Bab 3. Suamiku Tidur di Kamar Pembantu
======
Aku pasti salah dengar. Itu bukan suara Mas Dar. Dia belum pulang. Tak mungkin dia ada di kamar sebelah. Lalu ke mana dia? Kenapa dia tega meninggalkanku di malam pertama pernikahan kami? Kalau urusan bisnis, tak mungkin hingga selarut ini, bukan?
Kupaksa lagi pejamkan mata ini. Semoga aku bisa tertidur kembali. Tetapi, usahaku gagal. Suara orang berbisik-bisik kembali terdengar samar. Malam selarut ini, masih ada penghuni rumah yang terjaga. Siapa? Apa yang mereka perbincangkan?
Kodisi dinding rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan suara-suara terdengar melalui celah papan. Meskipun terdengar agak samar. Sayangnya, aku tak bisa mengenali dengan pasti siapa pemilik suara itu.
“Ssst! Jangan berisik, ya, Sayang! Tahan, dong, desahannya!”
Itu suara laki-laki yang mirip suara Mas Dar. Kutajamkan lagi pendengaran untuk memastikan kecurigaanku. Namun, tak lagi terdengar apa-apa. Kulirik ke samping. Ibu mertua masih setia menemani. Suara dengkurnya terdengar halus.
Aku ingin melanjutkan tidur, tetapi tetap gagal. Kantukku hilang begitu saja.Tenggorokan terasa kering. Sebaiknya aku mencari segelas air dingin untuk hilangkan dahaga, sekaligus netralkan perasaan yang tidak nyaman. Tetapi aku takut keluar. Bayangan tikus-tikus besar berseliweran di kepala. Bagaimana ini?
Tak mungkin aku membangunkan mertua, aku harus usaha sendiri. Kuberanikan diri, semoga tak bertemu tikus di luar nanti. Beringsut aku turun, lalu berjakan menuju dapur. Sekaligus aku ingin mencari tahu, siapa yang berbisik-bisik tadi.
Namun, saat berjalan menuju dapur, suara orang berbisik telah hilang. Kini berganti dengan suara-suara asing yang tak kupaham. Aku merasa aneh mendengarnya. Seperti orang mendesah, berulang-ulang dan berirama. Lalu diakhiri dengan suara erangan panjang. Erangan yang mirip leguhan. Ya, itu suara leguhan. Asalnya dari kamar yang posisinya persis di samping kamarku.
Siapa penghuni kamar ini? Ada apa dengan dia? Sepertinya dia sedang kesakitan. Apakah dia juga yang berteriak ‘Gak mau pokoknya’ yang sempat kudengar tadi? Ada apa? Jangan-jangan dia dipaksa melakukan sesuatu yang mengancam keselamatannya. Bagaimana ini?
Aku berdiri mematung di depan kamar itu. Kamar siapa ini? Tak mungkin kamar Mbak Dina dan Mbak Dinda. Kamar mereka ada di ujung sana, mengapit kamar mama mertuaku. Lalu ini kamar siapa?
Penasaran, kutempelkan mata ini di celah pintu. Aku harus cari tahu.
“Mel! Ngapain?”
“Eh, Ma?” Aku tersentak kaget. Mama telah berdiri di belakangku.
“Ada apa kamu berdiri di depan kamar si Yati? Kamu mau ngintip apa?” tanyanya dengan sorot mata tajam. Wajahnya bahkan terlihat tegang.
“Oh, ini kamar si Yati. Aku gak ngintip, Ma? Tadi itu ada suara-suara aneh dari kamar ini!” sanggahku bertambah penasaran.
“Suara aneh gimana?”
“Anu, Ma. Awalnya saya dengar ada suara orang berteriak, lalu berbincang-bincang, terus berbisik-bisik. Nah, barusan berubah seperti mendesah desah, gitu. Terakhir malah mengerang panjang. Saya khawatir Yati kenapa-napa, Ma. Jangan-jangan dia sakit.”
“Kamu pasti salah dengar. Atau si Yati sedang mengigau karena bermimpi. Buktinya sekarang gak ada suara apa-apa, kan? Ayo balik kamar!”
“Coba kita ketuk, aja, Ma! Biar lebih jelas ada apa di dalam!” paksaku mulai mengetuk pintu kamar.
“Gak usah, Mel. Ganggu orang tidur aja! Ayo, ah!”
Mama menarik lenganku menuju kamar. Wajahnya terlihat makin tegang. Kalau memang dia tak curiga sesuatu di kamar Yati, lalu kenapa dia terlihat tegang?
“Ada apa ini?”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang perempuan keluar dan menatap tajam ke arahku. Aneh, kenapa dia tidur tidak pakai baju? Hanya sebuah sarung lusuh sebatas dada yang melekat di tubuh sintalnya. Penerangan yang samar masih mampu memantulkan bulatan-bulatan merah agak membiru di atas dada dan lehernya. Peluh bahkan belum kering di kening dan bahu telanjangnya. Mungkin dia keringatan karena menahan rasa sakit. Begitu pikirku.
“Tuh, kan, Ma! Mbak Yati sakit. Kamu sakit apa, Mbak?” tanyaku demi melihat bekas merah itu.
“Aku gak sakit!” ketusnya makin mendelik.
ART, kok galak amat, sih? Entahlah. Aku peduli padanya, tetapi dia malah membentakku, gak sopan banget, kan?
“Jangan sungkan, Mbak Yati. Aku punya cukup uang, kok, buat bawa Mbak berobat. Kalau sakit bilang aja sakit. Itu merah merah di leher kamu, harus diperiksakan, lho. Takutnya itu berbahaya. Atau jangan-jangan itu bekas digigit tikus besar itu, ya. Bisa bahaya kalau dibiarkan. Bisa kena virus! Aku antar berobat, ya?” bujukku lagi.
“Lebay, deh! Pergi sana! Aku gak sakit!”
Mbak Yati langsung menutup pintu, tapi segera kutahan karena mataku sempat melihat hal yang lebih mencurigakan di atas nakas di dalam kamarnya. Sepertinya itu kunci mobilku. Kenapa ada di kamar Mbak Yati? Bukankah Mas Darfan yang membawa mobilku dan belum pulang hingga sekarang? Lalu, kenapa bisa, coba, kunci mobilku ada di kamar ART sombong ini?
“Bentar, deh! Itu seperti kunci mobil aku! Kenapa ada di kamar Mbak?“ sergahku berusaha mendorong pintu agar terbuka lagi.
“Gak ada! Ganggu aja, sih, nih, orang kaya! Gak tau diri, banget!” teriaknya dari dalam kamar.
“Itu ada! Aku gak salah lihat! Itu kunci mobil aku!” balasku juga berteriak.
Kami masih dorong-dorongan, akhirnya perempuan itu kalah kuat. Pintu terbuka lebih lebar, pandangan spontan kuarahkan ke tempat tidur. Tak ada anak-anaknya di sana. Hanya seseorang dewasa yang menutup seluruh tubuhnya dengan sebuah selimut di atas kasur lusuh itu. Siapa dia? Lalu ke mana dua anaknya.
Duar!
Tiba-tiba pintu kamar tertutup rapat. Aku sempat tidak fokus menahan pintu karena sibuk meneliti orang dewasa yang tidur di kasurnya.
“Mbak Yati! Buka dulu! Itu kunci mobil aku, kan!” Kudorong lagi sekuat tenaga, tetapi sia-sia. Pintu sudah terkunci rapat dari dalam.
“Kamu salah lihat, Mel. Gak mungkin Yati menyimpan kunci mobil kamu. Dia gak bisa nyetir! Udahlah! Ayo kita balik kamar, Nak!” Mama mengelus pundakku.
“Aku curiga, Ma. Kunci itu persis seperti kunci mobilku! Gantungannya itu aku aku kenal betul, Ma! Terus ada orang dewasa yang tidur di kamar Mbak Yati, anak-anaknya gak ada di dalam. Aneh, kan? Siapa yang tidur bareng Mbak Yati, Ma? Lagian, ya, kok aneh banget, kamar pembantu kalian tempatkan di depan sini. Malah kamar Mama, kamar Mbak Dina dan Mbak Dinda ada di belakang. Aneh!”
“Mama dan Mbakmu memang lebih suka di kamar belakang, lebih dingin. Mengenai yang kamu lihat tadi, kamu pasti salah lihat. Gak ada siapapun di kamar itu selain dia dan anak-anaknya. Kamu salah lihat, Nak! Sudahlah! Ayo, balik kamar!” kembali Mama membujuk seraya menarik tanganku.
“Aku mau liat ke halaman dulu, Ma! Mau mastiin, mobil aku ada atau enggak. Siapa tahu Mas Dar udah pulang tapi gak ke kamar aku, malah masuk ke kamar Mbak Yati,” tolakku melepaskan pegangan tangan ibu mertuaku.
******
Bab 200. Tamat (Malam Pertama Amelia)Amelia bersimpuh di pangkuan sang Papa. Memohon doa restu dengan derai air mata haru. Daffin mengikuti berbuat yang sama.Amelia bergeser ke bangku Rahayu. Andy ada di sampingnya. Wanita itu memeluk gadis bergaun pengantin itu. Membisikkan kalimat restu dan menguntai doa sakral. Semoga pernikahan putra semata wayangnya dengan gadis ini penuh keberkahan, abadi, tanpa pernah ada lagi perpisahan.“Terima kasih Tante,” ucap Amelia surut masih dengan berjongkok. Lalu berbisik pada Daffin, pria yang baru saja menghalalkannya. “Mas, minta restu pada Tante Rahayu, ya! Juga kepada Pak Andy, papa kandung Mas Daffin. Lakukan itu, seperti Mas meminta restu pada papaku! Agar pernikahan kita ini berkah, Mas!”Daffin menatap mata wanitanya, lembut. Lalu mengangguk. Pria itu melakukan seperti yang Amelia ucapkan. Untuk pertama kalinya, Rahayu memeluk tubuh putranya. Air mata haru tak henti mengalir deras membasahi kedua pipi kurusnya. Sama harunya sepert
Bab 199. Sentuhan Karena Cemburu Daffin Di Dalam Lif“Ada apa dengan Mas Andre? Aku tahu, kok, dia dirawat di sini,” tanya Amelia penasaran.“Dia ingin bertemu kamu, tanpa Pak Daffin. Mungkin kamu bisa luangkan waktu kamu menjenguknya sebentar.” Dr. Vito mengusulkan.“Waw, Andre ingin bertemu Amelia tanpa aku? Hebat! Apa yang kalian rahasiakan dariku?” Daffin mendelik pada Amelia, pria itu kembali terbakar.“Amelia juga belum tahu, Pak Daffin. Tak ada rahasia. Tapi, Andre memang takut kalau Pak Daffin ikut,” sela Dr. Vito.“Takut apa? Dia mau mengambil Amelia lagi dariku, begitu?” sergah Daffin dengan wajah mengetat.“Bukan tentang Amelia, Pak, tapi … wah, saya tak enak mengatakannya. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau Amelia menemuinya!”“Baik, terima kasih, Vito! Aku dan Mas Daffin akan menemuinya! Antara aku dan Mas Daffin tak pernah ada rahasia. Terserah, Mas Andre setuju, takut, dan sebagainya! Ayo, Mas kita ke rungannya! Ayo, Mela! Kami duluan, ya! Dadaah, Bilqis!”Amelia me
Bab 198. Daffin Cemburu Buta“Jangan seperti anak kecil, dong, Mas! Enggak ada angin, enggak ada badai, tiba-tiba aja, Mas Daffin sewot, aku gak paham, ada apa, sih?” Amelia menahan lengan Daffin.“Gak ada! Maaf aku buru-buru!” Pria itu menepis dengan sedikit kasar. Hampir saja gadis itu tersungkur. Sebuah tangan menahan tubuhnya.“Ati-ati, dong, Om! Kacian Antenya!” Seorang anak kecil berteriak dengan lantang. “Untung dipegangi mama Iqis, kalau enggak Antenya udah jatuh! Oom dahat!” sungut bocah perempuan itu lagi. Daffin dan Amelia tersentak kaget. Keduanya menoleh ke sumber suara. Suara itu sepertinya tak asing di telinga Amelia.“Ante Amel?” sang bocah malah lebih dulu mengenalinya. “Ini Ante Amel, kan? Mama, ini Ante Amel!” teriak bocah lincah itu kepada wanita yang bersamanya.“Bilqis?” gumam Amelia seraya merunduk lalu memeluk gadis kecil itu. Daffin terpana. “Ini Mama Iqis, Ante! Mama, ini Ante Amel, temannya Papa! Iqis mau Ante Amel jadi mama Iqis, tapi kata Papa, A
Bab 197. Telepon Dari Dr. Vito“Kalau memang Om Andy dengan Tante Ayu udah ada niat menikah, gak boleh ditunda lagi! Kalau saya dan Mas Daffin, bisa kok, nunggu dulu. Pokoknya Om dan Tante aja duluan! Mas Daffin enggak suka kalau Om Andy menunda lagi, ya, Om, Tante!” kata Amelia menekankan.Kedua calon mertuanya itu saling tatap. Lalu menghela napas kasar.“Mama cepat sembuh, pokoknya! Pak Andy jangan banyak pikiran lagi! Ini, pakai untuk keperluan Bapak! Tentang biaya sekolah Klara dan Indah, jangan pikirkan lagi, sudah diurus oleh anggota saya!” tukas Daffin sembari menyerahkan sebuah kartu kredit kepada Andy.“I-ini apa, Nak?” Andy tergagap. “Ti-tidak usah, Nak Daffin, tidak usah! Bapak akan burusaha bekerja semaksimal mungkin untuk mengumpulkan biaya pernikahan. Bapak tidak mau membebani Nak Daffin!” tolaknya mendorong dengan halus di tangan Daffin.“Pakailah, mulai sekarang Bapak akan saya anggap papa saya. Setelah menikahi Mama, Bapak akan saya bawa ke kantor, bantu saya m
Bab 196. Suasana Tegang Di Rumah Sakit“Tidak perlu sungkan, Ma! Pak Andy, saya terima lamaran Anda terhadap Mama saya, kapan rencana pernikahan kalian, kalau bisa secepatnya, ya!”Tiba-tiba Daffin muncul di ambang pintu.“Daff-daffin …!” Rahayu dan Andy serentak menoleh. Wajah keduanya memucat sesaat. Tetapi langsung terang benderang begitu Daffin menyelesaikan kalimatnya.“Terima kasih, Bapak sudah menjaga mama saya sepanjang malam ini?” ucap Daffin melangkah masuk.Andy langsung bangkit, memberi ruang kepada Daffin untuk mendekati Rahayu. Daffin segera menyalam ibunya, lalu duduk di kursi itu. Senyum semringah mekar di wajah tampannya.Rahayu sadar, hari ini putranya terlihat berbunga-bunga. Ada binar di wajahnya. Bukan karena lamaran Andy pada dirinya. Ada sesuatu, entah itu apa. Apakah ada hubungannya dengan Amelia? Rahayu menerka-nerka.“Jadi bagaimana Pak Andy, kapan rencana Bapak menikahi mama? Saya mau secepatnya. Kalau bisa begitu Mama boleh pulang kata dokter, esoknya
Bab 195. Daffin Menerima Lamaran Andy Untuk Ibunya Pagi ini Andy terjaga karena gerakan di atas ranjang pasien. Rahayu menggeliat di sana. Pria itu perlahan mengangkat kepala yang dia letakkan di tepi ranjang. Persis di sisi sang pasien. “Hey, kamu sudah bangun, Sayang?” sapanya sembari mengucek mata. “Maaf, gerakanku membuat Mas terganggu. Pindah saja tidurnya ke sofa sana, Mas! Kasihan, sepertinya Mas kurang tidur beberapa malam ini,” usul Rahayu menatap iba pria yang sangat dia cintai itu. “Tidak, aku juga sudah bangun. Gimana, kamu mau ke kamar mandi, ayo, aku bantu!” “Tidak usah, Mas. Itu terlalu merepotkan kamu. Aku tunggu perawat saja.” “Tidak Rahayu, kenapa kau masih sungkan. Tolonglah, jangan perlakukan aku seperti orang asing!” “Tapi, kamu memang orang lain, kan, Mas? Kita bukan muhrim, kamu juga bukan suamiku. Aku sungkan kamu membantuku ke kamar mandi. Aku akan minta tolong perawat saja nanti.” “Aku sangat sayang padamu, Yu. Aku sangat sedih kau bicara seperti