ning kene lagi ngising laka papa!" (Pocang-pocong, pocang-pocong! Tidak ada pocong! Dari tadi aku berak disini tidak ada apa-apa) ketus bu Ijah sambil pergi meninggalkanku.

Aneh saja kalau bu Ijah tidak melihat dan aneh juga kalau dia berak di sawah!

Masa orang kaya berak di sawah? Atau, memang wc nya rusak? Entahlah ...!

Ya! Warga sini terkadang kalau buang hajat di area pesawahan dan terkadang ada yang dipinggir sungai. Bagi warga miskin seperti kami, tidak bisa membuat wc.

Jangan kan wc, air pam saja kita tak punya dan untuk keperluan sehari-hari, terkadang mengambil air dari sumur atau air sungai.

Aku pun lanjut berjalan dan tak berselang lama, pos ronda pun terlihat.

Dari jauh, aku melihat pak saman duduk bersender, sepertinya dia ketiduran.

"Dor!" teriakku mengagetkannya.

"Ayam, ayam ...!" teriak pak Saman, kaget.

"Hahahaha"

"Bocah semprul! Wong tua dibebeda!" (Anak semprul! Orang tua dibercandain!) keluhnya sambil mengelus dada beberapa kali.

"Sangkane! Baka ronda aja turu," (Makanya! Kalau ronda jangan tidur,) ucapku.

"Ya sirae bae ora teka-teka, sampe kitae keturuan!" (Ya kamunya saja tidak datang-datang, sampai aku ketiduran) gerutu pak Saman.

"Kopie di cong dikit pak! Bari aja ngantuk!" (Kopinya diseduh dulu pak! Biar tak mengantuk!) seruku sambil duduk.

Aku mulai duduk menghadap beliau. Tetapi, pak Saman tiba-tiba terdiam, seakan sedang memikirkan sesuatu.

"Eh, Run! Ngrungu beli ustaz Amir ngomong? Ninggali Prapto kuh ora wajar?" (Eh, Run! Dengar tidak kata ustaz Amir? Meninggalkan Prapto tidak wajar?) ucapnya membuatku penasaran.

"Ora wajar priben, pak?" (Gak wajar bagiaman, pak?) tanyaku semakin penasaran.

"Jarene si, sing di kuburaken kuh dudu Prapto. Tapi, kedebog!" (Katanya si, yang di kebumikan itu bukan Prapto. Tapi, pelepah pisang!) bisik pak Saman.

"Kita kan wis pada weruh, yen pak ustaz bisa ndeleng hal gaib. Dadia, percayalah ...!" (kita semua suda pada tahu, kalau ustaz bisa lihat hal gaib. Jadi, percayalah ...!) seruku mengiyakan.

"Sira gah weruh?" (Kamu juga tahu?) tanya pak Saman mengerenyitkan dahi.

"Weruh, pak ...!" (Tahu, pak ...!) jawabku dengan mulut terbuka lebar.

"Cocote ...! Mambu pete, hahaha, " (Mulutmu ...! Bau petai, hahaha,) gumam pak Saman sambil menutup hidung.

"Hahahaha, uh ... Gentong! Wis serius kanda malah diguyoni!" (Hahahaha, uh ... Tempayan! Sudah serius mendengarkan malah dibercandain!) teriakku sambil membuka mulut lebar-lebar dan mendekatkan ke wajahnya.

"Eh, ndlogdog! Aja pare-parek! Mambu!" (Eh, tak sopan! Jangan dekat-dekat! Bau!) ujarnya dan kita pun tertawa.

Walau pak Saman orang tua, tapi dia suka bercanda.

Makanya, aku paling suka kalau pas ronda ditemani sama beliau.

Tepat pukul 12 malam.

Mata mulai agak kantuk, karena lelah.

Tiba-tiba pak Saman mengagetkanku, menepuk-nepuk pahaku beberapa kali sambil berujar,

"Run! Run ...! Krungu beli?" (Run! Run ...! Dengar tidak?) tanya pak Saman mengagetkanku.

"Apa maning? Aja guyonan bae, ah!" (Apa lagi? Jangan bercanda terus, ah!) gerutuku ditengah kantuk.

"Hust, meneng! Rongokaken!" (Hust, diam! Dengarkan!) pinta pak Saman.

Aku mencoba mengembalikan kesadaran, sambil mendengarkan apa yang beliau dengar.

"Khog, khog ..."

"Suarae wong ngorok?" (Suaranya orang mendengkur?) tanyaku.

"I-iku, Run! De-delengen ning gurie witan gedang ana apa? (I-itu, Run! Li-lihatlah dibelakang pohon pisang ada apa?) tanya pak Saman dengan nada terbata.

Aku melihat kearah yang pak Saman tunjuk!

Terlihat sikuet yang menurutku tidaklah asing.

Tiba-tiba, pak Saman berlari mendekati kentongan dan memukulnya dengan kencang.

Sambil berucap,

"Bedul dadi-daian ...! Bedul dadi-daian ...!" (Babi jadi-jadian ...! Babi jadi-jadian ...!)

Seketika, satu persatu warga berdatangan.

Pos langsung menjadi ramai.

"Hah? Bedul? Sing bener bae?" (Hah? Babi? Yang benar saja?) tanyaku dalam hati.

Ya, aku kaget! Karena apa yang aku lihat tak sama dengan apa yang pak Saman lihat.

Malah, aku melihat seseorang yang sepertinya ku kenal.

Ya, kak Warkam!

Aku melihat sosok kak Warkam!

Bukan babi jadi-jadian, seperti yang dikatakan pak Saman.

Bersambung ... .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status