Share

Nafkah Istri Pertama
Nafkah Istri Pertama
Penulis: Silla Defaline

Bab 1

Penulis: Silla Defaline
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-07 11:27:40

Bab 1 

 

     Maaf, sayang. Bulan ini Abi cuma bisa ngasih segini ke kamu. Maaf ya. Soalnya dalam kondisi hamil, Naura membutuhkan lebih banyak uang. Ami tidak marah kan?" Arsyad menyodorkan sebuah amplop coklat tipis kepada Ika istri pertamanya.

 

    "Ya terimakasih, Bi. Masih bersyukur di kasih rezeki." Ika menerima amplop itu.

 

     "Abi ke kamar mandi dulu ya?"

 

     "Iya, Bi. Sementara Ami siapkan untuk makan malam.

 

     Ya hari adalah jadwal Arsyad berkunjung kerumah tersebut, setelah menikahi Naura dua bulan yang lalu. Sesuai komitmen Arsyad, dua minggu bersama Naura, maka ia akan kembali ke rumah yang di diami Ika selama dua minggu juga. 

 

     Sepeninggal suaminya, Ika membuka amplop yang tadi di berikan Arsyad padanya.

 

     "Satu juta lima ratus ribu rupiah. Setengah dari bulan lalu." Gumamnya lirih.

 

     Jumlah itu jauh berbeda dari nominal bulan lalu. Bulan lalu Arsyad menyerahkan tiga juta. Total gaji Arsyad sebagai karyawan di perusahaan adalah tujuh juta. Biasanya dulu, enam juta selalu Arsyad serahkan pada Ika. Selebihnya Arsyad gunakan untuk kebutuhannya sendiri. 

 

     Namun setelah menikahi Naura. Semua jadi berbeda. Sesungguhnya Ika ikhlas dengan takdirnya. Namun apa yang terjadi sekarang adalah diluar dugaannya semula.

 

     "Mi, bulan ini Abi cuma bisa seminggu bersama Ami. Itu juga melihat keadaan Naura. Apabila keadaannya tidak baik, Abi harus kembali padanya. Noura menuntut Abi untuk lebih sering bersamanya. Karena kondisinya yang sedang hamil muda. Maafkan Abi ya." Arsyad membelai rambut hitam panjang dan lurus milik Ika.

 

     Ika diam sesaat, lalu tersenyum kecut. 

 

     "Aku mungkin harus lebih mengerti. Inikah takdir seorang istri yang tak bisa memberikan keturunan." Ika membatin. 

 

     "Maaf, Bi. Ami kebelet." Dengan sedikit menyembunyikan mukanya yang mulai memerah. Ia berlari ke kamar mandi.

 

     Di cermin kamar mandi, Ika tidak bisa menahan bulir-bulir bening itu. Ia menyekanya perlahan.

 

     "Sekarang semua terbagi dengan tidak adil. Hiks... Hiks... Ku kira dengan mengizinkanmu poligami akan menambah ladang pahala bagiku. Tapi mengapa semuanya harus seperti ini. Mulai waktumu yang hanya ku dapatkan sepertiga dalam sebulan, nafkah, dan mungkin saja cintamu yang tidak lagi terbagi rata antara aku dan Naura..." Kembali Ika menyeka air mata nya.

 

     "Berbagi memang tak mudah. Namun demi bakti ku, dan juga agar kau mendapatkan momongan, aku ikhlas. Karena aku sadar, rahim ini belum mampu memberikanmu keturunan."

 

     Ika melamun, teringat kembali kejadian beberapa bulan lalu.

 

 

***

 

Beberapa bulan yang lalu

 

 

     Ika sibuk menyiapkan hidangan di meja makan. Biasa aktivitas yang akan ia lakukan apabila datang berkunjung ke rumah mertuanya. Ia akan membebaskan mertuanya dari tugas dapur. Dari memasak, beres-beres, mengepel hingga membersihkan kamar mandi.

 

     Ika sama sekali tidak merasa di perbudak. Justru ia merasa bangga bisa melakukan itu untuk meringankan pekerjaan rumah sang mertua. Dengan begitu, akan menambah bakti terhadap orang tua bukan?

 

     "Ika,..." Panggil Bu Melia

 

     Ika menghentikan pekerjaannya,

 

      "Ya, Bu." Tanggap Ika cepat.

 

      "Bisa bantu ibu sebentar?"

 

     "Tentu saja."

 

     "Kamu ke pasar, ibu sudah membuat daftar barang belanjaan yang harus di beli."

 

    Bu Melia menyodorkan sebuah kertas berisi daftar barang belanjaan.

 

     "Ya baiklah. Tapi nih Ika belum selesai menyiapkan hidangan di meja makan." 

 

     "Tidak apa-apa. Nanti ibu yang akan menyelesaikannya.

 

     "Oh ya. Baiklah, Ika bisa pergi sekarang."

 

     "Terimakasih. Nih kunci mobilnya." Bu Melia mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya.

 

     "Tidak usah, Bu. Pakai sepeda motor saja, Bu. Lebih leluasa."

 

     Kebiasaan mertuanya adalah membeli kebutuhan dapur di pasar tradisional. Tentu saja sepeda motor adalah pilihan yang pas.

 

     "Ini uangnya." Bu Melia menyodorkan beberapa lembaran uang berwarna merah.

 

     "Tidak usah, Bu. Pakai uang Ika saja."

 

     "Ah, Ika. Ibu jadi tidak enak pakai uang kalian."

 

     "Tidak apa-apa, Bu. Sesekali membeli kebutuhan orang tua sendiri."

 

     "Aduuh terimakasih kalau begitu."

 

     "Sama-sama, Bu."

 

     Ika bergegas mengambil helm dan berjalan menuju sepeda motor matic miliknya.

 

     Dengan cekatan ia mengendarai sepeda motor menuju ke pasar.

 

     Di tengah perjalanan, Ika lupa kalau dompetnya tertinggal di meja ruang keluarga. Dengan cepat Ika segera berbalik arah.

 

     Beberapa menit kemudian, ia sampai kembali di rumah mertuanya. 

 

     Tapi tunggu dulu, ketika ingin meraih dompetnya, Ika mendengar ada obrolan serius antara suami dan mertuanya. Perlahan Ika menguping pembicaraan mereka.

 

      "Arsyad, apa kamu yakin ingin tetap mempertahankan istrimu?" Bu Melia bertanya kepada anak lelakinya.

 

     Arsyad sejenak menghentikan aktivitasnya. Nasi yang baru saja ingin ia masukkan ke mulut, di letakkan kembali ke piring.

 

     "Maksud ibu?"

 

     "Maksud ibu, apa kamu masih mencintai Ika sepenuhnya?"

 

     Dahi Arsyad berkerut.

 

     "Tentu saja, Bu. Dia istriku. Tentu saja.  Aku mencintainya." Jawab Arsyad sungguh-sungguh.

 

     Wanita paruh baya di hadapannya melengos.

 

     "Apa kamu tidak berpikiran ingin memiliki momongan."

 

     Kali ini Arsyad tidak langsung menjawab, melainkan meneguk air putih yang telah di suguhkan oleh istrinya tadi sebelum ibunya menyuruh Ika sang istri untuk keluar membeli persediaan dapur yang mulai menipis.

 

     "Tentu saja setiap pasangan ingin memiliki buah hati, Bu. Hanya saja terkadang butuh waktu untuk menunggu." Arsyad berusaha menenangkan diri.

 

     "Ini bukan soal waktu, Nak. Tapi ini menyangkut masa depan. Tidak bisa selamanya kalian hanya berdua. Kamu butuh seorang anak."

 

     "Bu, kami sudah sejak dulu menginginkan buah hati. Tapi apa mau dikata, Tuhan belum menganugerahkan." Ucap Arsyad lesu.

 

     "Arsyad, sebaiknya kau dengarkan ucapan ibu."

 

     "Aku selalu dengar ucapan ibu."

 

     "Kali ini bukan hanya mendengar, tapi turuti. Kalau kau ingin masa depanmu ceria dengan hadirnya momongan. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk menunggu Ika hamil. Namun nyatanya, perut Ika tidak kunjung bisa hamil cucuku. Ibu ini sudah menua, Arsyad. Sedangkan kau adalah anak ibu satu-satunya. Ibu ingin segera menimang cucu."

 

     Arsyad diam beberapa saat.

 

     "Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membuat Ika cepat mengandung?"

 

     "Kalau menunggu perempuan itu mengandung, sepertinya tidak akan menuai hasil, itulah yang kita lakukan selama ini."

 

     "Jangan bilang seperti itu, Bu. Dokter bilang, Ika kemungkinan bisa hamil. Namun seperti yang saya bilang tadi. Kita mesti harus bersabar menunggu."

 

     "Buka pikiranmu, Arsyad. Lima tahun apa tidak cukup untuk bersabar dan menunggu? Program kehamilan sudah di lakukan. Masih saja Ika tak kunjung mengandung. Itu menandakan rahim perempuan itu kering. Tidak mampu menampung benih darimu. Sebaiknya, turuti perkataan ibu. Kali ini saja, ibu mohon."

 

     "Apa sebaiknya yang harus saya lakukan, Bu."

 

     "Nikahi Naura...!"

 

      "Apaaa??" Arsyad terbelalak

 

     Ika yang sedang menguping tidak kuasa menahan bendungan bulir air mata yang jatuh dari sudut matanya. 

 

     "Aku tidak bisa menceraikan Ika, Bu. Dia istri yang baik. Aku menginginkan putra dari rahimnya."

 

     "Kalau begitu kau melawan ibu. Tidak bisakah kau lihat  Naura bahkan lebih cantik dan alim di banding Ika. Orang tuanya lebih terpandang dari pada orang tua Ika. Begitu juga dengan pendidikannya, yang jauh di atas Ika yang cuma lulusan SMA." 

 

     Ada rasa getir menusuk jantung, ketika Ika mendengar ucapan pedas dari bibir mertuanya.

 

     "Sekali lagi ibu tegaskan, nikahilah Naura."

 

     Lagi-lagi Arsyad terdiam cukup lama.

 

     "Baiklah, Bu. Sepertinya ucapan ibu perlu di pertimbangkan. Dan juga aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus meminta pendapat Ika."

 

     Akhirnya terdengar juga lelaki itu bicara.

     

 

 

Bersambung... 

     

     

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status