"Mas, aku nggak bisa datang kali ini. Terserah nanti keputusan pengadilan bagaimana, aku ngikut," tulis Naura pada pesan w******p Radit kemudian meletakkan ponsel pada pangkuannya. Radit memandangi layar ponselnya sekali lagi. Tak lagi ada rasa kecewa dengan penolakan dari Naura. Ia sudah tahu kalau saat ini dia bukan lagi prioritas utama bagi wanita berdagu belah itu. "Ya, tak apa. Terima kasih," balas Radit singkat. Naura yang menerima pesan dari Radit hanya bisa termenung karena terkejut. Walaupun sudah tak ada rasa cinta untuk mantan suaminya, tapi ia tak suka dengan tanggapan yang diberikan untuknya. “Hah, gitu aja?” gumam Naura. Harga diri yang tercipta karena kecantikan yang dimiliki membuat Naura memprotes apa yang dikatakan oleh Radit. Menurutnya, sang mantan suami seharusnya bertanya kenapa ia tak bisa datang. Bukannya dulu Radit begitu mencintainya? Apa semudah ini mantan suami melepaskannya? Memangnya kalau sudah pisah dengan Naura akan mudah mendapatkan wanita lai
Permohonan talak Radit akan Naura pun dikabulkan atas putusan vertex. Radit pun menyanggupi untuk membayar iddah Naura sebanyak enam bulan nafkah. Mahligai rumah tangga yang dibangun delapan tahun lamanya itu pun kandas sudah. Meski sangat disayangkan, tapi tak ada lagi kesedihan yang bisa ditunjukkan oleh Radit. Ia menanggapinya dengan sikap yang datar, melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. “Mungkin lebih baik seperti ini, untuk kebahagiaan bersama,” batin Radit sambil menghembuskan napas panjang. “Pak Radit, maaf saya tidak tahu bagaimana harus bersikap kali ini. Sebagai seorang profesional, saya cukup puas karena sidang kali ini tidak alot dan berjalan lancar. Namun saya juga ikut prihatin dengan apa yang menimpa klien saya,” ucap Pak Wandi, pengacara sambil menepuk pundak Radit, dan membesarkan hatinya. Radit hanya tersenyum getir, kemudian berkata, “Tidak apa-apa Pak. Yang meminta bantuan Bapak agar perceraian ini berjalan lancar juga saya. Sekali lagi terima kasih karena su
Kedua telapak tangan Bu Fatma terbuka lebar, satu per satu jemarinya pun ditekuk seperti sedang menghitung angka. Seratus juta itu jumlah yang begitu fantastis dan ia sangat tidak sabar untuk menerima uang itu segera.Kemudian ia pun berpikir sejenak membayangkan tentang rumah yang ditinggali Radit. Lokasinya memang sedikit ke pinggir kota, tapi termasuk kawasan menengah atas. Menurut kabar yang didengar, harga tanahnya per meter saja sekitar 8 juta. Kalau tidak salah, luas tanah Radit 140 meter, dijual harga tanah saja sudah lebih dari satu miliar. Bagaimana jika ditambah dengan harga bangunannya. Ah setidaknya nanti Naura akan mendapatkan lebih dari lima ratus juta.Ah lima ratus juta, itu angka yang tidak sedikit. Jika uang itu sudah di tangan pastinya ia akan menjadi seorang jutawan yang sangat disegani, terutama bagi kumpulan ibu-ibu arisannya.Bu Fatma memang bergabung dengan kelompok arisan dengan istri pensiunan pegawai pemerintah. Sayangnya Bu Fatma bukan berasal dari golong
Bu Fatma tampak berpapasan dengan suaminya saat hendak masuk ke dalam kamar. "Ya ampun Bapak bikin kaget aja," seru Bu Fatma dengan sedikit terlonjak dan memegangi dada. "Lah kenapa Bu, seperti dikejar setan aja," sindir Pak Rustam, suaminya. "Nggak kok Pak.” Wanita tambun ini kembali memperhatikan penampilan suaminya. Kali ini sang suami mengenakan kemeja dan celana kain yang sudah disterika licin. “Bapak mau pergi kemana? Kok kelihatannya rapi banget?” "Diajak Pak Bambang nawarin tanah, lumayan kalau laku, bapak dapat bagian." "Oh iya Pak, ati-ati. Mudah-mudahan lancar." Pak Rustam pun mengulurkan tangannya untuk disambut istrinya. Seperti biasa wanita tambun itu pun mencium punggung tangan suaminya, tapi tak pernah mau kalau dikecup keningnya. Padahal kegiatan yang terlihat sepele ini justru mempererat hubungan antara suami dan istri. Namun Bu Fatma selalu menolak dengan alasan sudah tua nggak pantas begituan. Tak berapa lama, Pak Rustam pun pergi meninggalkan rumah men
Sejak Mila mengusirnya hari itu dari rumah Kos. Ridwan pun mulai tidak tenang dalam mengerjakan pekerjaannya.Ia seperti kehilangan konsentrasi dan semangat bekerja. Perangainya berubah sejak saat itu. Seringkali Ridwan kedapatan melamun di tempatnya bekerja. Bahkan yang lebih parah, pernah dalam satu hari seorang pelanggan harus berteriak untuk meminta bantuannya mengisi bahan bakar. Tentu saja karena Ridwan melamun sampai tidak tahu ada customer yang datang. Untung saja pelanggannya saat itu tidak mengajukan komplain atau memviralkan perilakunya. Jika itu terjadi ia bisa kehilangan pekerjaan. Sepertinya Mila benar-benar merubah kehidupannya. Mila telah memenuhi otak dan hatinya sejak belakangan ini. Dia bukan pertama kali menyukai seorang perempuan, tapi sudah berulang kali. Namun baru kali ini ia merasakan hal yang berbeda.Ia benar-benar tidak siap untuk kehilangan seseorang yang belum sempat ia miliki. Belum juga menjalin hubungan spesial dengan Mila, tapi ia sudah merasak
Pemandangan di hadapan Mila benar-benar membuatnya tidak tahan. Bayi mungil yang sekarang ada dalam gendongan Bu Wuri seolah memanggilnya dan memintanya untuk digendong. Mila tampak berusaha untuk menahan diri, tapi semakin lama ia semakin tidak tahan untuk tidak menggendong Kinan. Naluri keibuannya terus mendorongnya untuk menunjukkan kasih sayang sebagai seorang ibu. Jujur saja Mila sangat merindukan bayi mungilnya yang sudah tiga bulan ia tinggalkan bersama Pak Radit. Tanpa sadar Mila pun berdiri lalu membungkuk mencoba untuk mengambil bayi yang berada dalam dekapan Bu Wuri. Sayangnya, saat tangan Mila sudah mendekati Kinan dan raut wajah bayi mungil itu pun begitu cerah, Bu Wuri pun berdiri dan membuat jangkauan tangan Mila semakin jauh pada bayinya. Wanita berkaca mata itu seakan tidak ingin kalau Mila menyentuh Kinan. Radit yang melihat hal ini pun langsung tak enak hati dan ingin bicara pada ibunya. Namun sayang, wanita paruh baya itu langsung berkata pada Radit, “Radit,
Matahari belum juga terbit, langit masih menampakkan semburat kuning kemerahan. Naura pun berdiri di depan pintu rumah dan membuka kunci rumah secara perlahan. Saat di dalam rumah ia pun mencincing sepatunya agar tak menimbulkan suara. Tentunya ia takut kalau ayahnya sudah bangun, karena seperti biasa saat subuh ayahnya akan pergi ke masjid untuk sholat. Jika sampai ayahnya memergoki dirinya baru pulang, sudah pasti akan didamprat habis-habisan. Namun baru saja beberapa langkah, tiba-tiba lampu ruang tamu pun menyala dan ia mendapati ayahnya sudah berdiri di samping dinding dan posisi tangannya masih memegang saklar. Naura melihat ayahnya memandangnya dengan tatapan yang tajam dan penuh kemarahan. Saat itulah Naura sadar kalau dia tidak baik-baik saja. “Kamu masih ingat punya rumah di sini?” tanya Pak Rustam dengan suara yang tegas. Seketika wajah Naura pun pucat, ia langsung menunduk dan tak berani menatap ayahnya. “Mmm maaf Yah, Naura lembur, dan ini baru selesai.” Pak Rust
.Meihat Naura yang langsung naik ke atas, Bu Fatma pun bergegas untuk menyusulnya. Ini tidak bisa dibiarkan, putri kesayangannya itu tidak boleh hidup sengsara setelah bercerai. Saat masih menjadi istri Radit kehidupannya cukup susah, sempat menjadi tulang punggung beberapa bulan. Belum lagi tekanan batin dari sekitar yang menyakitkan bagi Naura. “Naura sayang, kamu nggak bisa diam saja menanggapi hal ini!” seru Bu Fatma dari celah pintu yang belum tertutup. Naura mendengkus kesal, “Apa lagi sih Bu! Naura kan sudah bilang kalau itu nggak mungkin. Udah deh Bu, Naura capek!” Namun Bu Fatma tak peduli. Wanita ini justru terus bersikeras agar Naura menuntut pembagian harta gono-gini. “Naura! Dengarkan perkataan ibu nak, kamu harus menuntut hakmu. Kami harus mendapatkan pembagian dari rumah Radit.” Wanita tambun itu berhenti sejenak dan berkata lagi, “Naura, ibu sempat bertemu Radit di sidang kedua perceraian kalian. Dia mengatakan rumah itu akan dijual, dan kamu harus mendapatkan sete