Share

NYUPANG BEDUL (PESUGIHAN BABI NGEPET)
NYUPANG BEDUL (PESUGIHAN BABI NGEPET)
Penulis: Rama Atmaja

Chapter 1: Mencari pesugihan

Hari itu, Kang Warkam datang berkunjung ke rumah.

Dan pada saat itu juga, aku sedang ada dirumah.

Terdengar suara ketukan pintu disertai salam.

Lalu, aku balas salam dan membukakan pintu.

"Ana apa kang? Apa ana sesuatu sampe teka dadakan kaya kenen?" (Ada apa kak? Apa ada sesuatu sampai datang mendadak seperti ini?) tanyaku.

"Run! Sira lagi nganggur? Gelem beli tak jak kakang dolan ning suatu tempat?" (Run! Kamu sedang menganggur? Mau tidak Kakak ajak kamu main ke suatu tempat?) Kang Warkam balik bertanya.

Aku diam untuk beberapa saat, karena merasa heran dengan kedatangan dan heran karena tiba-tiba mengajak ke suatu tempat.

"Mendi kang? Apa ana kerjaan?" (Kemana Kak? Apa ada kerjaan?) tanyaku lagi.

"Wis! Melu bae!" (Sudah! Ikut saja!) pinta Kang Warkam.

Aku tertunduk sesaat, memikirkan apa dan kemana.

Tetapi, aku tak bisa menolak ajakan Kak Warkam dan segera pamit sama anak dan istri.

Saat ditengah perjalanan, akhirnya kak Warkam bercerita tentang maksud dan tujuannya mengajakku.

"Run! Weruh bu Ijah?" (Run! Tahu bu Ijah?) tanya kak Warkam.

"Weruh! Tanggane Kakang sing sugih kah, ya?" (Tahu! Tetangga kakak yang kaya, kan?) ucapku.

"Kakang dipai weruh ning kaen, lamon pengen sugih, kudu teka ning tempat P (nama tempat disamarkan) " (Kakak dikasih tahu sama dia, kalau mau kaya, harus datang ke tempat P) jelas Kang Warkam.

"Terus, ning kana ana apa? Emang ana apa ning kana bisane gawe sugih?" (Terus, disana ada apa? Memang ada apanya sampai-sampai bisa membuat kaya?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

"Ngepet!" jawabnya sambil berbisik.

"Ngepet?" tanyaku kaget, "Apa Kakang yakin pengen mengkonon?" (Apa kakak yakin mau melakukan itu?) tanyaku lagi, meyakinkan.

"Emange sira ora gelem?" (memangnya kamu gak mau?" tanya balik kang Warkam.

"Melu dikit baelah!" (Ikut saja dulu!) jawabku dengan nada kesal.

"Ya wis baka bli gelem! Tenang bae, engko kakang sugih, sira gah melu seneng!" (Ya sudah kalau tidak mau! Tenang saja, kalau Kakak kaya, kami juga ikutan senang!) seru kang Warkam dengan senyuman mengembang.

Aku terdiam, balas senyum ragu kepadanya.

Sambil sesekali menganggukan kepala.

Tak lama setelah obrolan didalam bus sambil bisik-bisik agar tak didengar orang, tibalah kita ke tempat yang dituju.

Kita berjalan menelusuri jalan setapak dan mendekati tempat keramat yang masih rindang pepohonan.

Disepanjang perjalanan, kita berdua terus-menerus dilihat oleh sekelompok monyet yang kerap loncat kesana-kemari.

Agak takut juga, kalau tiba-tiba monyet-monyet tersebut menyerang.

Tetapi, kang Warkam tak menggubris para monyet itu.

Saat sudah masuk ke tempat keramat, ada seorang kakek berjenggot putih dengan pakaian serba hitam yang menyambut kedatangan kita.

"Punten kih mbah! Tujuane kita wong loro mene ...." (Permisi nih mbah! Tujuan kita berdua kesini ...) ucap kak Warkam yang kata-katanya langsung dipotong oleh kakek tersebut. Sebut saja mbah Raksa, selaku juri kunci di tempat ini.

"Saya tahu maksud dan tujuan kalian datang kemari! Pakai bahasa indonesia saja, mbah tidak mengerti, hahaha" ucapnya diiringi tertawa, "Kalian mau kaya, kan?" ucapnya lagi memejamkan kedua mata sambil menyisir jenggot putihnya dengan jari-jemari.

"I-iya, Mbah!" jawab kang Warkam dengan nada sedikit terbata.

Aku hanya diam, sambil sesekali melihat area sekeliling dan masih takut, kalau ada salah satu monyet akan menyerang.

"Hayo! Ikuti aku!" seru mbah Raksa.

Dia memutar badan dan mulai berjalan.

Dan kami pun berjalan mengekor mbah Raksa.

Tiba disalah satu bangunan yang ada ditempat tersebut, kita pun dipersilahkan untuk masuk.

Sampai didalam, mbah Raksa pun duduk bersilah sambil menyuruh kita duduk.

Sedangkan aku sendiri, tak hayal memandangi setiap jengkal tempat tersebut.

"Aku mau tanya! Hubungan kalian berdua itu apa?" tanya mbah Raksa.

"Teman mbah!" jawab kang Warkam yang ingin mendahului jawabanku.

Aku tak mengerti maksud dari kang Warkam mengatakan hal tersebut dan hanya memilih diam.

"Lalu kedatanganmu?" tanya mbah mengagetkanku yang tengah melihat-lihat tempat tersebut.

"Kedatanganku cuma mengantar saja," jawabku singkat, sambil mata masih menelisik ke segala penjuru.

"Oh ya sudah. Kalau begitu, kamu tunggu disini!" pinta mbah Raksa.

"I-iya, Mbah!" jawabku patuh.

Mereka berdua berdiri dan berjalan memasuki sebuah ruangan.

Aku yang penasaran, bangkit dari tempat duduk disaat keduanya sudah memasuki ruangan tersebut.

Diluar ruangan tersebut ada jendela kaca, namun ditutup dan bagian dalamnya di tutup kain hordeng.

Namun, masih ada cela untukku melihat kedalam ruangan itu dan bisa melihat apa yang mereka lakukan.

Aku melihat keduanya duduk berhadapan dengan posisi bersilah.

Keduanya pun memejamkan matanya.

Si mbah mulai komat-kamit sambil menggerakan kedua tangannya dengan posisi mata masih tertutup.

Ritual pun, mulai dilaksanakan ....

Aku langsung kembali ke tempat duduk, karena takut terjadi apa-apa bila ketahuan mengintip ritual yang sedang mereka lakukan.

Tak berselang lama, keduanya pun keluar dari ruangan tersebut.

Namun aneh, kak Warkam nampak begitu berbeda.

Pandangan matanya kosong dan sesekali menatapku yang sedang duduk. Namun, kembali membuang padangannya dan melihat lurus kedepan dengan tatapan kosong.

"Benar, kamu tak mau?" tanya mbah Raksa mengagetkanku yang tengah mengawasi kak Warkam.

"Tidak mbah! Memang sedari awal kedatanganku hanya untuk mengantar!" jelasku tegas.

"Ngapain masih duduk? Ayo berdiri dan pulanglah!" pinta mbah Raksa.

Aku langsung berdiri dan kak Warkam langsung berjalan menuju pintu.

Sehabis bersalaman, aku menyusulnya dari belakang.

Pintu dibuka, kang Warkam keluar.

Saat aku hendak keluar, tiba-tiba mbah Raksa kembali bertanya,

"Kalau kamu berubah pikiran, jangan sungkan untuk datang kemari!"

Aku menjawab dengan anggukan dan menutu pintu.

Mbah Raksa tak ikut keluar.

Mungkin, masih ada suatu hal yang ingin dia lakukan.

Disepanjang perjalan pulang, kak Warkam memilih diam.

Aku pun tak berani bertanya perihal apa yang telah terjadi.

Singkat cerita, sampailah didepan rumahku.

Aku membuka pintu sambil berucap,

"Ora mampir dikit, Kang?" (Tidak mampir dulu, Kang?)

Kak Warkam hanya diam. Tetapi, dia tersenyum.

Senyuman yang membuatku heran dan langsung berbalik badan dan dia pun berjalan pulang.

"Aneh!" gumamku dalam hati.

Sehabis menutup pintu, aku langsung masuk dan hendak pergi ke kamar.

Namun langkahku sempat terhenti, saat sampai diruangan yang ada televisinya.

"Sing endi bae, mas? Sedina deg ora balik?" (Darimana saja, mas? Seharian gak pulang?) tanya istriku, Jamilah.

"Tes nganter kang Warkam," (Habis mengantar kak Warkam,) jelasku.

"Nganter mendi?" (Mengantar kemana?) tanya Jamilah ingin tahu.

"Wis, ora usah weruh!" (Sudah, tak usah tahu!) jawabku singkat, "Mase pegel, pengen turu!" (Masnya lelah, mau tidur!) lanjutku berucap dan memasuki kamar.

Sampai didalam kamar, aku langsung merebahkan anggota tubuh dan tak menunggu waktu yang lama, aku pun tertidur.

"Mas-Mas! Tangi! Mas!" (Mas-Mas! Bangun! Mas!) seru Jamilah yang mencoba membangunkan aku dari tidur.

Karena masih ngantuk berat, aku pun tak menghiraukannya.

"Mas ... Tangia! Prapto ninggal!" (Mas ... Bangunlah! Prapto meninggal!) ucap Jamilah membuatku kaget.

Seketika aku terbangun dan langsung duduk menatap Jamilah.

Air matanya mengambang dan sesekali membasahi pipi.

"Hah? Prapto ninggal?" (Hah? Prapto meninggal?) tanyaku kaget sambil memegang kedua pundak Jamilah dan sesekali menggoyangkan tubuhnya, karena merasa tak percaya.

"Iya mas! Ninggal," (Iya mas! Meninggal,) jawab Jamilah tersedu.

"Ninggale kenang apa?" (Meninggalkan karena apa?) tanyaku dengan nada tinggi.

"Milae ora weruh, mas! Ayu sing mai weruh!" (Milanya tak tahu, mas! Ayu yang ngasih tahu!) jelas Jamilah, "Kah! Bocae gah ana ning ruang tamu!" (Tuh! Anaknya juga masih ada diruang tamu) sambung Jamilah.

"Ayu tanggane kang Warkam?" (Ayu tetangganya kak Warkam?) teriakku.

"Iya, mas!" jawabnya singkat.

Kita langsung berdiri dari tempat tidur tuk menuju ruang tamu dimana Ayu berada.

Lalu kita semua, termasuk anakku yang masih kecil keluar rumah dan pergi menuju ke kediaman kak Warkam.

Prapto adalah anak kak Warkam.

Dia anak semata wayang.

Prapto sudah bersekolah dan duduk dibangku kelas 4.

Sedangkan anakku bernama, Suci. Umur Suci masih 5 tahun.

Kita langsung bergegas menuju rumah kak Warkam yang jaraknya tak begitu jauh. Hanya berbeda Rt saja.

Kita tiba dirumah kak Warkam dan sudah ramai lalu lalang orang bertakziah atau melayat.

Suara isak tangis memecahkan telinga.

Aku pun ikut menangis dan tak percaya, kalau Prapto telah tiada.

Padahal, belum memasuki rumah dan belum melihat Prapto secara langsung.

Setelah masuk kedalam rumah, Jamilah langsung lari mendekati jenazah Prapto.

Sedangkan aku berhenti, tak mengikuti Jamilah. Karena melihat sesuatu yang tak masuk di akal.

"Sing bener bae? Masa anake ninggal, sing dadi bapane ora sedih ora apa?" (Yang benar saja? Masa anaknya meninggal, yang jadi ayahnya tidak sedih sama sekali?) tanyaku dalam hati.

Benar-benar aneh!

Sifatnya berubah drastis semenjak pulang dari tempat yang bernama, P itu.

Padahal kan, Prapto anak kesayangan dia, anak semata wayangnya.

Tetapi, aku memilih diam dan tak menegur kak Warkan.

Karena kalau aku tegur, pastinya rumah ini akan menjadi sangat ramai.

"Kesal ... Kesal ...!"

Aku terus menahan kekesalanku dan berjalan mendekati Jamilah.

Lalu, aku membisikan sesuatu kepadanya,

"Bapak macem apa iku? Benere sedih, kuen si meneng bae kaya patung!" (Ayah macam apa itu? Bukannya sedih, malah diam saja kaya patung!)

"Ngomong apa si, mas? Sing paling sedih ning kene kuh, ya kang Warkam!" (Ngomong apa si, mas? Yang paling sedih disini tuh, ya kak Warkan!) jelas Jamilah balik berbisik.

"Heh?" tanyaku heran, "Mila! Sira kan weruh, sing awit balik lagi kaen, kang Warkam kuh dadie sejen?" (Mila! Kamu kan tahu, sewaktu pulang dari sana, kak Warkam tuh jadi berbeda?) timpaku kembali berbisik.

Bersambung ... .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status