Afwan betul-betul kaget, melihat sosok Aini tiba-tiba sudah hadir di hadapannya. Wajah lembutnya tampak cerah dengan riasan natural yang elegan. Baju yang dikenakannya pun sangat berbeda dari yang biasa dia kenakan setiap menemuinya di ruang kerja. Blazer panjang warna krem dipadu kerudung senada dari merk ternama membuat tampilan betul-betul bikin pangling.Selama ini, Aini memang sesekali singgah di kantor Afwan, mengantarkan sarapan atau cemilan buatannya. Aini senang memasak spesial untuk suaminya dan dia akan senang hati mengirimnya ke ruang kerja Afwan. Menunggui Afwan makan sambil bercerita banyak hal. Manis sekali.Afwan mungkin belum mencintainya kala itu, tapi dia cukup senang jika Aini datang dan menghabiskan sedikit waktu untuk menemaninya di ruangan khusus yang terhubung ke ruangan ini. Kadang Aini hanya sebentar dan segera kembali ke rumah, kadang kalau merasa bosan di rumah, dia juga lama duduk di samping Afwan, dan Afwan tidak merasa keberatan serta menikmati kebersama
"Bagaima Bu Ajeng, ikut gak?" Jeng Neti menatap Mama dengan pandangan menyelidik raut muka Mama yang redup dan tak secerah biasanya. Dia juga menangkap perempuan yang selama ini selalu modis dan trendi datang ke tempatnya naik taxi online.Padahal biasanya Mama naik Mercy Clasic merah kesayangannya. "Bulan depan kita ngadain arisannya di daerah Puncak Cianjur, Bu Ajeng. Kita konvoi dari sini, bawa mobil masing-masing."Konvoi? Bawa mobil sendiri? Mama tercenung. Teringat mobil mewahnya yang sudah diambil Aini beberapa waktu lalu."Kok malah bengong Bu Ajeng? biasanya you paling semangat," sela Bu Mince anggota kelompok arisan sosialita Mama. Wajah tuanya tampak samar terhalang dengan bedak mahal dan maskara tebal."Bu Ajeng biasanya paling heboh. Ayolah Bu Ajeng, kita mau sedikit menunjukan performance kelompok kita pada dunia, bukan hanya tajir kita juga trendi dan keren. Oh ya, aku nanti mau bawa Fortuner baru, you mau bawa apa Jeng Letta?" Bu Mince melirik Jeng Letta, anggota Ge
22Pelangi hadir setelah hujan, senyuman hadir setelah tangisan. Betul kata pepatah kebahagiaan kadang hadir setelah kesedihan dan badai nestapa berlalu.Aini, merasakan itu. Setelah episode pernikahannya yang kering dan hampa tanpa cinta bersama Afwan, kini Allah hadirkan pria lembut, penyayang, sopan dan mencintainya dengan cara yang indah.Ibarat oase di tengah Sahara, dokter Fadhil hadir memberinya kesejukan di tengah gersangnya kehidupan.Mata Aini berembun saat menatap sosok kukuh dengan wajah tenang dan sepasang mata teduh yang tidak pernah menatapnya lama. Wajah tampan yang selalu lebih banyak menunduk dan mengucap kata seperlunya. Membuat Aini kadang merasa gugup dan berpikir keras agar suasana terasa lebih cair.Bagaimana mungkin aku yang pemalu harus berhadapan dengan pria yang lebih pemalu. Berbanding terbalik saat merawat Papa yang tampak tenang dan profesional, di luar itu ternyata dokter Fadhil tidak pandai menghadapi wanita.Aini tersenyum lembut mempermainkan jemariny
Aini tersenyum manis tapi dingin."Bagus, Mas. Mulai sekarang ajarkan Mirna untuk menerima kenyataan kalau sebentar lagi dia akan kehilangan kenikmatan yang diambilnya dengan cara mencuri dari milikku.""Aini, Kamu tidak memberiku pilihan yan lain Aini?" tanya Afwan terbata.dan memelas. Tapi Aini hanya tersenyum."Pilihan apa yang kau mau, Mas?""Memaafkanku dan kita bisa rujuk. Aku berjanji menjadi suami yang baik untukmu."Aini terbelalak. Mendadak mual.Hallo. Semudah itukah? Apakah keoonan Mirna menular pada Afwan? Sehingga pria yang selama ini dikenal cerdas itu berubah jadi seperti orang amnesia?"Apa, Mas? Rujuk?"Aini tersenyum kecut."Aku ingin rujuk saja, Aini. Dan kita bisa selesaikan masalah ini dengan kekeluargaan."Aini mendengus. Berusaha menekan rasa muak yang memenuhi dadanya."Tawaran yang bagus. Sayang aku tidak tertarik, Mas." sindir aini sinis."Semenjak aku tahu kau mendustaiku dan diam-diam menjalin cinta dengan Mirna, aku sudah tertarik dengan apapun tentangmu
Aku mengerjapkan mata ke arah jalanan yang mulai sepi. Rasa penat di tubuh membuatku berkali-kali membetulkan letak duduk di hadapan kemudi.Lampu penerang jalan yang kekuningan menyiram suasana jalan dilewati kulewati yang mulai sepi, membuat kepalaku sedikit berkunang. Kembali menghela nafas mengusir segala rasa letih jiwa dan hati yang kulewati hari ini.Rapat perusahaan yang barusan kulalui dari pagi sampai hampir sore menyisakan tak hanya kisah pilu tapi juga pembelajaran yang sangat banyak.aku tak hanya harus mengganti uang perusahaan yang telah aku ambil selama setahun, tapi juga aku harus merelakan posisi ku yang selama ini ini menjadi nomor satu dan pertama sebagai pimpinan dan pengambil kebijakan di perusahaan itu di serahkan pada orang lain.Dewan komisaris dan pemegang saham memutuskan bahwa posisi Presiden Direktur yang selama ini aku genggam dialihkan terhadap orang lain yang mereka anggap lebih bisa dipercaya dan diandalkan. Dan sialnya orang itu adalah Aini. Ya, A
" Suara siapa?"tanyaku heran melayangkan pandangan dan bersiap berjalan menuju kamar tempat suara batuk berasal."Haduh, Mas. Habisin nasi gorengnya dulu. Paling itu suara satpam komplek yang suka berkeliling." Mirna berusaha merayu dan memegang tanganku.Dengan sedikit grogi dia mengambil air minum yang tidak jauh dari jangkauannya di atas meja makan. "Minum Mas, pasti nasi goreng buatanku pedas. Oh ya, aku tadi kasih cabe yang banyak." Mirna meraih tissu, melap bibirku . Sikapnya aneh dan berlebihan, tubuhnya terus berusaha menampel di tubuhku membuatku susah bergerak."Minggir Mirna, aku mau melihat siapa yang sudah masuk ke dalam kamar kita." Aku berusaha mendorong tubuhnya agar menepi."Ish, Mas...aduh, kenapa kasar begini." Mirna mengaduh, merasakan tubuhnya sedikit tergeser paksa."Itu bukan siapa-siapa, Mas."Aku tidak perduli. Aku bergegas mendatangi kamar utama ku yang terletak dekat dengan ruang tamu dan terhalang ruang keluarga. Mungkin karena senyap jika aku bisa mend
Rasanya seluruh tulangku lolos seketika. Tubuhku lunglai, mendapati fakta Bella yang kusayangi dan kucintai sampai ke relung hati bukan anak biologis ku.Langkahku gontai meninggalkan tempat praktek Farhan. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk dada. Kuratapi nasibku yang salah menitip hati pada sosok perempuan penghianat seperti Mirna.Kutangisi ketololan ini yang telah menukar sebongkah berlian dengan seonggok sampah seperti Mirna.Ya, Mirna hanyalah sampah, atau lebih dari itu. Dengan sisa tenaga aku membuka pintu mobil yang kuparkir di halaman tempat praktek Farhan.Aku lama termenung di belakang kemudi. Napas rasanya sesak dengan dada berdenyut, terbayang wajah lucu Bella yang menangis dan tertawa. Wajah mungil yang mewarnai hari-hariku yang beku bersama Mirna menjadi sedikit berwarna.Kalau aku pernah jatuh dan hancur berkeping dan tak bersisa, sekaranglah saatnya. Bukan karena aku mendapati diri ini mandul dan tak sempurna sebagai laki-laki, tapi menerima kenyataan kalau bayi
28Aini tersenyum lembut. Pandangan dokter Fadhil yang tampak sangat terpesona dengan penampilannya kali ini membuat paras wajah Aini merona. Dokter Fadhil baru melihatnya dengan setelan kerja seperti saat ini. Dia tampak sedikit kaget juga terpesona. Aini luar biasa cantik, wajah lembutnya bepadu dengan tatapan bening yang menghanyutkan. Apalagi dalam blazer panjang dan kerudung senada, Aini tampak smart dan elegan."Bu Direktris." Goda Fadhil membuat Aini tersenyum lebar tapi malu."Mas, tumben pagi-pagi menemuimu. Yuk, di dalam." Aini yang bersiap berangkat kerja, mempersilahkan dokter Fadhil masuk ke dalam rumahnya."Di sini saja, Aini. Di teras."Dokter Fadhil seperti biasa lebih suka menemui Aini dan duduk di teras rumah Aini yang luas."Baiklah, Mas."Aini tersenyum, memanggil Bi Darsih untuk menghidangkan teh hangat seperti biasa untuk dokter Fadhil. "Gak usah repot-repot Aini. Mas, hanya mampir dan ngasih kabar, nanti sore boleh kan, Mas jemput. Ibu ingin bertemu." Dokter