Share

4. Hari Yang Sial

Wanita paruh baya itu mengangkat dagunya dengan bangga setelah menyatakan argumennya barusan. Namun Naura merasa risih dan seperti tertampar dengan sikap ibunya itu dan memprotes,"Ma, tapi kan,—"

"Naura benar Ma," jawab Pak Rustam tegas.

"Pokoknya Mama nggak mau tahu, rumah itu ada hak nya Naura!" Bu Fatma bersikeras.

Bu Fatma memang keras kepala. Jika sudah berkeinginan maka harus terlaksana. Tentu ini membuat suaminya, Pak Rustam dan putri semata wayangnya Naura merasa malu.

"Naura, ingat nggak waktu suamimu yang nggak berguna ini jadi pengangguran? Siapa yang bayar listrik, air belum kalau ada genteng bocor, itu pakai uang kamu kan, berarti ada hak kamu donk di sana!" seru wanita paruh baya ini bersikeras.

"Tapi, Ma,—"

"Nggak ada tapi-tapian, kamu nurut saja sama Mama. Dari dulu kamu sudah Mama suruh untuk ninggalin laki-laki nggak berguna ini, tapi apa, kamu keukeuh kan? Sekarang kamu sendiri yang tahu akibatnya, menikah delapan tahun nggak punya anak juga karena suamimu mandul."

Bu Fatma sengaja menekankan kata mandul sambil melirik tajam ke arah Radit. Membuat pria yang masih menjadi menantunya itu menunduk merasa rendah diri, walau tangannya tampak mengepal menahan emosi.

Naura sendiri menunduk, sedikit banyak ia membenarkan perkataan ibunya. Berumah tangga selama delapan tahun tanpa kehadiran seorang anak. Pengobatan Radit yang tak kunjung membuahkan hasil, sementara tekanan sosial yang selalu mengarah kalau belum punya anak pasti salahnya istri.

Semua membuatnya lelah, sampai secara tak sengaja bertemu Fajar di lift. Saling kenal, saling bercerita mengungkapkan keluhan, hingga pria berkacamata itu menjanjikan rayuan dan kehangatan padanya.

"Lalu Mama ingin seperti apa?" tanya Radit.

"Mama mau ada pembagian harta gono gini secara adil!" kata bu Fatma tegas.

"Baiklah kalau begitu, nanti biar diserahkan saja urusan ini pada pengadilan," balas Radit tenang.

"Nah gitu lebih baik," jawab Bu Fatma enteng.

"Sekarang tunggu apa lagi, cepat ceraikan anakku secara agama. Biar anakku bisa cepat cari penggantimu, pastinya laki-laki yang lebih kaya dan nggak mandul seperti kamu!" tambah Ibunya Naura.

"Ma, kenapa sih harus begitu, perceraian itu dibenci Allah!" sergah suaminya.

"Tapi boleh! Lagian anak kita nggak bahagia kok hidup sama Radit, buktinya nyari laki-laki lain," balas Ibu Naura ketus.

"Ma, apa yang dilakukan anak kita ini aib, kenapa malah didukung sih!" keluh suaminya yang akhirnya menimbulkan adu mulut diantara keduanya yang membuat Naura semakin malu.

"Sudah! Sudah!" seru Naura menengahi.

"Baik Pa, Ma, Naura. Mulai hari ini aku resmi menceraikan Naura Anindya binti Rustam Effendi. Naura aku menceraikanmu, aku menceraikanmu!" seru Radit.

"Nah gitu kek dari tadi. Sekarang kamu boleh keluar dari sini dan jangan lupa iddah buat Naura dibayar!" seru Ibu Naura mengusir Radit sambil mengarahkan tangannya ke arah pintu.

Radit pun menyalami kedua mantan mertuanya dan berpamitan. Jodohnya dengan Naura sudah berakhir hari ini.

"Mas," panggil Naura.

"Kenapa Naura?"

“Maaf.”

Radit hanya mengangguk dan menuju mobilnya. Berusaha untuk tenang dengan mengemudi tanpa tujuan jelas. Seperti yang selalu dilakukan sejak dulu setiap kali bersedih.

***

"Mila, kapan mau bayar uang kos?" tegur Bu Nuri pada seorang perempuan berbadan dua yang tengah mengelus perut besarnya.

"Maaf Bu, saya belum ada uang, boleh saya minta kelonggaran sekali lagi!" pintanya sambil menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada seraya memohon.

"Mau sampai kapan? Dua bulan kamu tidak bayar uang Kos. Kamu kira ini panti sosial?"

"Tolong saya Bu, sebentar lagi saya akan melahirkan, saya,—"

Belum sempat Mila melanjutkan kalimatnya, Bu Nuri selaku pemilik kos meletakkan jari telunjuk pada bibir Mila yang pucat.

"Kalau nggak ada uang, kamu nggak bisa kos di sini. Sudah habis kesabaran saya. Sekarang juga,kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini!" usirnya.

"Tapi Bu,—"

"Tidak ada tapi-tapian, saya kasih kamu waktu lima belas menit untuk pergi atau saya paksa sampai kandunganmu kempes!" ancam wanita berusia kisaran awal lima puluh itu.

Dengan terpaksa, Mila pun melakukan apa yang diperintahkan Bu Nuri. Menyimpan pakaiannya yang tak seberapa ke dalam tas dan pergi berpamitan. Dia paham kalau sebagai pemilik Kos, Bu Nuri berhak mengusir penghuninya, terlebih yang menunggak bayaran seperti dirinya.

Sebenarnya Mila masih ada sedikit simpanan, namun uang itu akan ia gunakan untuk persalinannya nanti. Dengan langkah gontai perempuan berambut lurus itu pun berjalan terengah-engah tak tentu arah. Kandungannya yang sudah membesar membuatnya sulit untuk beraktivitas.

Sambil menahan tangis, ia menyesali apa yang telah ia lakukan. Cinta buta yang membawanya pada kesengsaraan.

Mila yang sebenarnya anak orang berada terpaksa meninggalkan rumah lantaran memilih untuk bersama kekasihnya, Doni. Kehangatan dan rayuan Doni sungguh menghipnotis hingga mampu membuatnya menentang kedua orang tua yang tak pernah menyetujui hubungannya dengan Doni.

Kedua orang tua Mila sudah memperingatkan kalau Doni bukan laki-laki yang baik dan itu benar terbukti. Doni meninggalkan Mila dalam keadaan hamil. Malu untuk kembali, Mila pun memutuskan untuk menjual perhiasan dan menghabiskan uang tabungannya untuk biaya hidup karena tak ada perusahaan yang mau menerima seorang wanita hamil.

"Andai saja waktu itu aku menurut, tentu tak akan seperti ini akhirnya," gumamnya penuh sesal.

Ia terus melamun sambil berjalan, sampai akhirnya sebuah mobil SUV menabrak tubuhnya. Seketika itu Semua jadi gelap.

Seorang pria berkulit kecokelatan itu pun keluar dari dalam mobil dan melihat apa yang terjadi di hadapannya sebelum massa mulai menghakimi.

"Mas! Mas! tolong bantu bawa perempuan ini ke mobil saya!" pintanya dengan suara yang bergetar.

Ia gugup, dan tentu saja khawatir kalau-kalau perempuan yang ditabraknya meninggal atau mungkin ... Tidak, ia tak sanggup membayangkan. Pria ini adalah Radit, dan ia mengakui kalau saat mengemudi pikirannya melayang ke arah lain.

"Mas, gimana sih Mas kalo nyetir, mana mbak nya lagi hamil lagi," seru seorang warga yang mulai menghakimi.

"Iya! Iya saya tahu dan saya akan bertanggung jawab," seru Radit menutup pintu belakang mobil.

Kerumunan massa itu terus saja mengoceh, memaki dan menyalahkan tindakannya yang ceroboh. Entah apa maksudnya, mungkin mengharapkan keuntungan, seperti yang biasa terjadi. Berpura-pura menjadi kerabat, meminta santunan dan menghilang di rumah sakit.

Radit yang terlihat meninggalkan kerumunan dan membawa wanita yang ia tabrak itu ke Rumah Sakit terdekat. Kali ini ia mengemudi lebih hati-hati lagi. Ada dua nyawa di jok belakang mobilnya.

Hari ini benar-benar hari yang buruk baginya, semua musibah datang dengan bertubi-tubu. Mulai dari perselingkuhan istrinya, dan sekarang ia mungkin akan menghilangkan nyawa satu atau dua orang karena lalai.

Berusaha untuk fokus pada jalanan dan korbannya. Mengesampingkan permasalahan yang tengah di hadapi sambil berharap wanita di belakang baik-baik saja berikut bayi dalam kandungannya.

"Tolong, bertahanlah!" gumamnya sambil terus mengemudi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status