Share

Nafkah Batin Basi
Nafkah Batin Basi
Penulis: Helminawati Pandia

Bab 1. Benda Tajam di Malam Pertamaku

Bab 1. Benda  Tajam Di Malam Pertamaku

=======

“Maaf, Mbak, pisau ini buat apa?” 

Aku membelalak kaget  saat  Yati, asisten rumah tangga masuk ke dalam kamar  pengantin kami.  Sebuah nampan berisi  dua gelas minuman hangat  beserta sebuah pisau tajam dia letakkan di atas nakas.

“Buat  kalian, bukankah kalian akan  belah duren malam ini?” jawabnya dingin, lalu pergi  setelah melirik Mas Dar  dengan  tajam.

Aneh!  Kenapa  wanita itu terlihat  tidak senang dengan pernikahan kami?   Orang-orang memang  sering menyebut malam pertama dengan istilah  ‘BELAH DUREN’. Tetapi tentu saja tak perlu pakai benda tajam, bukan?

 “Udah, gak usah dipikirin si Yati!”  Mas Dar mengunci pintu kamar lalu berjalan mendekatiku.

“Hem,” anggukku mulai fokus  pada suamiku.

“Sayang, terima kasih sudah menikah denganku!” Mas Dar mengecup lembut keningku. 

“Aku yang terima kasih, Mas,” ucapku menunduk.  Serasa jantung ini  berdegup tak karuan.  Wajahku terasa menghangat.  Pasti warnanya memerah sekarang.  Sungguh ini adalah pengalaman pertama,  seorang pria menyentuh  keningku  dengan bibirnya.  Selama ini aku tak pernah dekat dengan pria manapun.  Aku juga  tak pernah punya kekasih. Mas Dar adalah pria pertama yang dekat denganku, tanpa berpacaran  dia langsung menikahiku.

“Aku, dong, Sayang,  yang berterima kasih pada kamu.  Aku begitu beruntung mendapatkan kamu,”  ujarnya mengulas senyum sembari mengelus  pipiku, lalu berhenti  di bibir. Tentu saja dadaku berdebar makin tak karuan. Aku paham apa yang dia isyaratkan. Sepasang pengantin baru yang barus saja dihalalkan, apa  yang akan  dilakukan kalau bukan melaksanakan ibadah di malam pertama pernikahan. 

Kusiapkan diri  sepenuhnya   untuk menunaikan tugas  sebagai seorang istri.  Bersiap juga  menerima nafkah batin  pertama   darinya.  Meski ada rasa takut yang berkecamuk. Tapi aku harus bisa, aku  tak boleh  mengecewakan suamiku.

“Kenapa, Mas?” tanyaku  saat  Mas Dar tiba-tiba menghentikan aktivitas   lalu  melepaskanku.

“Gak apa-apa, Sayang!” ucapnya   dingin,  lalu  melangkah mundur.  Sorot matanya tampak aneh.

Entah apa yang terjadi pada  Mas  Dar. Sepertinya dia ragu untuk menyentuhku. Kenapa? Bukankah dia telah memulainya?  Lalu kenapa tiba-tiba menghentikannya?

“Kamu mandi  aja dulu, ya! Kamu pasti  capek banget  setelah seharian jadi ratu?  Mana tamu undangan papa kamu banyak banget lagi, iyakan?” usulnya kemudian.

“Aku lecek banget, ya?  Ya, udah,  aku mandi dulu, ya, Mas!”

“Iya, Sayang. Tapi, aku boleh pinjam kunci mobil kamu, enggak?”

“Lho, Mas mau ke mana?”

“Ada urusan sebentar keluar, gak lama, kok. Kamu mandi aja, dulu!”

“Baik, Mas.”

“Ehm, satu lagi, Sayang.”  Mas Dar  berbalik, lalu menatapku lembut.

“Ya?”  tanyaku masih menunduk, tak berani menatap matanya.

“Aku boleh minta uang minyak, Sayang? Khawatir  bensinnya habis  di jalan.  Duit di  dompet   Mas udah tipis. Repot kalau mau ke ATM dulu.

Aku terkesiap. Dia menikahiku belum sehari. Kenapa sudah berani minta  uang?  Kami juga  belum lama saling  kenal.  Baru dua bulan yang lalu. Dia adalah   pria yang dikenalkan oleh teman Papa. Papa yang sudah begitu khawatir  melihat aku  belum menikah di usia yang tak lagi muda, menyetujui perjodohan  itu. Meskipun Mas Dar seorang duda.

Usiaku hampir  kepala tiga, tak juga ada tanda-tanda  seorang pria yang suka. Wajar saja, karena aku   bukanlah gadis idaman pria. Wajahku biasa saja, tak  ada  sedikitpun manis-manisnya.  Aku juga tak pandai berdandan seperti  wanita lain. 

“Papa sudah tua, Sayang!  Papa juga mulai sakit-sakitan, maut kapan saja bisa menjemput. Papa akan merasa  tenang meninggalkan kamu, bila kamu sudah berkeluarga. Kamu  butuh pendamping untuk menjalankan usaha kita. Darfan itu pria yang baik, setidaknya begitu kata  Om Nurdin. Dia sahabat papa, tak mungkin menjerumuskan putri  papa, iyakan, Sayang?  Mau, ya, Nak, menikah dengan   Nak Darfan?” bujuk papa kala itu.

Aku menggangguk. Papa semringah.  Melihat  senyum  papa,  bahagia menyeruak  di  dalam kalbu. Setidaknya aku bisa melihat papa bahagia. Semoga dengan pernikahanku,  papa bisa tenang, dan penyakitnya segera sembuh. Begitu   keputusanku.

Bukan inginku terlahir  ke dunia  ini  sebagai seorang wanita yang telat  mendapatkan jodoh. Aku juga ingin memiliki seorang suami yang mencintai dan menyayangi.  Seorang laki-laki yang mendampingi  menyibak hari-hari. Lalu  memiliki anak-anak yang lucu  dan sehat. Membesarkan dengan  penuh cinta  dan kasih.

Bukan pula inginku memiliki wajah yang tak cantik. Aku juga   ingin seperti  gadis-gadis lainnya.  Memiliki wajah memikat, tubuh seksi dan menjadi idaman para  pria. Sayangnya, aku tak memenuhi standart, hingga sampai usia menjelang kepala tiga, tak jua ada seorang pria yang menyatakan suka. Sampai  akhirnya lamaran Mas Darfan aku terima. Ijab Kabul pun dilangsungkan tadi pagi  dengan penuh suka cita.

Papa yang menanggung semua biaya pernikahan, keluaraga Mas Dar hanya menyediakan seperangkat alat salat sebagai mahar.  Tak mengapa. Papa rela menangung semua biaya, asal anak gadis satu-satunya  bisa berumah tangga  seperti  gadis-gadis lainnya.

Tetapi, kenapa baru beberapa jam ijab qobul dilangsungkan, suamiku sudah meminta uang? Padahal dia sama sekali  tak  ada  uang keluar untuk pernikahan ini. Bahkan baju pengantin yang dia kenakanpun,  Papa yang menyediakan. Apakah ada yang salah dengan pernikahan ini?

“Sayang, kok  malah  melamun?   Gak usah banyak, sejuta  saja. Sekalian buat jaga dompet, siapa tahu ada apa-apa di jalan, iya, kan, Sayang?” Mas Dar  menyentuh bahuku.

“Baik, Mas.  Tapi, kalau boleh tahu, Mas mau ke mana sebenarnya?  Ini rumah keluarga Mas Dar. Saya gak enak ditinggal sendirian, saya masih asing di rumah ini,”  tanyaku seraya  mengeluarkan satu ikat  uang kertas berwarna merah dari dalam dompet, lalu kuserahkan padanya.

“Makasih, Sayang!   Aku ada urusan bisnis. Kalau  aku  gak jumpai  sekarang, pasti  dianggap  gak professional. Kalau batal,  aku  bisa  rugi ratusan juta. Sebentar saja, kok.”

“Gitu, ya?”

“Iya, Sayang.  Oh, iya, uang kamu pasti aku ganti, kok.  Aku  pergi dulu, ya, Sayang!  Kamu mandi aja, ya! Muaah!”

Suamiku mengecup keningku sekali lagi, lalu menyambar  jaket  yang tergantung  di balik pintu.  “Tunggu aku  pulang, ya!”  titahnya  sambil  berlalu.

Kutatap punggungnya hingga menghilang  dari pandangan, lalu aku berjalan keluar  menuju kamar mandi.  Kamar mandi di rumah ini hanya satu. Posisinya ada  di dekat dapur.  Aku harus keluar dari kamar untuk mencapainya. Tetapi, percakapan  di ruang keluarga membuat langkahku terhenti. Kutajamkan pendengaran. Bukan ingin tahu urusan orang, tetapi karena aku curiga dengan pembicaraan mereka.

“Lho, kok malah keluar? Kamu mau ke mana?” Itu suara   ibu mertuaku.

“Yati ngancam, Ma.”  Itu jawaban Mas Dar.

Aku terkesiap.  Yati siapa maksud Mas Dar? Asisten Rumah Tangga  itukah?

“Ini malam pertama pernikahan kamu, Dar!  Kenapa  kamu tinggal dia? Setidaknya temani dia satu malam ini!” 

“Rencana  awalnya, sih, gitu, Ma. Aku udah usaha juga, tapi maaf,  aku gak selera. Saat aku coba menyentuhnya, tiba-tiba aku merasa geli! Moodku seketika ambyar!” Suara suamiku terdengar seperti orang yang sedang  menahan rasa jijik.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Adha Novita
Aq mampir, Kka Ceritanya seru dan menarik...
goodnovel comment avatar
Helminawati Pandia
Hay, Kakak kakak semua, mohon dukungannya ya. Mohon sumbangan gemnya, buat menaikkan performa cerita ini. Semoga Kakak kakak suka dengan cerita ini, semoga terhibur ya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status