Setelah berhasil meredakan amarahnya karena membaca beberapa status Radit di hp milik Sania, Anita menghela nafasnya berulang kali. Ia tidak boleh marah disini. Apalagi marah pada Anita yang sudah berbaik hati menunjukkan tentang status Radit padanya. Itu sama sekali tidak baik dan bisa merusak hubungan mereka.“Aku kirim ke hpku ya San. Nanti akan aku buka blokiran khusus untuk Mas Radit.” Kata Anita setelah amarahnya reda. Sania menganggukan kepalanya setuju.“Iya buka saja Nit. Kamu balas status Radit di sosial media sekalian sertakan bukti yang bisa menguatkan perlakuan Radit padamu. Karena kamu bekerja di perusahaan terkenal, nama baik kamu bisa tercoreng kalau sampai ada yang tahu orang yang di maksud Radit di postingannya adalah kamu. Apalagi kamu juga asisten pribadi Bu Rania.” Anita menghela nafas berat karena masalahnya belum selesai-selesai. “Padahal dia yang melakukan kesalahan selama ini hingga selingkuh. Para warga juga sudah tahu jika Mas Radit berselingkuh dengan Dina
Setelah tangis Gilang reda, Anita baru menceritakan kemungkinan besar alasan Radit adn Dina berselingkuh. Karena mereka berdua sama-sama bohong. Kening Gilang berkerut tidak mengerti mendengar awal mula penjelasan dari kakak sepupunya itu. “Maksud kamu apa Nit? Kenapa Dina bisa selingkuh sama Mas Radit karena mereka sama-sama berbohong.” Tanya Gilang heran sama sekali tidak mengerti dengan apa maksud Anita tadi.“Ya karena mereka sudah berbohong satu sama lain Lang. Mas Radit sudah berbohong pada Dina jika dia adalah pengusaha online yang sukses. Lewat pesannya, Mas Radit membual jika dia mendapat omset yang sangat banyak hanya dari toko online saja. Sayangnya, saat sedang berpacaran dengan Dina, dia sudah menginvestasikan hampir semua uangnya untuk membeli saham. Sedangkan sisanya untuk biaya kebutuhan makanku dan keluarganya.” Belum selesai Anita becerita, Gilang sudah tertawa terbahak-bahak hingga air matanya kembali menetes.Berbanding terbalik dengan tadi saat pria itu terlihat s
"Kamu kok baru pulang jam segini Rin? Sudah Ibu tunggu dari tadi juga." Aku hanya bisa menghela nafas saat menatap sosok Ibu mertua yang berdiri di teras. Sebelum aku menurunkan semua barang dagangan, Ibu mertua sudah mengambil tas yang tersampir di tangan. "Tunggu dulu Bu. Aku mau mencocokan hasil pembayaran hari ini. Jangan di ambil dulu." Ibu mertua yang tetap tidak peduli sudah membuka tas selempangku lalu mengambil segepok uang berjumlah dua ratus ribu rupiah. Uang yang sejatinya akan aku gunakan untuk membayar biaya spp Dinda, putriku yang baru kelas satu SD. "Uang ini buat Ibu dulu. Biaya sekolah Dinda bisa kamu cari lagi besok. Ibu harus membayar biaya arisan agar bisa dapat bulan ini." "Bukannya Mas Eko sudah kasih gajinya kemarin Bu?" Tanyaku sedikit memberontak. "Sudah habis buat beli sabun, sampo, beras terus barang-barang yang lain. Belum lagi beli skincare untuk Ibu dan adik iparmu. Sudahlah jadi mantu jangan pelit. Sudah kewajiban kamu sebagai istri untuk membantu
“Bukan begitu Bu. Aku datang kesini untuk meminjam uang lagi. Aku harus membayar baju yang aku ambil dan uang spp sekolah Dinda.” Raut wajah Ibu mertua yang awalnya marah lalu berubah baik padaku. “Kamu mau ambil berapa? Ini juga pertama kalinya Ibu ambil hutang di koperasi. Soalnya nama Ibu dan Bapak sudah di blacklist dari bank nasional.” Diam-diam aku menghela nafas lega. Berarti Ibu mertua tidak tahu bagaimana sistem pinjaman dan tabungan di koperasi. Berbeda denganku yang sudah hafal karena banyak teman-teman penjual di pasar juga meminjam uang di berbagai koperasi. “Cuma satu juta aja Bu. Yang dua ratus ribu buat bayar spp sekolahnya Dinda. Yang tujuh ratus ribu bayar barang dagangan ke agen dan sisanya buat belanja bahan makanan hari ini. Mas Eko minta di masakan ayam.” Bibir Ibu mertua seketika mengerucut. “Dasar payah kamu Rin. Satu juta mana cukup sih.” Gerutu Ibu lagi. “Karena aku nggak punya barang jaminan Bu. Maksimal pinjam uang tanpa jaminan hanya satu juta saja.”
Malam itu aku dan Dinda makan telur ceplok dengan tempe goreng. Jika aku bisa menyembunyikan uang di tempat aman, aku tidak bisa terus menyembunyikan makanan di suatu tempat. Bisa cepat basi.“Besok kita sarapan bubur ayam aja Bu.” Seru Dinda melihatku yang masih melamun.“Oke. Kita makannya diam-diam ya. Biar nggak ketahuan Bapak.”“Sip.” Kami lalu tertawa bersama.Setidaknya ada putri tunggalku yang bisa menjadi penghibur lara di saat seperti ini. Meskipun kadang aku menyesali pernikahanku dengan Mas Eko, rasa penyesalan itu kadang terkikis saat mengingat kehadiran Dinda dalam hidupku.Dinda adalah anak yang dewasa sebelum waktunya, Itu semua karnea sejak kecil aku mengajarkan pada Dinda untuk hidup sederhana. Dinda juga melihat sendiri perjuanganku berjualan dari satu rumah ke rumah yang lain. Tidak hanya itu aku juga meminta Dinda untuk merahasiakan hal ini dari Omnya yang merupakan kakak kandungku.Meskipun kakak iparku adalah orang baik, aku tidak ingin terus mengusik mereka den
Hari itu, aku hanya dapat uang lima ratus ribu saja. Harusnya dapat tujuh ratus ribu jika tidak di ambil oleh Ibu mertua. Jam sepuluh pagi, aku belanja di rumah tetangga yang menjadi penjual keliling. Membeli ikan mujair, tempe dan cabai. Satu jam kemudian aku sudah menjemput Dinda di sekolah.Makan siang kami kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku bisa membelikan makananan kesukaan Dinda. “Kok cuma ada dua ikannya Bu. Nanti malam kita makan apa?” Tanya Dinda heran karena aku tidak menyetok persediaan makanan kami.“Nanti malam kita makan orek tempe ya. Ibu takut kalau ikannya di bawa Bapak lagi ke rumah Mbah.” Dinda terdiam sejenak lalu menganggukan kepalanya.Ya Allah. Rasanya sedih sekali melihat wajah Dinda yang tampak biasa saja. Aku tidak pernah bisa membaca perasaan putriku. Setiap kali aku bertanya, Dinda selalu mengatakan jika dia akan mendukungku. Untuk bocah berumur tujuh tahun, hampir setiap hari melihat pertengkaran orang tuanya tidak membuat Dinda tumbuh menjadi anak y
“Sebagai istri sudah jadi tugasmu untuk membantu keuangan suami Rin. Ingat surga istri itu ada pada suami dan surga pria itu ada pada Ibunya. Jadi, jangan pernah kamu menjelek-jelekkan Ibuku lagi. Seharusnya kamu bersyukur aku mau menikah denganmu yang sudah tidak punya orang tua lagi.”Dasar pria tidak tahu diri. Bersyukur katanya? Sama sekali tidak. Apalagi pemahaman yang di katakan Mas Eko padaku benar-benar salah. Aku mengusap pipi sejenak lalu kembali melipat baju dengan cepat. “Memang itu kan kenyataannya. Toh kamu sendiri yang bilang kalau Ibumu adalah pencuri. Aku hanya mengatakan tergantung besok, apakah uangnya akan di ambil Ibu atau tidak. Lalu, kata tepat yang bagaimana harus mengungkapkan sikap Ibumu?”Tanyaku dengan nada tenang. Kedua tangan Mas Eko sudah mengepal erat. “Kalau begitu kamu bisa membeli bahan makanan lebih untuk di bagikan pada Ibu. Gampang kan?”Tanpa menjawab perkataan Mas Eko aku berjalan menuju kamar lalu mengunci pintunya. Biarkan saja dia malam ini t
Aku berusaha merebut kantung plastik berisi barang daganganku dari tangan Yani. Hampir saja semua isinya jatuh jika saja tidak ada orang yang datang untuk melerai kami. “Sudah cukup. Kenapa kalian main kekerasan di depan rumah saya?”Ujar Bu Wati. Salah satu pelanggan yang rumahnya baru saja aku sambangi untuk menjajakan barang dagangan. Bu Wati berjongkok untuk membantuku untuk merapikan barang dagangan. Hampir saja uang yang aku sembunyikan jatuh ke tangan Yani jika Bu Wati tidak keluar dari rumahnya.“Jangan ikut campur masalah keluarga kami Wat. Kalau kamu nggak mau kami berada disini biar Arini ikut bersama kami.” Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ibu mertua.“Saya nggak ikut campur. Kalian saja yang buat ribut di depan rumah saya. Lebih baik Bu Lasmi dan Yani pergi sekarang juga dari rumah saya.” Usir Bu Wati yang membuat Ibu mertua dan Yani merengut kesal. Aku hanya bisa menghela nafas lega.Saat mereka akan menarik tanganku, aku segera berlindung d