Share

Bab 2. Suara Desahan di Kamar Sebelah

Bab 2. Suara  Desahan  di  Kamar  Sebelah

=======

“Darfan! Gak boleh, gitu!” teriak ibu mertuaku.

“Maaf, Ma!  Besok aja, mudah-mudahan  besok aku  bisa selera  sama dia!”  sahut Mas Dar datar.

“Jangan sampai dia curiga, Dar! Bisa gagal semua rencana kita!”   Mbak Dina ikut berkomentar.

“Enggak akan, aku udah kasih alasan yang masuk akal. Tenang, saja.  Dia itu putri malu yang gak pernah mengenal laki-laki. Ketemu pemuda gagah  seperti adikmu ini, langsung  dia bucin tingkat dewa, hehehehe …. Dia akan takluk, tenang saja!  Aku pergi, ya!” 

“Eh, kamu bawa mobil dia juga?” Itu suara Mbak Dinda. Kakak iparku yang nomor dua.

“Iya, dong!  Mulai sekarang, kita punya mobil. Kalau mau ngerasai naik mobil mewah, besok aja, ya! Aku pergi dulu!” pamit suamiku lagi.

“Hati-hati!”

“Tenang!”

 Suara Mas Dar makin menjauh, lalu hilang  bersama deru  mesin mobilku.  Tinggalkan tanda tanya besar di benak. Apa maksudnya tak selera? Tak selera  pada  apa?   Padaku? Atau apa?  Lalu   apa maksudnya  Yati  mengancam?  Apa maksud semua pembicaraan mereka?

Kulanjutkan langkah kaki menuju kamar mandi. Meski pikiran mulai tak karuan, aku  harus berusaha untuk tetap  tenang. Nanti aku akan tanyakan semua ini saat Mas Dar sudah pulang. Begitu tekatku.

**

“Auw, tolong!” jeritku, buru-buru  beringsut  turun dari  kasur  langsung menuju  pintu kamar. Terburu  kuputar anak kunci yang tergantung. Segera berlari keluar, begitu pintu  berhasil kubuka.

“Ada apa?”

Tiga orang perempuan  dewasa   setengah berlari menyongsongku.

“Tikus! Besar!  Saya takut!”  teriakku. Lutut masih gemetar tak sanggup menahan bobot tubuh, aku terduduk di lantai dengan  lemas.

“Hemh!  Kirain mau diperkosa!  Rupanya  cuma tikus!” Mbak Dina langsung berbalik lalu pergi.

“Nggak pernah liat tikus, ya?  Holang kaya … iya lah, takut tikus!  Lebay!” Mbak Dinda mengikuti kakaknya.

Tinggal ibu mertuku,  semoga dia tak seperti kedua putrinya. Wanita paruh baya itu menatapku  dengan tatapan aneh. Tak apalah, yang penting dia tak  ikut  mengataiku.

“Kami orang miskin, Mel. Rumah ini banyak  lubangnya. Jadi  tikus-tikus bebas keluar masuk dengan bebasnya. Apalagi di malam hari. Beda  dengan rumah kamu. Temboknya megah dan kokoh. Jadi gak bakal ada  tikus yang lolos kalau menyusup,” paparnya dengan raut wajah sedih.

Sekilas terbit rasa iba. Keluarga suamiku ini memang tergolong miskin. Rumah sederhana ini jauh dari kata layak. Kuingat kandang burung papa  di rumahku. Letaknya di halaman samping, tepat di sisi kolam renang. Ukurannya lima kali enam meter. Pagarnya terbuat dari besi ulir.  Kalau dibandingkan, masih lebih bagus kandang burung Papa dari pada rumah ini.

“Maaf, Mel! Mama harap kamu bisa  maklum, ya!  Kami tidak bisa menyediakan kamu kamar  yang lebih layak,” lirih ibu mertuaku lagi.

“Gak apa-apa, Ma. Mas Dar belum pulang, ya? Saya takut  tidur  sendirian,” tanyaku  masih ketakutan.

“Sebentar lagi mungkin,  kamu masuklah ke kamar!  Mulailah membiasakan diri dengan situasi di rumah ini!” titahnya dengan nada  lembut.

Aku ragu. Bayangan tikus-tikus besar  berlarian di  kayu broti   kamar kembali melintas. Kubayangkan mereka merambat turun lalu  menggerogoti jemari kaki saat aku tertidur. Ketakutan makin mencekik.

“Kalau memang kamu gak bisa tidur  di  rumah papan dan reot  seperti ini, kamu boleh  bawa   suami kamu  untuk tinggal di  rumah mewah kamu. Sesekali, kami boleh juga berkunjung   dan nginap di  sana, nanti? Iya, kan?” usul Ibu mertuaku kemudian.

“Emh, iya, Ma.” sahutku  cepat.

“Kabarnya kalian punya rumah mewah dan besar  di  Medan Tuntungan, kan? Siapa yang nempati rumah itu?  Kenapa  tidak kalian saja yang nempati?”

Aku hanya melongo.  Bayangan tikus masih menguasai otak dan pikiran. Aku tak bisa mencerna kalimat  Mama   dengan jelas.

“Kamu dengar tidak, Mel!”

“Oh, iya, Ma, dengar!”

“Sebenarnya, kami juga risih tinggal di rumah jelek dan tak layak huni seperti ini. Tapi gimana, gak ada yang lain. Kalau kamu gak keberatan, kami ikut tinggal sama kamu dan Darfan nanti, ya?”

“I-iya,” jawabku spontan. Pikiranku masih sangat kalut. Sungguh aku tak bisa berfikir dengan jernih.

“Kamu setuju, Mel? Syukurlah. Kamu memang menantu yang baik dan sangat  pengertian. Sekarang kamu tidur ke kamar, ya! Kalau kamu masih takut, mama akan menemani kamu sampai Darfan pulang.” usulnya bersemangat.

“Makasih, Ma!”  ucapku semringah. Tentu saja aku sangat  lega.

Mama membantuku  bangkit, lalu membimbingku  kembali menuju kamar. Dia kemudian berbaring di sampingku, di ranjang pengantin yang mereka siapkan untukku.  Ranjang yang belum sempat  digunakan, sebab suamiku keburu  meninggalkanku.

Tak mengapa, mungkin hanya tertunda.  Bukankah malam ini masih sangat panjang. Saat Mas Dar nanti pulang, Ibu mertuaku akan kembali ke kamarnya.   Mas Dar pasti akan menemaniku, menuntaskan yang sempat terhenti beberapa saat yang lalu.  Melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sepasang pengantin baru. Begitu pikirku.

“Ma, kalau boleh Amel tahu, kenapa  Mas Dar berpisah dengan istri pertamanya?” tanyaku ingin tahu masa lalu suamiku.

“Hem, kamu belum menanyakan langsung pada suami kamu?” Mama mertua menoleh ke arahku.

“Belum. Kami belum sempat berbicara banyak, bukan? Kenal juga baru  beberapa hari, langsung nikah aja. Padahal Amel belum kenal betul gimana watak dan masa lalunya.”

“Hem, tidak apa-apa. Yang  pasti, Darfan itu orangnya baik dan penyayang. Kamu tidak perlu ragu, ya!”

“Iya, Ma. Amel cuma mau tahu, kenapa Mas Dar menalak istri pertamanya. Semoga surat cerainya cepat keluar, ya, Ma. Amel pengen dinikahi secara sah, bukan hanya nikah siri seperti tadi pagi.”

“Ya, semoga lancar sidang gugatannya! Sekarang tidur saja, udah malam!”

Waktu berlalu, malam kian larut. Suami yang kutunggu tak juga pulang.  Suasana sudah begitu  hening, tak  ada  lagi suara apa-apa, selain cicit tikus yang berlarian di  kayu broti  dan langit langit  rumah.  Sepertinya   Mbak Dina dan Mbak Dinda sudah lelap  beserta anak-anak mereka. Begitupun   Yati dan kedua anaknya.

Hemh, ada yang terasa janggal.  Mertuaku bilang perekonomian mereka sulit. Tetapi mereka sanggup  menggaji seorang pembantu.  Mungkinkah  Mbak Dina dan Mbak Dinda   gotong-royong membayar gajinya. Ya, bisa jadi.  Tetapi, kenapa  Yati bawa  anak dua?  Suaminya ke mana? Ah, sudahlah!  Aku baru beberapa jam di sini.  Tak perlu kucampuri semua urusan keluarga ini.

Kulirik  wanita paruh baya di sampingku, suara  dengkurnya terdengar halus.  Kupaksa pejam mata ini.  Kupaksa angan menerawang jauh dan aku terlelap bersama khayalanku.

**

“Gak mau pokoknya!” 

“Aku gak sentuh dia! Aku gak napsu sama, dia, Sayang! Ayolah!”

“Tapi tadi Mas udah sempat bersamanya, kan?”

“Iya, tapi aku belum sempat sentuh dia!”

Aku terjaga demi mendengar suara berisik  itu. Arahnya dari kamar samping.  Suara laki-laki dan perempuan.  Suara si lelaki mirif dengan suara  Mas Darfan. Kenapa suamiku ada di kamar sebelah?

****

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Adha Novita
Yati yg bawa pisau, psti sumber masalah...
goodnovel comment avatar
Ambarwati Anwar
pasti Yati itu isterinya si Darfan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status