Bab 1. Benda Tajam Di Malam Pertamaku ======= “Maaf, Mbak, pisau ini buat apa?” Aku membelalak kaget saat Yati, asisten rumah tangga masuk ke dalam kamar pengantin kami. Sebuah nampan berisi dua gelas minuman hangat beserta sebuah pisau tajam dia letakkan di atas nakas. “Buat kalian, bukankah kalian akan belah duren malam ini?” jawabnya dingin, lalu pergi setelah melirik Mas Dar dengan tajam. Aneh! Kenapa wanita itu terlihat tidak senang dengan pernikahan kami? Orang-orang memang sering menyebut malam pertama dengan istilah ‘BELAH DUREN’. Tetapi tentu saja tak perlu pakai benda tajam, bukan? “Udah, gak usah dipikirin si Yati!” Mas Dar mengunci pintu kamar lalu berjalan mendekatiku.
Bab 2. Suara Desahan di Kamar Sebelah ======= “Darfan! Gak boleh, gitu!” teriak ibu mertuaku. “Maaf, Ma! Besok aja, mudah-mudahan besok aku bisa selera sama dia!” sahut Mas Dar datar. “Jangan sampai dia curiga, Dar! Bisa gagal semua rencana kita!” Mbak Dina ikut berkomentar. “Enggak akan, aku udah kasih alasan yang masuk akal. Tenang, saja. Dia itu putri malu yang gak pernah mengenal laki-laki. Ketemu pemuda gagah seperti adikmu ini, langsung dia bucin tingkat dewa, hehehehe …. Dia akan takluk, tenang saja! Aku pergi, ya!” “Eh, kamu bawa mobil dia juga?” Itu suara Mbak Dinda. Kakak iparku yang nomor dua. “Iya, dong! Mulai sekarang, kita punya mobil. Kalau mau ngerasai naik mobil mewah, besok aja, ya! Aku per
Bab 3. Suamiku Tidur di Kamar Pembantu ======Aku pasti salah dengar. Itu bukan suara Mas Dar. Dia belum pulang. Tak mungkin dia ada di kamar sebelah. Lalu ke mana dia? Kenapa dia tega meninggalkanku di malam pertama pernikahan kami? Kalau urusan bisnis, tak mungkin hingga selarut ini, bukan?Kupaksa lagi pejamkan mata ini. Semoga aku bisa tertidur kembali. Tetapi, usahaku gagal. Suara orang berbisik-bisik kembali terdengar samar. Malam selarut ini, masih ada penghuni rumah yang terjaga. Siapa? Apa yang mereka perbincangkan?Kodisi dinding rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan suara-suara terdengar melalui celah papan. Meskipun terdengar agak samar. Sayangnya, aku tak bisa mengenali dengan pasti siapa pemilik suara itu.“Ssst! Jangan berisik, ya, Sayang! Tahan
Bab 4. Suamiku Membujuk Pindah Ke Rumahku========“Gak mungkinlah! Yati itu hanya pembantu! Ngapain Darfan masuk ke kamarnya! Kamu ada-ada aja, ah! Ayo kita kembali masuk kamar!” Mama mertua kembali mencengkram pergelangan tanganku, lalu menyeretku dengan kasar kembali menuju kamar.“Buktinya, kunci mobilku ada di kamar Mbak Yati, Ma!” sergahku berusaha meloloskan kembali pergelangan tanganku.“Itu bukan kunci mobil kamu! Kamu pasti salah lihat. Palingan juga mainan anak si Yati.”“Aku pastiin aja, Ma! Mama duluan, aja, masuk kamar!”Gegas aku berjalan ke depan. Tak kuhiraukan larangan wanita paruh baya itu. Tak perlu membuka pintu untuk melihat ke arah halaman. Dinding rumah yang
Bab 5. Kejutan Di Pagi Hari“Maaf, saya ganggu pagi-pagi, Buk!” ucapnya berjalan masuk dan berdiri tak jauh di depanku.Aroma sampho menguar dari rambut basahnya. Sepertinya dia sudah mandi, keramas lagi. Kenapa dia keramas, coba? Bukankah dia seorang janda? Bukankah aku yang harusnya keramas pagi ini? Entah kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana?“Ada apa, Mbak? Gimana keadaan Mbak Yati? Bercak-bercak merah di dada dan leher Mbak udah ada kurangnya? Kalau belum, mau kita berobat sekarang?” cecarku meneliti lehernya yang tertutup rambut basahnya.“Udah, kok, Buk. Saya gak sakit. Mereh-merah itu karena tadi malam gatal-gatal mungkin di gigit kutu kasur, jadi saya garuk. Makanya gak pake baju saya tadi malam, gatal semua. M
Bab 6. Terbongkar (Mereka Zina Atau Bukan?)“Mas, udah, dong! Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!”“Ayolah! Tadi malam tanggung! Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening, nih!”“Ya, udah, jangan lama-lama! Cepatan!”“Iya, Sayang, makasih, ya!”Kutajamkan pendengaran, beringsut pelan ke arah dinding kamar. Sela-sela berlubang antara papan lapuk dinding ini, sepertinya bisa kujadikan sarana untuk mencari tahu situasi di kamar sebelah. Mohon ampun pada Tuhan, maaf, ya Allah, bukan aku mau tahu urusan orang. Kali ini saja, izinkan aku mengintip. Sebab aku curiga,
Bab 7. Kujadikan Maduku Sebagai Babu=======“Pagi Papa! Papa sehat?” sapaku melalui ponsel. Kutelepon Papa pagi ini.Pembalasanku kepada suami durjanaku harus segera dimulai. Sengaja aku menelepon Papa di hadapan seluruh keluarga Mas Dar. Kuaktifkan pengeras suara ponsel, agar mereka bisa mendengar.“Sehat, Sayang! Gimana keadaan kamu di situ? Kamu senang, kan? Keluarga suami kamu memperlakukan kamu dengan baik, kan?” tanya Papa.“Senang, Pa. Amel bahagia banget di sini. Tapi, anu ….” Sengaja kujeda ucapanku. Itu membuat perhatian mereka sontak tertuju padaku. Sorot gelisah terpancar dari wajah-w
Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol“Sayang, kita baru aja pindahan. Kok, si Yati langsung disuruh kerja berat, gitu? Mana anak-anaknya masih kecil-kecil lagi! Kan, repot, Sayang! Kalau di rumah Mama, Mama bisa jagain anak-anaknya. Kalau di sini, gimana? Kasihan, lho!” protes Mas Dar tampak sangat tidak suka.“Lah, bukannya Mbak Yati itu pembantu kita? Tugasnya bersih-bersih, dong! Lagian, dia aku izinin, kok, kerja sambil momong anak!” sergahku. “Ayo, dong, Mas! Antarin aku!” perintahku tak peduli akan ketidak senangannya.“Sebenarnya kita mau ke mana? Masih capek, kan, Sayang? Kalau mau ngontrol peternakan, besok aja, ya! Uang penjualan gak mungkin diselewengkan oleh kasir kamu, kan?”