"Jadi, Mama tuh, ke sini, mau bawa anak-anak, biar Mama aja yang jagain. Sebentar lagi kan, mau masuk ajaran baru, biar mereka sekolah di tempat Mama aja. Mama kuatir kalau kamu tinggalkan mereka seperti kemarin."
Aku terpaku mendengar kalimat yang meluncur dari lisan Mama mertua. Mencerna kata demi kata, tapi tak bisa kuterima begitu saja. Memang benar di dekat rumah Mama ada sekolah TK dan SD. Tapi kan … ."Apa benar Dek, kemarin kamu ninggalin anak-anak buat belanja?"Duh, jangan sampai aku salah jawab, bisa kacau ini."Enggak Mas, aku nggak belanja kok.""Yakin kamu?" sahut Mama secepat kilat."Mama lihat sendiri, kemarin kamu sendirian di toko itu. Pegang-pegang baju di sana. Kamu ngapain di sana kalau nggak belanja?" tanya Mama."Lisa cuma lihat-lihat kok, Ma. Kan, uang Lisa sudah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari di rumah ini. Lisa juga belum butuh pakaian baru, apalagi yang beYa, anak-anak itulah harta berhargaku. Kulakukan semua demi mereka, demi tercukupi semua kebutuhan dan gizinya. Lnatas, jika mereka tak ada di sisiku dan diasuh Mama, untuk apa aku banting tulang mencari nafkah?Tak pernah kubayangkan sebelumnya hidup tanpa keduanya, setelah banyak hal berat yang kulewati sejak memiliki mereka.Aku masih berharap hati Mama melunak, tak lagi meminta anak-anak supaya mau tinggal bersama beliau. Akan bagaimana aku nanti?"Keras kepala memang kamu, Sa."Mama berucap dengan melebarkan kedua mata. Beliau seakan tak mau mengerti bahwa aku tak bisa hidup terpisah dari kedua anakku."Maaf, Ma," tiba-tiba Mas Ari menyela."Lagipula pengasuhan anak yang terbaik kan memang sama orang tua kandungnya. Mama kan dulu sudah pernah repot waktu mengurus Ari sejak bayi sampai bisa mandiri, sekarang saatnya Mama menikmati hari tua Mama."Duh, Mas Ari, nggak nyangka kamu sepemikiran dengan istrimu ini. Suamik
Adzan Subuh berkumandang tepat saat kaki kecil singgah di wajahku. Tercium aroma pesing, khas sekali. Bagus sekali cara kamu membangunkan Ibu, Nak. Aku menghela napas panjang, menikmati aroma yang menguar di kamar. Setelah kesadaran kembali penuh, aku mengangkat si bungsu ke kamar mandi. Ia masih mengantuk, tapi ia tetap harus berganti pakaian dan membersihkan diri.Ia langsung asyik dengan mainan mobil-mobilan setelah badannya bersih dan terasa segar. Aku pamit untuk membersihkan diri dan melaksanakan ibadah sholat Subuh. Tak lupa membangunkan Mas Ari dan Arsy untuk berjamaah. Mas Ari masih kesulitan berjalan, tapi sudah nggak ngesot lagi seperti kemarin."Ayah, ayo kita jalan-jalan," ajak si kecil setelah melihat ayahnya selesai merapikan sajadah serta sarung."Jalan-jalan ke mana, Sayang?" tanya Mas Ari sambil duduk di kursi dapur."Keliling komplek, Yah.""Aduh, kaki ayah masih sakit ini, Dek, lain kali, ya?"
"Dek Arkan, mau ya, ikut Nenek, nanti kita jalan-jalan naik mobil, beli mainan," Mama masih berjuang rupanya.Jangan ya, Nak, Ibu nggak sanggup jauh dari kalian berdua. "Nggak mau," jawab adik seraya menggelengkan kepala.Kedua alis Mama bertaut. Aku dapat melihat raut kecewa di wajahnya. Beliau kembali menghujani kedua cucu dengan ciuman."Baiklah, kalau begitu kalian hati-hati di rumah sama Ibu dan Ayah, ya."Alhamdulillah, lega sekali mendengar Mama menyerah membujuk anak-anak kali ini. Setidaknya kedua anakku tak akan ke mana-mana."Iya, Nek," jawab mereka serempak."Lisa, jangan sampai terulang seperti kemarin lagi, ya. Mama pulang dulu.""Iya, Ma, hati-hati di jalan."Aku menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. Mama menerima dengan ekspresi tak mengerti."Ini apa, Sa?""Ini buat Mama. Bukankah, Mama sedang butuh untuk bayar cicilan mobil sama buat bayar sekolah Rista, Ma
Hari telah Semakin gelap. Suara hewan kecil mulai terdengar dari kebun di belakang rumah ini. Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Kondisi rumah telah sepi, kedua buah hatiku sudah terlelap sejak lepas Isya' tadi. Mas Ari juga sudah terlelap, menyusul anak-anak yang tertidur oleh dongeng kancil dan harimau menjelang tidur mereka malam ini. Kini seorang diri aku berkutat dengan rekap orderan dari toko online. Rasa lelah kuabaikan, demi kepuasan konsumen dan pelanggan."Dek, maafkan Mas."Terlonjak aku dari kursi tempat aku menyerahkan bobot tubuh ini. Bolpoin yang kupakai untuk merekap orderan online ikut terjatuh. Lagi, ia mengejutkan aku. Mengumpulkan kesadaran beberapa saat, meyakinkan diri kalau yang hadir adalah Mas Ari, suamiku."Maaf? Maaf untuk apa, Mas?" tanyaku setelah degup jantung kembali normal."Soal itu … uang cicilan mobil, Dek."Ia berkata dengan menundukkan wajah, seakan merasa bersalah. Ada apa dengan su
Aku kehabisan kata mendengar pengakuan suamiku. Keyakinannya begitu besar bahwa aku akan menuruti segala permintaan Mama. "Kamu kenapa sih, Dek, kok gitu jawabnya?"Ia memegang kedua pundakku, seakan memastikan kalau aku baik-baik saja. Kedua bola mata kami bertemu, aku mencari kebenaran di dalam sana."Memangnya harus jawab bagaimana?""Ya, biasanya kan, kamu bisa jawab panjang lebar, nggak pendek-pendek gini, Dek."Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mas Ari benar, aku bisa bicara sepanjang jalan kereta api saat menemui hal tak wajar, atau tak sesuai ekspektasi. Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari ada dusta di antara kami, dari ia yang kusebut suami. Belakangan ini aku tak lagi mengeluarkan banyak kata padanya, lebih banyak mengamati saja. Menunggu waktu yang tepat untuk memangsa. "Aku capek, Mas. Mau istirahat."Aku bangkit dari duduk, bermaksud ke kamar karena mendengar suara dari sana. Tapi suara
Kedua bola mata itu nampak membola saat melihat apa yang tertera di dalam foto-foto tersebut. Ada gunanya juga menyimpan foto ini. "Slip gaji kamu," sahutku cepat. "Dan nggak pernah dipotong," tambahku lagi.Ia terperangah. Mungkin tak menyangka aku menyimpan bukti ketidakjujurannya. Jawaban apa lagi yang akan kamu sampaikan setelah ini, Mas?"Tahu slip gaji Mas dari mana?" tanya Mas Ari sambil menatap gelisah ke arahku. Ari. Lelaki berparas tampan yang hampir lima tahun lalu sempat membuatku merasa jadi istri paling beruntung. Dia sangat memanjakan aku, tapi tetap mengagungkan Mama. Hanya saja, kebaikannya berlangsung di awal pernikahan saja.Sepertinya ia telah lupa, bahwa ia rela menunggu enam tahun lamanya demi bisa kuterima sebagai pasangan hidup.Ya, ia telah menunggu selama enam tahun sebelum akhirnya aku menerima sebagai calon suami. Ia berjuang merebut hatiku, meyakinkan bahwa aku akan bahagia jika
"Gaji kamu lima juta, kamu beri untukku dua juta. Coba hitung, lebih besar mana yang kau beri, untuk Mama, atau untuk istri dan anakmu, Mas?"Ia masih tertunduk, bahkan semakin dalam."Aku tak melihat kehidupan Mama dalam kondisi kekurangan, bahkan Mama bisa membeli baju bermerk beberapa helai dalam satu kali belanja," lanjutku lagi.Mama sudah sering keluar masuk butik demi koleksi pakaian bermerk. Salah satunya ke toko pakaian milikku beberapa waktu yang lalu. Awal aku menjadi menantu, minimal satu kali dalam seminggu Mama pasti membawa pulang goodie bag berisi pakaian mewah. Aku tak berani berkomentar karena bukan ranahku."Tolong, Dek, ijinkan aku tetap berbakti pada Mama, kamu nggak mau kan, kalau Mas jadi anak durhaka?" pinta dan tanya Mas Ari, setengah memohon."Kamu memang anak berbakti, Mas. Kamu sangat menyayangi Mama, itu juga yang membuat aku dulu mau menerima. Sependek yang aku tau, jika anak lelaki menya
Pagi telah menjelang. Aku bangun dengan kepala berat sebab semalam tidurku kurang.Anak-anak menikmati cemilan yang dibeli bersama sang Ayah di warung tetangga. Mereka sambil menikmati kartun kesayangan. Mas Ari menyeruput kopi ditemani sepiring ubi ungu kukus."Hueekk ... ."Tiba-tiba terdengar suara dari Mas Ari di dapur. Tak lama kemudian ia membuang ludah beberapa kali."Ayah kenapa, Bu?" Kakak spontan bertanya."Nggak tau. Ibu lihat dulu, ya," pamitku, kemudian beranjak ke dapur.Lagi, ia membuang ludah beberapa kali. Penasaran, aku mendekati Mas Ari, ingin melihat apa yang terjadi."Kenapa Mas?" tanyaku setelah jarak kami hanya setengah meter."Ubinya ini ada ulatnya, Dek. Pahit."Duh, aku jadi merasa bersalah. Warna ubi yang gelap membuat aku tak melihat lubang yang berisi ulat. Jika warna ubi yang lain, biasanya langsung dibersihkan.Ia mulai berkumur beberapa kali demi menghilangkan rasa pahit di lidah."Maaf ya, Mas," ucapku