32Afwan menghela napas panjang. Tak ada air mata yang mengiringi kata talak untuk Mirna. Tak ada seguratpun bulir sakit yang menghiasi episode hidupnya yang berakhir dengan seorang Mirna. Mantan terindah,perempuan masa lalu dan juga cinta pertamanya.Mengapa rasa sesal itu tidak ada? bukankah dia selama ini memuja Mirna? Bukankan kecantikan Mirna sempurna? bukankah dulu...ya, dulu. Hanya Mirna yang sanggup merubuhkan kebekuan hatinya yang sedingin es dan Sekokoh bongkahan karang.Jawabannya, betapapun manis masa lalu dan betapapun indah kenangannya, semua itu tidak berharga saat tak ada ketulusan cinta yang menyertainya.Sesaat Mirna terisak. Mendapati Afwan yang murka mengeluarkan semua isi lemarinya dengan kasar dan melemparkannya ke arahnya, membuat baju-baju mahal dan bermerknya berserakan di lantai.Afwan mungkin tengah terpuruk. Terlibat masalah dengan menggelapkan uang perusahaan dan terpaksa menjual hampir seluruh aset yang dimiliki dan hanya tinggal sedikit tabungan dan mob
Heru merasa kepalanya sangat pening. Seharian dia memutari kota Bandung mencari keberadaan Sinta. Kemana Sinta pergi?Heru terus berpikir keras tentang Sinta dan Zaydan. Tak sekelumit kenangan manis yang direguk bersama Mirna saat itu yang kini masih bersemayam di hatinya. Heru bahkan tak sedikitpun menoleh ponsel tempat dia bercengkrama dengan seorang Mirna.Dari kemarin ponsel yang biasa digunakan berchat ria dengan Mirna dia matikan. Ada perasaan enggan jika harus membaca dan membalas pesan Mirna. Perempuan yang luar biasa menggairahkan itu, seakan pesonannya pudar saat menyadari Sinta pergi meninggalkannya. Heru kembali memasukkan mobilnya ke dalam garasi, sia-sia dia mencari Sinta kesana kemari hari ini. Sinta seperti hilang ditelan bumi, raib entah kemana. Betapapun gigihnya Heru mencari keberadaan Sinta pada sahabat dan kerabat, mereka semua geleng kepala tanda tidak mengetahui keberadaan perempuan itu.Sinta, setelah engkau berlalu mengapa perasaan rindu itu baru kurasakan?
Mirna menyungging senyum pahit. Tak punya pilihan, berharap pada Heru dan Afwan jelas tidak mungkin, juga pada Miranti, Si Comel itu jelas tidak mau menjemputnya dan malah mengatainya yang enggak-enggak. Dengan gusar dan sangat terpaksa akhirnya Mirna memijit aplikasi transportasi online. Selama ini, dia merasa sangat gengsi naik transportasi umum. Mirna terbiasa naik mobil mewah dan mahal plus sopir pribadi. Tapi apalah daya, hari ini, dia tidak punya pilihan.Tangan lentiknya dengan malas menekan aplikasi yang dimaksud, huh. Cewek secantik dan semahal aku harus naik transportasi online? Mengerikan. Semua ini, gara-gara Aini mengambil semua asset yang dipunya Mas Afwan. Awas kamu Aini. Aku akan balas semua perbuatanmu, aku tidak pernah kalah dan jadi pecundang. Hati Mirna dipenuhi rasa geram.Mirna mengetik sesuatu di layar gawainya. Mulutnya masih komat-kamit menahan sebal pada Aini.Tut. Layar ponselnya tiba-tiba meredup dan pes, layar ponsel di tangannya kini malah berubah hita
Tubuh Mirna rasanya patah-patah dan mateng saat turun dari angkot. Tiga kali berpindah angkot dengan tentengan seberat ini, membuat tubuhnya terasa ringsek. Dengan sedikit tertatih, perempuan yang biasa datang kepada keluarganya dengan sikap sombong dan jumawa itu menyeret kopernya dengan terseok. Matanya sedikit nanar melihat pagar rumah di depannya. Rumah Miranti. Seketika ada perasaan malas dan segan bercampur menjadi satu.Bukan karena rumah Miranti yang sempit dan tak nyaman, melainkan pemiliknya yang akan membuatnya tak nyaman. Mirna tertegun. Merasa tak yakin harus kembali ke rumah ini. Tapi dia tidak punya tempat kembali saat ini, memaksa langkahnya terus berjalan menuju halaman kemudian naik teras rumah yang terasa sepi. Rumah Miranti tidak semewah rumah dirinya dengan Afwan kala masih berjaya, tapi halamannya cukup luas dan rindang, rumahnya juga bersih dan nyaman. Tak ada yang menyambutnya. Kemana Papa dan Mama? Mirna tertegun. Bukankan Papa dan Mamanya sebulan lalu ik
Apa kabar cinta masa lalu? Mata Aini menelusuri setiap sudut kamarnya yang telah lama bersih dari foto-foto dirinya dan Afwan.Tak ada lagi deretan wajah pria yang dulu terpampang syahdu dalam deretan bingkai foto kebersamaan bersama dirinya. Musnah bersama kisah perkawinan mereka yang telah kandas.Afwan, kini tak hanya pria masa lalu tapi pria yang segala tentangnya telah dihapusnya dengan sempurna dalam hidupnya.Aini menghela napas perlahan, ada perasaan Lega yang menyapa hatinya, kini dia merasa lebih baik dan berharga. Kehadiran dokter Fadhil yang akhir-akhir ini menghiasi hari-harinya dengan segala kemanisan dan kehangatannya perlahan membuat kuncup bunga di hatinya yang pernah layu kini perlahan bersemi kembali.Diliriknya bilah dinding kamar yang terasa sepi, kemarin dirinya masih memajang foto pernikahannya dengan Afwan. Ya Afwan, laki-laki pertama yang dicintainya sepenuh jiwa raga, sayang kini namanya tinggal segores nama tanpa rasa dan makna.Malam mulai beranjak larut.
Afwan meraih tubuh mungil Bella yang menggeliat pelan. Membawanya ke luar ruangan fitting untuk mencari udara yang lebih segar.Afwan masih menimang Bella saat Aini dan dokter Fadhil menemuinya."Selamat ya, Mas. Bayi kamu cantik sekali," puji Aini menatap Bella dengan mimik gemas."Hidupmu sempurna, Mas. Aku ikut bahagia, dengan kehadiran Bella, cintamu semakin kokoh dengan Mirna," lanjut Aini membuat paras Afwan samar terlihat murung.Apa Aini tidak tahu yang sebenarnya terjadi antara aku dan Mirna? Apa Aini juga tidak faham kalau Bella bukan darah dagingnku?Afwan tak bermaksud menjawab, dia hanya menghela nafas yang mendadak terasa berat."Aini kapan kalian menikah?" Afwan mengalihkan topik pembicaraan. Meski jujur bertanya tentang kapan Aini menikah juga sangat menyakitkan."Insya Allah secepatnya. Nanti aku kabari, Mas datang, ya." Aini menjelaskan dengan ramah. Wajahnya tampak menyimpan rona bahagia.Afwan mengangguk pelan. Perasaan sakit itu tak bisa lagi disembunyikan. Wajah
Wajah Aini tampak sempurna dalam guyuran lampu kristal di kamar pengantinnya, harum bunga melati dan hiasan bunga hidup yang menjadi dekorasi kamar bernuansa putih berpadu dengan warna -warni bunga itu semakin menyempurnakan indahnya kamar Aini.Tak butuh waktu lama untuk menunggu seorang dokter Fadhil melamar dan menetapkankan tanggal pernikahan mereka. Laki-laki sejuk dan lembut itu ternyata memiliki tekad yang keras dan kuat. Cinta nya besar dan tak terukur.Hari ini disaksikan orang tua dan kerabat dua belah fihak, Aini dan dokter Fadhil akan resmi mengikrar kan cinta mereka didalam ikatan pernikahan yang Sah dan indah.Perkawinan bukan hanya menjanjikan lautan cinta tak bertepi tapi juga menjadi ladang ibadah terlama dalam hidup.Wajah cantik Aini tampak berbinar lembut dalam rona kebahagiaan yang terpancar dalam sorot mata dan senyumannya yang menawan.Dengan penuh debar Aini menanti dirinya keluar kamar untuk melaksanakan ikrar pernikahan dirinya dengan imam seorang Fadhil yang
Adakah yang lebih manis dari madu perkawinan yang bahagia dan penuh cinta?Adakah anugerah terindah dalam mengarungi bahtera rumah tangga selain memiliki pasangan yang tulus mencintai kita dengan sepenuh hati dan jiwa?Aini mendesah. Malam semakin larut, desir angin di luar sana yang terdengar syahdu laksana kidung cinta nan indah ditelinga dua insan yang sedang bersusah payah saling meredakan getaran rasa yang kian membara.Entah berapa kali dokter Fadhil mengusap dahinya yang tiba-tiba terasa berkeringat.Tolong Aini, ajarkan aku memiliki dirimu malam ini seutuhnya. Bukankah aku bukan yang pertama bagimu.Pandang mataku, Cinta. Jangan terus menunduk membuatku malu harus memulai dari mana. Bisik gati dokter Fadhil gemuruh.Lama keduanya terdiam. Meresapi sunyi yang tiba-tiba hadir.Aini perlahan menengadah, menepis segala kekakuan yang sempat tercipta. Mengukir lengkung manis di bibirnya. Fadhil adalah imamnya kini, betapapun rasa malu dan rikuh berpadu satu, sudah kewajibannya untuk