Tersadar Ridwan pun mengejar Mila kembali ke rumah kosnya. Tepat di saat ia tiba, Mila sudah mulai menutup pintu pagar. Ridwan pun menocba untuk menahan, “Mil, tunggu dulu, kita harus bicara!” Mila pun melengos dan berkata dengan ketus, “Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, sekarang udah malam!” Namun Ridwan tampak berusaha untuk mendorong pintu pagar Mila. Dengan sekuat tenaga tangan Mila pun balas mendorong agar Ridwan pergi dan membatalkan niat untuk datang ke tempatnya. “Apa kamu nggak punya aturan? Jam segini waktunya istirahat!” Saat ini Ridwan melepaskan tangan dan berkacak pinggang, “Oh, kalau aku yang bertamu kamu bilang udah malam. Sedangkan kalau dia yang bertamu kamu terima? Mentang-mentang dia orang kaya dan memiliki mobil bagus, maka kamu dengan semena-mena membedakan antara aku dan dia?” “Kamu salah Ridwan. Ini sudah malam, lagipula Pak Radit sudah pulang dari tadi, dan kamu jam segini masih saja berada di depan pagar. Bukankah ini semakin malam?” balas Mila. “Ka
Mila menghembuskan napas panjang, kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Ridwan. Ia tidak mau mendengar apapun lagi dari laki-laki itu. Meskipun sebenarnya ia menebak kalau Ridwan memiliki perasaan terhadapnya, tapi itu tak ada gunanya. “Lebih baik kamu pulang dulu! Aku nggak enak sama yang lainnya!” “Mil,” panggil Ridwan. “Pulanglah Rid!”pinta Mila sekali lagi. Tanpa menunggu persetujuan Ridwan Mila langsung menutup pintu pagar dan berbalik meninggalkannya pergi. Mila masih bisa mendengar bagaimana Ridwan meneriaki namanya untuk meminta maaf. Namun sekali lagi, Mila tidak mau menoleh sedikitpun ke arah Ridwan. Ia malah berpura-pura untuk tidak mendengarkan apapun. Mila pun langsung menuju kamar tidurnya dan meletakkan hadiah yang diberikan oleh Radit. Setelah itu, ia pun menuju dapur dan segera mengurus makanan dari Radit. Mila pun membagi makanan yang diberikan Radit kepada ibu kos dan juga teman-teman sesama penghuni kos. Walaupun dia tidak akrab dengan mereka, tapi tak
“Mila … Mila tunggu dulu!” seru Ridwan begitu melihat Mila sudah mengenakan jaket hoodienya dan bersiap meninggalkan area SPBU.“Mil, kamu mau kemana? Ayo ikut!” ajaknya setengah memaksa begitu mendapati Mila. Kali ini ia bahkan lebih berani dan meraih tangan Mila, tak peduli kalau mereka saat ini masih berada di tempat umum.Mila ternganga melihat apa yang dilakukan oleh Ridwan. Berani sekali dia meraih tangannya diam-diam. Sedetik kemudian Mila tersenyum dan melepaskan tangannya secara perlahan, “Ini masih di tempat kerja,” tolaknya secara halus.“Oh, iya Mil, aku sampai lupa dengan hal ini,” jawab Ridwan malu-malu.Mila hanya menanggapi dengan senyum kemudian berpamitan untuk pulang ke kos karena ia harus mengerjakan sesuatu. Namun baru selangkah ia sudah ditahan oleh Ridwan, Mil tunggu dulu. Aku mau bicara.”“Kamua mau ngomong apa?”“Kita nggak bisa omongin di sini!”Mia mengerutkan alis, “Kenapa?”“Ini soal semalam. Maksudku kita harus membicarakan masalah kemarin. Mmm kemarin ad
Kali ini Ridwan langsung merebahkan dirinya di atas kasur tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Ia mengingat-ingat kembali pertemuan dan upayanya untuk mendekati Mila. “Huft! Kenapa aku nggak dengarkan kata hati dari kemarin,” gumamnya sendirian sambil menatap langit-langit kamar tidurnya yang warnanya mulai menguning. Saat ini ia sangat menyesal telah menyukai Mila dan mempertahankan dirinya. Menganggap perempuan itu adalah sosok yang berbeda. Harusnya ia tahu kalau perempuan seperti Mila bukan gadis yang akan memilihnya sebagai pendamping hidup. Dia dikaruniai wajah yang cantik, dengan kulit yang putih bersih seperti batu pualam. Rambutnya panjang sebahu dan hitam legam. Ditambah lagi tubuhnya yang ramping dan memiliki lekuk tubuh sempurna. Dari segi usia juga terlihat masih sangat muda, mungkin lebih muda darinya yang masih 23 tahun. Saat melihatnya tak akan ada yang percaya kalau dia adalah seorang ibu dari satu anak perempuan. Fisiknya sama sekali tidak menunjukkan dia
Radit mengemudikan mobil SUV nya menuju rumah kos Mila dengan penuh kepanikan. Sejak bertemu dengan ibu kandung Kinan ia selalu merasa dirinya harus berbagi tentang keadaan anak itu pada Mila. Meskipun Mila sengaja untuk memberikan anak itu kepadanya untuk diasuh. Namun sebagai seorang ibu, dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa sayangnya sebagai seorang ibu. Wajah Radit terlihat ditekuk sambil menggenggam kemudi. Berulang kali ia harus menghembuskan napas panjang untuk bisa bersabar. “Lagi panik, tapi jalanan tidak bisa diajak kompromi,” keluhnya sambil memperhatikan jalan. Saat ini Radit tampak tidak sabar untuk tiba di kos ibunya Kinan. Sayangnya situasi jalanan yang harus dilewati tidak sesuai dengan harapannya. Jalan menuju ke tempat Mila sedang ada perbaikan tiba-tiba sehingga ruas jalan pun menyempit. “Huft!” keluh Radit kemudian menyisir rambutnya ke belakang, hingga akhirnya ia pun terpaksa berbelok ke kiri untuk mencari jalur alternatif agar cepat sampai pada tuj
“Kamu tenang aja sayang, aku pasti akan bahagiakan kamu. Aku nggak akan membiarkanmu menjadi bulan-bulanan orang lain, seperti itu!” seru Fajar sambil mengangkat dagunya dan mengarah pada Radit. “Janji ya sayang, kalau kita nikah nanti kamu harus tunjukin kalau bisa kasih anak ke aku!” Naura merajuk sambil mempererat pelukannya pada Fajar. Sengaja Naura menyindir Radit dengan harapan mantan suaminya itu pergi dan berhenti untuk mengganggu kesenangannya. “Pastilah sayang. Kemarin kan kita udah periksa kalau kita berdua sama-sama subur, apalagi aku juga masih muda, pasti lebih kuat donk!” tambah Fajar. “Tuh! Kamu udah dengar kan Mas, kalau laki-laki yang aku idamkan itu yang seperti ini. Seorang laki-laki yang bisa membahagiakan pasangannya bukan mempermalukannya!” tegas Naura sambil menunjuk ke arah Radit. Setelah itu mereka berdua pun tertawa begitu lantang sambil menatao Radit dengan tatapan yang meremehkan. Begitu banyak kalimat-kalimat buruk yang dilontarkan oleh Naura dan juga
“Kinan gimana, le?” tanya Bu Wuri saat melihat Radit menikmati sarapannya pagi ini. Kedua matanya masih sedikit merah karena kurang tidur, atau mungkin juga memikirkan nasib perasaannya sendiri. Pertemuan dengan Naura semalam benar-benar terasa menyesakkan bagi dirinya. Ia tak henti bertanya pada diri sendiri kenapa Naura bisa bertingkah sebegitu liarnya. Seharusnya Naura malu dengan perbuatannya, apalagi ia juga telah mencoreng nama baik ayah Naura. Meski mereka sudah bercerai, tapi Radit tetap saja menaruh rasa hormat pada ayah dan ibu Naura, bagaimanapun juga mereka adalah orang tua yang layak untuk dihormati. Malam itu ia benar-benar kalut sampai harus merenung cukup lama. Setelah memergoki Naura, ia hanya duduk di balik kemudi cukup lama, sampai akhirnya saat melewati rumah kos Mila, kondisi sudah sepi, dan tak mungkin baginya untuk menekan bel karena tak ingin menggangu kenyamanan penghunu lainnya. Saat itu Radit memaki dirinya sendiri yang terlalu meratapi Naura sampai-sa
Dengan langkah gontai, Mila pun berjalan menuju tempat kosnya. Ia masih ingat bagaimana teman-teman seprofesinya menatap dirinya dengan perasaan jijik seolah ia adalah seorang pesakitan. Berulang kali Mila menengok ke belakang dan yang ia lihat masih sama. Semua yang tidak sedang bekerja tampak melirik Mila dengan pandangan yang meremehkan. Bahkan ada juga yang masih menunjuk ke arahnya sambil bicara dengan rekan kerja yang berdiri tak jauh darinya. “Apa yang telah aku lakukan pada mereka. Apakah masa laluku ini mengganggu pekerjaan mereka?” tanya Mila dalam hati. Mila berpikir apa ada orang yang telah membuatnya dipojokkan seperti ini? Ia pun menghembuskan napas panjang dan berkata pada dirinya sendiri, apa mungkin Ridwan yang menyebarkan berita ini? Bukankah selama ini hanya Ridwan saja yang mengerti tentang kehidupan pribadinya. Ataukah mungkin Pak Radit yang telah menyebarkan cerita ini agar ia mau bekerja di rumahnya. Mila terus saja memikirkan siapa yang telah menyebarkan b