Naura masih menunduk saat kembali ke ruang tamu setelah mengantar Fajar ke depan rumah dan menutup pagar. Radit suaminya masih duduk di sofa dan menoleh ke arahnya. “Duduk di sini Naura, Mas mau bicara!”
Naura mematung, tak langsung menuruti permintaan Radit, sampai suaminya harus mengulang dua kali. “Naura!” panggil Radit dengan suara yang masih lembut.
Naura langsung mengambil tempat di samping suaminya sambil melihat ke arah lantai. "Naura, sekarang Mas minta kamu jujur sama Mas!" tegur Radit lembut sambil memegang kedua bahu istrinya.
"Maafkan saya Mas."
"Naura kecewa dengan Mas? Naura cinta dengan Fajar?"
Naura hanya tertunduk dan terisak. Ia tak bisa menjawab pertanyaan suaminya. Semua terasa berat, ia tahu ia bersalah namun ia sadar kalau saat ini perasaannya untuk Radit telah pudar seiring kedekatannya dengan Fajar.
"Maaf, Mas. Seharusnya saya nggak tergoda."
"Naura bahagia?" tanya Radit santai dan malah terkesan membingungkan.
"Eh, mmm,—" Naura tampak tak bisa melanjutkan kalimatnya.
Ingin rasanya mengatakan ya ia bahagia bersama Fajar. Namun sepertinya ia takut mengatakannya, Bagaimana kalau suaminya marah?
"Fajar ingin menikahi saya Mas," jawabnya takut-takut.
"Kamu sendiri bagaimana? Mau atau tidak?" tanya Radit masih lembut berusaha untuk menahan emosi, tapi jika ia meluapkannya sekarang artinya ia kalah.
Naura diam, tapi beberapa saat kemudian ia mengangguk pelan. Radit menghembuskan napas panjang dan kembali memandang ke arah istrinya. "Kalau memang kamu bahagia, Mas akan melepaskan kamu. Kemasi barang-barangmu dan Mas akan antar ke rumah orang tuamu."
"Mas Radit,—" Kedua mata Naura berkaca-kaca entah apa yang bisa dikatakan olehnya.
"Naura, Mas minta kamu pada Papa dan Mama dengan baik, maka Mas juga harus memulangkanmu dengan baik. Terakhir kali Mas minta sama kamu, tolong kalian berdua jangan bertemu dulu sebelum masalah kita selesai."
"Mas," panggil Naura kemudian memegangi tangan Radit, tapi langsung ditepiskan dengan pelan, dan Radit kembali mengingatkannya untuk membereskan semua milik Naura.
"Aku ... Aku minta maaf Mas. Aku,—" Naura terdiam tak melanjutkan kalimatnya.
Sebenarnya Naura sudah menyiapkan jawaban khusus kalau misalnya suaminya memergoki apa yang dilakukan bersama Fajar. Naura akan mengungkapkan seluruh uneg-unegnya selama berumah tangga bersama Radit. Mengatakan betapa nyamannya ia bersama dengan Fajar
Namun reaksi yang ditampilkan oleh Radit sungguh di luar dugaan. Pria beralis tebal itu justru bersikap seolah tidak ada apa-apa, tenang dan sangat bijak.
Bingung, menyesal atau mungkin merasa bersalah. Hanya Naura sendiri yang mampu menggambarkan perasaannya saat ini.
"Mas, apa Mas nggak pengin tahu alasanku?" tanya Naura disambut gelengan kepala suami yang kini akan menjadi mantan.
Radit memandangi Naura dengan tatapan yang bersahabat. Menyentuh pundak wanita ramping itu dengan lembut dan berkata,—
"Naura, maaf aku tak ingin tahu lebih lanjut tentang hal ini. Aku hanya tahu kalau kamu terlihat nyaman bersamanya."
"Kenapa, Mas?"
Radit hanya menghela napas panjang mendengar pertanyaan Naura. Jangan ditanya bagaimana perasaannya saat ini, tentu saja hancur sehancur-hancurnya. Pria mana yang tahan melihat istrinya tidur dengan pria lain di depan mata kepala sendiri.
Bukan Radit tak peduli akan istrinya. Ia hanya tak ingin hatinya semakin terluka mengetahui alasan perselingkuhan wanita berambut panjang itu.
Bagi pria berambut klimis itu, sudah jelas kalau istrinya sudah tak nyaman bersamanya. Terlihat dari bagaimana Naura tak berusaha mencegahnya mengembalikan pada mertuanya. Tak terlihat pula keinginan Naura berusaha untuk memperbaiki rumah tangga mereka.
"Naura, Mas minta maaf selama menjadi suami, Mas belum bisa membahagiakanmu."
Naura hanya memandang pria di hadapannya yang kini mulai mengangkat kopernya keluar rumah, kemudian berjalan mengekor. Setelah menyimpan koper di bagasi, Radit pun duduk di balik kemudi menunggu dirinya untuk masuk.
Sampai saat ini Naura belum juga bisa memahami sikap suaminya yang tetap tenang. Namun dari sorot mata Radit ia tahu kalau suaminya memang terpukul dengan kejadian itu. Delapan tahun pernikahan cukup membuat Naura tahu bagaimana karakter suaminya itu.
***
Kedua orang tua Naura tampak heran melihat putrinya datang dengan membawa kopor yang dulu dipakai saat meninggalkan rumah untuk menikah dengan Radit.
"Ada apa ini?" tanya Rustam, ayah Naura.
"Mmm begini Pa, kedatangan saya bersama Naura kemari karena,—" Radit menghentikan kalimatnya dan menoleh ke arah Naura sambil mengangguk dan meminta persetujuan.
"Bilang saja, Mas," ucap Naura.
Setelah menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata sejenak, Radit pun mengatakan pada kedua orang tua Naura. "Maafkan saya Pa, saya bermaksud untuk memulangkan Naura pada Papa dan Mama.”
"Jadi kalian mau berpisah?" tanya Ayah Naura.
"Maafkan saya Pa, saya telah gagal menjadi panutan untuk Naura," kata Radit.
"Tapi kenapa?"
"Mungkin Naura yang bisa menjelaskannya," jawab Radit menoleh pada Naura.
Ia tak ingin menjelekkan wanita yang sudah delapan tahun ia nikahi. Karena itulah ia ingin mertuanya mendengar dari versi putri mereka.
"Saya mencintai pria lain," jawab Naura yang sekali lagi membuat kedua orang tuanya terkejut. Keterkejutan mereka pun semakin bertambah saat Naura menceritakan kronologi kejadian hari ini.
"Apa Naura? Bisa-bisanya kamu melakukan itu. Mau ditaruh dimana muka Papa, Nak?" ungkap Pak Rustam geram sementara Naura hanya bisa diam. Saking marahnya pria itu sampai mengangkat tangannya hendak memukul Naura.
“Sudah Pa, sabar! Tidak perlu seperti ini!” ucap Radit mencegah mertuanya untuk memukul Naura. Sementara Naura menutupi wajahnya dengan kedua tangan menghindar tamparan ayahnya.
Radit pun mengambilkan air putih kemasan yang memang ada di meja dan memberikan pada Pak Rustam untuk meredam emosi. “Tenang Pa … tenang. Kita tak perlu emosi menghadapi masalah ini, nanti urusannya bisa melebar kemana-mana.”
"Nak Radit, Papa selaku orang tua Naura meminta maaf padamu. Terus terang Papa malu dengan perbuatan Naura,” kata Pak Rustam setelah merasa emosinya lebih tenang.
"Saya yang minta maaf Pa, karena saya tidak bisa menjadi seorang suami yang baik untuk Naura."
"Jelaslah Naura milih laki-laki lain. Ngapain juga hidup lama-lama sama laki-laki mandul seperti kamu," Kali ini Bu Fatma, Ibu Naura yang kurang suka pada Radit pun berkomentar.
"Maafkan saya Ma!" jawab Radit menunduk.
"Ma!" cegah Pak Rustam agar istrinya diam saja.
"Apa sih Pa. Malah bagus kan kalau mereka bercerai. Apa bagusnya Naura hidup dengan laki-laki nggak berguna ini. Lihat saja bagaimana dulu dia pernah nyusahin Naura dengan tidak memiliki pekerjaan. Kalau Naura milih laki-laki lain ya itu namanya waras."
"Tapi Ma, Naura melakukan itu saat ia masih sah menjadi istri dari Radit."
"Kalau gitu cerai saja, tapi ingat Radit! Rumah yang kalian tempati itu ada haknya Naura! " tambah Bu Fatma.
"Nggak bisa donk Ma, Mas Radit beli rumah itu kan waktu belum nikah sama Naura," cergah Naura.
"Eh Naura, yang namanya sudah nikah ya harta bersama. Lagipula dia kan dulu sempat numpang hidup sama kamu!" tambah Bu Fatma.
Wanita paruh baya itu mengangkat dagunya dengan bangga setelah menyatakan argumennya barusan. Namun Naura merasa risih dan seperti tertampar dengan sikap ibunya itu dan memprotes,"Ma, tapi kan,—""Naura benar Ma," jawab Pak Rustam tegas."Pokoknya Mama nggak mau tahu, rumah itu ada hak nya Naura!" Bu Fatma bersikeras.Bu Fatma memang keras kepala. Jika sudah berkeinginan maka harus terlaksana. Tentu ini membuat suaminya, Pak Rustam dan putri semata wayangnya Naura merasa malu."Naura, ingat nggak waktu suamimu yang nggak berguna ini jadi pengangguran? Siapa yang bayar listrik, air belum kalau ada genteng bocor, itu pakai uang kamu kan, berarti ada hak kamu donk di sana!" seru wanita paruh baya ini bersikeras."Tapi, Ma,—""Nggak ada tapi-tapian, kamu nurut saja sama Mama. Dari dulu kamu sudah Mama suruh untuk ninggalin laki-laki nggak berguna ini, tapi apa, kamu keukeuh kan? Sekarang kamu sendiri yang tahu akibatnya, menikah delapan tahun nggak punya anak juga karena suamimu mandul."
Mobil SUV itu segera berhenti di depan UGD Rumah Sakit. Dengan sigap petugas paramedis pun membawa wanita yang tertabrak itu. Kondisinya cukup parah, darah pun mulai menetes pada bagian pangkal paha wanita korban kecelakaan itu.Sambil mengacak-acak rambutnya yang biasanya klimis, Radit bersandar dan terlihat sangat cemas. Telapak tangannya terasa dingin, menunggu hasil penanganan tim medis."Maaf, Pak," tegur seorang perawat tiba-tiba mendatanginya."Ya, ada apa suster?" jawabnya."Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan, sementara bayinya harus berada di incubator. Bapak bisa menyelesaikan administrasinya.""Incubator?""Benar Bapak, karena berat badan lahir rendah dan belum cukup umur. ""Oh, ya baik-baik suster. Saya akan segera mengurus administrasinya."Radit pun segera ke kasir dan mengurus administrasi pasien atas nama Mila Ariani. Memberikan fasilitas kamar kelas satu dan melunasi semua biaya perawatannya."Maaf Mbak, apa hanya ini biaya yang harus saya lunas
“Raditya Prayoga?” gumam Mila sendirian disaat suster telah meninggalkan ruangannya. Yang lebih mengejutkan untuknya, kenapa suster mengatakan kalau laki-laki itu adalah suaminya.Nama Raditya Prayoga memang terdengar asing baginya. Ia mencoba berpikir dimana ia pernah mendengar nama itu.Mila pun memijat-mijat pelipisnya yang terasa pusing sambil mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya ingat saat itu tengah berjalan mencari tempat berteduh dan tiba-tiba semua berubah gelap.Kembali ia memperhatikan salinan tagihan Rumah Sakit yang jumlahnya tak sedikit. Biaya kamarnya saja mendekati dua juta per malamnya. Kemudian memperhatikan surat dan kartu nama Raditya Prayoga yang ia terima.Tadi ia hanya membaca suratnya sekilas, dan kini ia tahu kalau dia adalah korban kecelakaan dari pria bernama Raditya Prayoga. Mila merasa lega sekarang, karena pria yang menabraknya bertanggung jawab. Ia bersyukur dirinya tak mendapat luka serius dan bayinya selamat."Hmm sepertinya Raditya
Radit berjongkok di depan lemari, dan mengambil dokumen yang diperlukan untuk melayangkan gugatan pada Naura. Saat itulah ia menemukan album bersampul beludru merah hati.Itu album foto pernikahannya dengan Naura. Mendadak Radit lupa akan tujuannya membuka lemari. Justru memperhatikan album foto di sana dan membuka lembar demi lembar. Gambar Naura dengan riasan paes ageng dan alis tanduk kijang benar-benar mengganggu pikirannya. Sedih, tentu saja, sampai-sampai berhasil membuat matanya memerah."Kecantikan ini tak lagi bisa kupuja," gumamnya.Bohong jika Radit tak lagi mencintai Naura. Sampai hari ini hanya Naura yang mampu mengisi ruang di hatinya. Meskipun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Sungguh berat hari-harinya untuk terus berpura-pura. Namun apa mau dikata Naura sudah tak menginginkan pernikahan ini lagi.Dengan kekuatan yang dipaksakan, Radit menutup album foto pernikahan mereka. Kemudian ia menyimpan dalam sebuah kotak dan menutupnya rapat-rapat."Selamat ti
Pernyataan Radit yang tiba-tiba memang memberikan kejutan bagi Ibunya. Beliau tak mengira, hubungan putranya yang sudah berjalan selama delapan tahun dan terlihat baik-baik saja akhirnya kandas.Apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih ini hanyalah mendengarkan keluh kesah. Bersikap seperti layaknya seorang Ibu pada umumnya dan memberi ketenangan.Perlahan ia mengangkat wajah Radit yang berada dalam pangkuan. Menatap lekat-lekat wajah sang putra.Radit menatap wajah teduh di hadapannya. Wajah yang selalu memberi kedamaian untuknya dan juga saudara-saudaranya. Sosok panutan bagi mereka."Tidak bisa membimbing bagaimana Le?" tanya Ibu Wuri pada sang putra."Pernikahan Radit dengan Naura sebentar lagi berakhir Bu. Radit baru saja melayangkan gugatan cerai."Kembali wanita lanjut usia itu mengusap rambut putranya dengan lembut. Seperti yang selalu dilakukan saat anak-anaknya masih kecil dulu."Apa permasalahan rumah tanggamu tidak bisa lagi diselesai
Setelah berjalan tanpa arah yang jelas, akhirnya perempuan berambut panjang itu berhenti pada sebuah rumah berlantai dua. Rumah bercat putih yang tak terlalu mewah dan bertuliskan 'Menerima Kost'."Mungkin aku harus berada di sini sambil mencari pekerjaan. Semoga saja di sekitar sini masih ada lowongan kerja untukku," gumamnya kemudian mendorong pagar. Perempuan itu Mila, yang terpaksa meninggalkan bayi mungilnya di Rumah Sakit. Sambil menghela napas panjang dan menghitung sampai tiga dalam hati, ia memberanikan diri mengetuk pintu. "Permisi, Assalamualaikum!" serunya saat mengetuk pintu berwarna cokelat terang. Terdengar seorang berteriak 'sebentar' dari dalam dan langkah kaki menuju tempatnya berdiri. Kriet! Pintu cokelat terang itu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya, yang mungkin seumuran dengan Ibunya muncul dengan daster putih bermotif bunga biru. Wajah wanita itu tampak teduh dan penuh kasih, sangat berbeda dengan ibu kosnya yang lama."Waalaikumsalam," jawabnya sambil
Pria bertubuh tinggi ini berjalan dengan tergesa menuju ruang mediasi. Sosok wanita berdagu belah tengah duduk di kursi yang ada di depan ruangan itu. Ia tak sendiri, ada wanita lain dan seorang pria berdasi yang sepertinya seorang pengacara.Seketika itu Radit merasa sangat tidak nyaman melihat mereka. Sebenarnya bukan pria berdasi dan wanita berdagu belah itu yang membuatnya terganggu. Namun wanita paruh baya yang turut serta. Siapa lagi kalau bukan Bu Fatma. Wanta yang telah melahirkan perempuan cantik berdagu belah, Naura. Radit hanya menghembuskan napas panjang, berharap segalanya berjalan lancar. Atas nama adab dan kesopanan Radit tetap menyalami mantan mertuanya. Namun sayang, wanita itu justru menepiskan tangannya. Naura sendiri memandangnya dan tersenyum malu karena merasa tidak enak akan sikap Ibunya. "Kamu ini nggak berubah ya Radit, tetap menggampangkan masalah. Sidang pertama, malah datang terlambat," cecar Bu Fatma padanya. Pria berkulit cokelat itu menyipitkan kedu
Mila kembali merapikan pakaian dan juga riasannya di toilet uumum. Ia baru saja mengeluarkan semua ASI yang seharusny diberikan pada putrinya. Namun bagaimana lagi, keadaan saat ini tidak memungkinkan baginya merawat bayi.Mila kembali melihat ke arah cermin dan berkata pada dirinya sendiri kalau ia harus kuat. Mila tidak boleh lemah dan menyerah dengan pilihan yang telah ia buat. Semua yang dilakukannya saat ini untuk kepentingan putri cantiknya semata. Agar bayinya bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan memiliki masa depan.“Aku pasti bisa!” gumam Mila kemudian berbalik dan melangkah menuju kantor SPBU dan mengikuti wawancara untuk mendapatkan pekerjaan.Begitu dipersilakan masuk, Mila pun duduk sambil menunggu giliran. Di sana sudah ada dua orang laki-laki seumurannya yang tengah menunggu giliran. Sesekali kedua pemuda itu mencuri pandang ke arahnya dan membuatnya risih.Salah satu dari mereka pun mulai mendekat pada Mila dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, “Aku Ri