"Bagus kan? Miranti?" Ibunya Afwan menyodorkan gambar deretan tas branded ke arah menantu barunya. Wajahnya terlihat sumringah. Setelah kemarin Miranti berhasil dia bujuk membelikan sebuah gamis sutra yang lumayan mehong, kini Ibu ingin Miranti membelikannya tas branded." Betul, Bu." Jawab Miranti yang sibuk menyuapi Bella yang kini mulai pandai berjalan dan berceloteh riang."Beliin ibu, Mir." Ibu menyodorkan gambar ke hadapan menantu barunya."Hmm." Miranti meletakan piring di meja dan meraih katalog tas dari tangan Ibu."Yang coklat atau merah, Ibu suka Mir. Maukan beliin Ibu tas merk itu, kan uang mu semuanya berasal dari Afwan." Mulai mengusik. Apalagi kini Ibu tahu Miranti sudah berhenti kerja dan hanya mengandalkan uang belanja dari suaminya."Kalau kamu menolak lagi membelikan tas merk ini, Ibu akan laporkan pada Afwan. Kamu pelit."Miranti meletakkan katalog tas di meja dan bangkit meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas sampingnya."Telephon suamiku, Bu. Katakan aku me
Akhir Kehidupan Sang PelakorMirna mengerjapkan mata beberapa kali ke arah pria yang selama dua tahun ini sudah jadi suaminya. Memberinya gelimang kemewahan dan harta. Memberinya tawa dan kebahagiaan walau diatas penderitaan dan tangisan istri tua beserta anak-anaknya yang dicampakkan begitu saja.Tak akan disesalinya kepergian dari hidup Afwan dan rumah Miranti. Dia kini nyonya di rumahnya sendiri.Berulangkali dia mengatakan pada sahabat dan temannya kalau kecantikan dirinya bisa mengalahkan dunia dan membuat pria manapun akan bertekuk lutut di bawah pesona yang dimilikinya.Mirna bangga. Dia merasa takdir selalu membawanya pada kemenangan dan keberuntungan.Takdir selalu mengantar nya menjadi seorang pemenang diatas kekalahan perempuan yang suaminya telah dia rebut dengan paksa.Tapi tidak sepertinya untuk saat ini. Berulangkali matanya mengerjap dan mencoba awas pada apa yang sedang terjadi.Bagaimana mungkin pemandangan dihadapannya bisa terjadi. Mas Andre, suami yang terakhir d
"Maafkan, Aini. Aku capek. Lain kali saja," tolak Afwan perlahan, merenggangkan pelukan Aini di tubuhnya. Wajah tampannya sedikit ditarik saat Aini berusaha mengecupnya."Terus kapan, Mas? Aku rindu." Aini bangkit dari tempat tidur dan menggigit bibir dengan rasa kecewa yang dalam. Aini menyibak rambut yang menutupi kening dan separuh matanya. Sebelum tidur Aini sengaja menggeraikan rambut. Saat perempuan itu menyibaknya, tak terasa ujung jarinya menyentuh sesuatu yang hangat di kelopak matanya.Aini menangis. Betulkah? Serapuh inikah? Aini perlahan bangkit dengan langkah gontai menuju cermin. Menatap wajahnya yang kini berurai air mata.Lama Aini menatap wajah yang kini akrab dengan kesunyian dan kesendirian. Wajah yang akrab dengan kesepian dan rasa hampa. Rasa yang perlahan menggerogoti jiwanya.Mas, sampai kapan aku memeluk malam ini dengan hampa dan terluka? Sampai kapan kau selalu bilang lelah dan capek? Sampai kapan aku sanggup
"Aini, tunggu." Suara Afwan tercekat di kerongkongan, bergegas hendak menyusul tubuh perempuan yang tengah berjalan menjauh dengan pandangan penuh luka."Biarkan dia pergi." Langkah Afwan terhenti, tangan putih berkuku merah mencekal lengannya. seraut wajah Mirna tampak tidak suka."Dia istriku, Mirna. Aku takut terjadi apa-apa."Mirna tersenyum sinis."Biarkan perempuan itu berlalu dari hidupmu. Tersenyumlah, karena kamu tak harus lagi berpura-pura mencintainya.""Tapi," jawab"Cukup Mas, dia tak pantas untukmu. Hanya aku yang layak ada dihatimu." Mirna tersenyum penuh kemenangan. Membuat Afwan hanya bisa membisu. Matanya lekat menatap tempat hilangnya bayangan mobil yang membawa Aini pergi.***Aini belum pernah merasa begitu hancur. Aini juga belum pernah merasakan hatinya begitu terluka dan kecewa. Pandangannya kabur saat dia setengah berlari memasuki mobil, lelehan air mata yang membasahi pipinya
Angin berhembus lirih, menerobos tirai jendela di ruang tengah. Aini dan Afwan tak ada yang segera menemui Papa. Keduanya bimbang.Tatapan Afwan masih lekat ke wajah sedih perempuan yang selama ini dikiranya tak berharga tapi Aini membuang pandangannya. Dia tak mau tertipu dengan tatapan hangat dan menghanyutkan milik Afwan. Tatapan yang dulu membuatnya jatuh cinta dan membuat dirinya rela sekian lama menunggu untuk melabuhkan jiwanya di kedalaman cintanya.Aini kini mengerti kalau semua kemanisan itu hanyalah dusta. Hanya tipu muslihat agar dia tetap bertahan dan menikmati semua kebohongan sampai waktu yang diinginkan Afwan. Aini muak."Aini," panggil Afwan tersendat berusaha meraih jemari Aini."Aku bisa jelaskan, padamu. Aku juga bisa memberitahumu hal yang sesungguhnya." Afwan menghela nafas saat menyelesaikan kalimatnya. Seperti pencuri yang ingin membela diri di hadapan orang yang dicurinya, gugup dan terbata-bata."Apa ya
Seandainya cinta hanya sebatas kecantikan dan keelokan lahiriyah semata, semestinya Afwan adalah laki-laki yang pantas bahagia. Mirna cantik dan sempurna, tapi apa artinya cinta jika tak ada ketulusan dan rasa saling percaya?Afwan sepertinya tak sabar ingin mematikan sambungan telepon dan memijit tombol merah. Ini kali kesepuluh dia menjawab pertanyaan Mirna sejak pagi. Afwan melirik jam, setengah dua siang dia menghitung sampai tiba di rumah jam delapan malam, berapa puluh kali lagi Mirna akan menerornya dengan chat dan panggilan rutinnya."Sudah dulu ya, Sayang Mas lagi repot. Kalau ada apa-apa telepon Ibu saja buat menemanimu, suruh Bang Hasan menjemputnya.""Tapi janji ya, Mas. Harus pulang cepat. Aku iseng." Terdengar nada manja suara Mirna di sebrang sana."Kakiku bengkak, aku hanya ingin dipijit Mas."Afwan hanya menghela napas."Iya. Sudah dulu ya, Mir. Mas lagi ada klien," jawab Afwan i
"Dari mana Mas?" tanya Mirna penuh curiga. Tatapannya jatuh di wajah lelah Afwan yang baru tiba setelah seharian bekerja dan pulang menembus jalanan macet."Menemui, Aini 'kan?" Kembali meneror dengan prasangka yang sama. Bukannya menghidangkan teh buat suaminya, Mirna malah sibuk mengoceh dengan kecurigaan yang berlebihan. Wajah menornya tampak sedikit kemerahan menahan cemburu."Aku ada meeting, Mir. Ada banyak yang harus kubahas dengan staf baruku." Afwan menjelaskan apa adanya. Awal bulan ini dia menerima manager baru, banyak yang harus mereka bicarakan."Aku tidak percaya." Mirna membantah."Aku tahu kau diam-diam mengunjungi Aini di rumah Papanya. Tega sekali kamu, Mas." Mirna mulai terisak."Padahal usia kandunganku sebentar lagi memasuki trimester akhir. Kau malah as
Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas."Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu."Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini."Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku.Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya."Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah."Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."" Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?"Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya." Menginap? Di sini? Di kamar ini?"Afwan mengangguk ragu."Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati.