Bab 1. Benda Tajam Di Malam Pertamaku
=======
“Maaf, Mbak, pisau ini buat apa?”
Aku membelalak kaget saat Yati, asisten rumah tangga masuk ke dalam kamar pengantin kami. Sebuah nampan berisi dua gelas minuman hangat beserta sebuah pisau tajam dia letakkan di atas nakas.
“Buat kalian, bukankah kalian akan belah duren malam ini?” jawabnya dingin, lalu pergi setelah melirik Mas Dar dengan tajam.
Aneh! Kenapa wanita itu terlihat tidak senang dengan pernikahan kami? Orang-orang memang sering menyebut malam pertama dengan istilah ‘BELAH DUREN’. Tetapi tentu saja tak perlu pakai benda tajam, bukan?
“Udah, gak usah dipikirin si Yati!” Mas Dar mengunci pintu kamar lalu berjalan mendekatiku.
“Hem,” anggukku mulai fokus pada suamiku.
“Sayang, terima kasih sudah menikah denganku!” Mas Dar mengecup lembut keningku.
“Aku yang terima kasih, Mas,” ucapku menunduk. Serasa jantung ini berdegup tak karuan. Wajahku terasa menghangat. Pasti warnanya memerah sekarang. Sungguh ini adalah pengalaman pertama, seorang pria menyentuh keningku dengan bibirnya. Selama ini aku tak pernah dekat dengan pria manapun. Aku juga tak pernah punya kekasih. Mas Dar adalah pria pertama yang dekat denganku, tanpa berpacaran dia langsung menikahiku.
“Aku, dong, Sayang, yang berterima kasih pada kamu. Aku begitu beruntung mendapatkan kamu,” ujarnya mengulas senyum sembari mengelus pipiku, lalu berhenti di bibir. Tentu saja dadaku berdebar makin tak karuan. Aku paham apa yang dia isyaratkan. Sepasang pengantin baru yang barus saja dihalalkan, apa yang akan dilakukan kalau bukan melaksanakan ibadah di malam pertama pernikahan.
Kusiapkan diri sepenuhnya untuk menunaikan tugas sebagai seorang istri. Bersiap juga menerima nafkah batin pertama darinya. Meski ada rasa takut yang berkecamuk. Tapi aku harus bisa, aku tak boleh mengecewakan suamiku.
“Kenapa, Mas?” tanyaku saat Mas Dar tiba-tiba menghentikan aktivitas lalu melepaskanku.
“Gak apa-apa, Sayang!” ucapnya dingin, lalu melangkah mundur. Sorot matanya tampak aneh.
Entah apa yang terjadi pada Mas Dar. Sepertinya dia ragu untuk menyentuhku. Kenapa? Bukankah dia telah memulainya? Lalu kenapa tiba-tiba menghentikannya?
“Kamu mandi aja dulu, ya! Kamu pasti capek banget setelah seharian jadi ratu? Mana tamu undangan papa kamu banyak banget lagi, iyakan?” usulnya kemudian.
“Aku lecek banget, ya? Ya, udah, aku mandi dulu, ya, Mas!”
“Iya, Sayang. Tapi, aku boleh pinjam kunci mobil kamu, enggak?”
“Lho, Mas mau ke mana?”
“Ada urusan sebentar keluar, gak lama, kok. Kamu mandi aja, dulu!”
“Baik, Mas.”
“Ehm, satu lagi, Sayang.” Mas Dar berbalik, lalu menatapku lembut.
“Ya?” tanyaku masih menunduk, tak berani menatap matanya.
“Aku boleh minta uang minyak, Sayang? Khawatir bensinnya habis di jalan. Duit di dompet Mas udah tipis. Repot kalau mau ke ATM dulu.
Aku terkesiap. Dia menikahiku belum sehari. Kenapa sudah berani minta uang? Kami juga belum lama saling kenal. Baru dua bulan yang lalu. Dia adalah pria yang dikenalkan oleh teman Papa. Papa yang sudah begitu khawatir melihat aku belum menikah di usia yang tak lagi muda, menyetujui perjodohan itu. Meskipun Mas Dar seorang duda.
Usiaku hampir kepala tiga, tak juga ada tanda-tanda seorang pria yang suka. Wajar saja, karena aku bukanlah gadis idaman pria. Wajahku biasa saja, tak ada sedikitpun manis-manisnya. Aku juga tak pandai berdandan seperti wanita lain.
“Papa sudah tua, Sayang! Papa juga mulai sakit-sakitan, maut kapan saja bisa menjemput. Papa akan merasa tenang meninggalkan kamu, bila kamu sudah berkeluarga. Kamu butuh pendamping untuk menjalankan usaha kita. Darfan itu pria yang baik, setidaknya begitu kata Om Nurdin. Dia sahabat papa, tak mungkin menjerumuskan putri papa, iyakan, Sayang? Mau, ya, Nak, menikah dengan Nak Darfan?” bujuk papa kala itu.
Aku menggangguk. Papa semringah. Melihat senyum papa, bahagia menyeruak di dalam kalbu. Setidaknya aku bisa melihat papa bahagia. Semoga dengan pernikahanku, papa bisa tenang, dan penyakitnya segera sembuh. Begitu keputusanku.
Bukan inginku terlahir ke dunia ini sebagai seorang wanita yang telat mendapatkan jodoh. Aku juga ingin memiliki seorang suami yang mencintai dan menyayangi. Seorang laki-laki yang mendampingi menyibak hari-hari. Lalu memiliki anak-anak yang lucu dan sehat. Membesarkan dengan penuh cinta dan kasih.
Bukan pula inginku memiliki wajah yang tak cantik. Aku juga ingin seperti gadis-gadis lainnya. Memiliki wajah memikat, tubuh seksi dan menjadi idaman para pria. Sayangnya, aku tak memenuhi standart, hingga sampai usia menjelang kepala tiga, tak jua ada seorang pria yang menyatakan suka. Sampai akhirnya lamaran Mas Darfan aku terima. Ijab Kabul pun dilangsungkan tadi pagi dengan penuh suka cita.
Papa yang menanggung semua biaya pernikahan, keluaraga Mas Dar hanya menyediakan seperangkat alat salat sebagai mahar. Tak mengapa. Papa rela menangung semua biaya, asal anak gadis satu-satunya bisa berumah tangga seperti gadis-gadis lainnya.
Tetapi, kenapa baru beberapa jam ijab qobul dilangsungkan, suamiku sudah meminta uang? Padahal dia sama sekali tak ada uang keluar untuk pernikahan ini. Bahkan baju pengantin yang dia kenakanpun, Papa yang menyediakan. Apakah ada yang salah dengan pernikahan ini?
“Sayang, kok malah melamun? Gak usah banyak, sejuta saja. Sekalian buat jaga dompet, siapa tahu ada apa-apa di jalan, iya, kan, Sayang?” Mas Dar menyentuh bahuku.
“Baik, Mas. Tapi, kalau boleh tahu, Mas mau ke mana sebenarnya? Ini rumah keluarga Mas Dar. Saya gak enak ditinggal sendirian, saya masih asing di rumah ini,” tanyaku seraya mengeluarkan satu ikat uang kertas berwarna merah dari dalam dompet, lalu kuserahkan padanya.
“Makasih, Sayang! Aku ada urusan bisnis. Kalau aku gak jumpai sekarang, pasti dianggap gak professional. Kalau batal, aku bisa rugi ratusan juta. Sebentar saja, kok.”
“Gitu, ya?”
“Iya, Sayang. Oh, iya, uang kamu pasti aku ganti, kok. Aku pergi dulu, ya, Sayang! Kamu mandi aja, ya! Muaah!”
Suamiku mengecup keningku sekali lagi, lalu menyambar jaket yang tergantung di balik pintu. “Tunggu aku pulang, ya!” titahnya sambil berlalu.
Kutatap punggungnya hingga menghilang dari pandangan, lalu aku berjalan keluar menuju kamar mandi. Kamar mandi di rumah ini hanya satu. Posisinya ada di dekat dapur. Aku harus keluar dari kamar untuk mencapainya. Tetapi, percakapan di ruang keluarga membuat langkahku terhenti. Kutajamkan pendengaran. Bukan ingin tahu urusan orang, tetapi karena aku curiga dengan pembicaraan mereka.
“Lho, kok malah keluar? Kamu mau ke mana?” Itu suara ibu mertuaku.
“Yati ngancam, Ma.” Itu jawaban Mas Dar.
Aku terkesiap. Yati siapa maksud Mas Dar? Asisten Rumah Tangga itukah?
“Ini malam pertama pernikahan kamu, Dar! Kenapa kamu tinggal dia? Setidaknya temani dia satu malam ini!”
“Rencana awalnya, sih, gitu, Ma. Aku udah usaha juga, tapi maaf, aku gak selera. Saat aku coba menyentuhnya, tiba-tiba aku merasa geli! Moodku seketika ambyar!” Suara suamiku terdengar seperti orang yang sedang menahan rasa jijik.
***
Bab 2. Suara Desahan di Kamar Sebelah ======= “Darfan! Gak boleh, gitu!” teriak ibu mertuaku. “Maaf, Ma! Besok aja, mudah-mudahan besok aku bisa selera sama dia!” sahut Mas Dar datar. “Jangan sampai dia curiga, Dar! Bisa gagal semua rencana kita!” Mbak Dina ikut berkomentar. “Enggak akan, aku udah kasih alasan yang masuk akal. Tenang, saja. Dia itu putri malu yang gak pernah mengenal laki-laki. Ketemu pemuda gagah seperti adikmu ini, langsung dia bucin tingkat dewa, hehehehe …. Dia akan takluk, tenang saja! Aku pergi, ya!” “Eh, kamu bawa mobil dia juga?” Itu suara Mbak Dinda. Kakak iparku yang nomor dua. “Iya, dong! Mulai sekarang, kita punya mobil. Kalau mau ngerasai naik mobil mewah, besok aja, ya! Aku per
Bab 3. Suamiku Tidur di Kamar Pembantu ======Aku pasti salah dengar. Itu bukan suara Mas Dar. Dia belum pulang. Tak mungkin dia ada di kamar sebelah. Lalu ke mana dia? Kenapa dia tega meninggalkanku di malam pertama pernikahan kami? Kalau urusan bisnis, tak mungkin hingga selarut ini, bukan?Kupaksa lagi pejamkan mata ini. Semoga aku bisa tertidur kembali. Tetapi, usahaku gagal. Suara orang berbisik-bisik kembali terdengar samar. Malam selarut ini, masih ada penghuni rumah yang terjaga. Siapa? Apa yang mereka perbincangkan?Kodisi dinding rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan suara-suara terdengar melalui celah papan. Meskipun terdengar agak samar. Sayangnya, aku tak bisa mengenali dengan pasti siapa pemilik suara itu.“Ssst! Jangan berisik, ya, Sayang! Tahan
Bab 4. Suamiku Membujuk Pindah Ke Rumahku========“Gak mungkinlah! Yati itu hanya pembantu! Ngapain Darfan masuk ke kamarnya! Kamu ada-ada aja, ah! Ayo kita kembali masuk kamar!” Mama mertua kembali mencengkram pergelangan tanganku, lalu menyeretku dengan kasar kembali menuju kamar.“Buktinya, kunci mobilku ada di kamar Mbak Yati, Ma!” sergahku berusaha meloloskan kembali pergelangan tanganku.“Itu bukan kunci mobil kamu! Kamu pasti salah lihat. Palingan juga mainan anak si Yati.”“Aku pastiin aja, Ma! Mama duluan, aja, masuk kamar!”Gegas aku berjalan ke depan. Tak kuhiraukan larangan wanita paruh baya itu. Tak perlu membuka pintu untuk melihat ke arah halaman. Dinding rumah yang
Bab 5. Kejutan Di Pagi Hari“Maaf, saya ganggu pagi-pagi, Buk!” ucapnya berjalan masuk dan berdiri tak jauh di depanku.Aroma sampho menguar dari rambut basahnya. Sepertinya dia sudah mandi, keramas lagi. Kenapa dia keramas, coba? Bukankah dia seorang janda? Bukankah aku yang harusnya keramas pagi ini? Entah kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana?“Ada apa, Mbak? Gimana keadaan Mbak Yati? Bercak-bercak merah di dada dan leher Mbak udah ada kurangnya? Kalau belum, mau kita berobat sekarang?” cecarku meneliti lehernya yang tertutup rambut basahnya.“Udah, kok, Buk. Saya gak sakit. Mereh-merah itu karena tadi malam gatal-gatal mungkin di gigit kutu kasur, jadi saya garuk. Makanya gak pake baju saya tadi malam, gatal semua. M
Bab 6. Terbongkar (Mereka Zina Atau Bukan?)“Mas, udah, dong! Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!”“Ayolah! Tadi malam tanggung! Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening, nih!”“Ya, udah, jangan lama-lama! Cepatan!”“Iya, Sayang, makasih, ya!”Kutajamkan pendengaran, beringsut pelan ke arah dinding kamar. Sela-sela berlubang antara papan lapuk dinding ini, sepertinya bisa kujadikan sarana untuk mencari tahu situasi di kamar sebelah. Mohon ampun pada Tuhan, maaf, ya Allah, bukan aku mau tahu urusan orang. Kali ini saja, izinkan aku mengintip. Sebab aku curiga,
Bab 7. Kujadikan Maduku Sebagai Babu=======“Pagi Papa! Papa sehat?” sapaku melalui ponsel. Kutelepon Papa pagi ini.Pembalasanku kepada suami durjanaku harus segera dimulai. Sengaja aku menelepon Papa di hadapan seluruh keluarga Mas Dar. Kuaktifkan pengeras suara ponsel, agar mereka bisa mendengar.“Sehat, Sayang! Gimana keadaan kamu di situ? Kamu senang, kan? Keluarga suami kamu memperlakukan kamu dengan baik, kan?” tanya Papa.“Senang, Pa. Amel bahagia banget di sini. Tapi, anu ….” Sengaja kujeda ucapanku. Itu membuat perhatian mereka sontak tertuju padaku. Sorot gelisah terpancar dari wajah-w
Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol“Sayang, kita baru aja pindahan. Kok, si Yati langsung disuruh kerja berat, gitu? Mana anak-anaknya masih kecil-kecil lagi! Kan, repot, Sayang! Kalau di rumah Mama, Mama bisa jagain anak-anaknya. Kalau di sini, gimana? Kasihan, lho!” protes Mas Dar tampak sangat tidak suka.“Lah, bukannya Mbak Yati itu pembantu kita? Tugasnya bersih-bersih, dong! Lagian, dia aku izinin, kok, kerja sambil momong anak!” sergahku. “Ayo, dong, Mas! Antarin aku!” perintahku tak peduli akan ketidak senangannya.“Sebenarnya kita mau ke mana? Masih capek, kan, Sayang? Kalau mau ngontrol peternakan, besok aja, ya! Uang penjualan gak mungkin diselewengkan oleh kasir kamu, kan?”
Bab 9. Papa Amelia Terkapar“Kenapa, Pak?” tanyaku tak kalah kalah kaget.Pak Anwar menunjukku dengan tangan gemetar. Kenapa dia? Kertas yang bertuliskan Kartu Keluarga ada di tangannya. Kertas yang ditunjukkan oleh Bagas putra sulungku. Kartu Keluarga? Astaga! Jadi, kertas yang disodorkan bagas tadi adalah kartu keluarga kami?“Ja – di, Dar – fan, su - a – mi, ka – mu? Ka … li … an, pe … ni … pu!” ucap Anwar terbata-bata. Lelaki paruh baya itu jatuh tiba-tiba terkapar.“Pak! Pak Anwar!” Spontan aku menghampirinya. “Bapak kenapa, Pak?” tanyaku seraya mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi pria itu tetap diam, t