Max membuka matanya perlahan, penciumannya sedikit terganggu oleh aroma obat yang menyeruak di seisi ruangan yang ia tempati. Ia melirik sedikit ke arah sampingnya, melihat Merry tertidur sambil memegangi tangannya yang masih tertempel saluran infus.
"Mom," lirih Max lemah.
Merry merasakan pergerakan tangan Max, ia terlonjak dan segera memanggil perawat.
"Perawat! Perawat!" teriaknya panik bercampur bahagia.Merry lalu beralih ke putranya itu. "Max, akhirnya kau sadar." Merry membelai lembut rambut Max, matanya berkaca-kaca menatapi wajah pucat Max yang penuh luka lebam. Hatinya sangat hancur melihat putra kesayangannya masih tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Kalau boleh, ia ingin menggantikan posisi Max. Biar ia saja yang menanggung semua sakit yang Max rasakan.
"Mom... Sejak kapan aku ada di sini? Aku harus segera pulang dan mengurusi kerjaanku di kantor," ucap Max berusaha bangkit dari posisi tidurnya, namun sulit ia lakuka
Setelah kejadian tadi Zeta jadi merasa canggung. Ia telah membantu Jack menelan obat lewat mulutnya. Sensasi bibir Jack yang hangat dan lembut masih terasa sampai sekarang. Jack memiringkan kepalanya agar ia bisa memandangi Zeta yang duduk di sampingnya. Perempuan itu tak berhenti bergerak gelisah membuat Jack memincing bingung. Zeta menengok kepada Jack seolah tahu kalau pria itu tengah mengamatinya. "Nanti kau juga akan minum obat dengan mulutku lagi?" tanyanya hati-hati. "Tidak... Kau bisa kembali ke kamarmu sekarang." Jack membangkitkan tubuhnya dari posisi tidur. Ia menyandarkan punggungnya yang terasa kaku ke sandaran tempat tidur. Tatapannya tak acuh membalas kedua manik mata hitam di depannya. "Benarkah, aku boleh kembali?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Zeta seakan menyiratkan kalau ia sebenarnya ingin segera pergi, namun sedikit sungkan untuk menyatakan keinginannya itu. "Hmmm..." Zeta mengangguk dan berderap keluar dar
Merry bernapas lega. Hari ini Max sudah diperbolehkan pulang setelah melewati banyak pertimbangan dan pemeriksaan seputar kesehatannya. Dokter berpesan agar Max terus menjaga dirinya dari kelelahan dan pikiran berlebih yang bisa membuat kondisi kesehatannya menurun.Max duduk di kursi roda yang bergulir melewati lorong, sementara seorang pengawal terus mendorongnya untuk segera mencapai area parkir.Merry menghentikan langkahnya ketika sudah sampai di depan mobil, segera ia suruh pengawal dan sopirnya membantu Max duduk di dalam mobil dengan nyaman. Setelahnya, Merry mendudukkan dirinya di sisi Max."Bersandarlah ke Mommy." Merry meraih kepala Max pelan dan menidurkan Max ke bahunya sambil sesekali ia usapkan jemarinya lembut membelai putranya itu.Perhatian Merry semuanya ditumpahkan untuk Max. Namun, Max tidak terlalu senang dengan sikap ibunya itu. Memang, Merry sangat menyayangi Max dan Max bersyukur akan itu. Tapi, semakin Merry mencurahkan kas
Mobil Jack berhenti tepat di depan sebuah butik mewah. Jack melompat turun dari mobil, disusul Zeta yang ikut turun dan menggiring kakinya memasuki butik tersebut.Zeta menyempatkan diri sebentar untuk membaca tulisan besar yang terpampang di atas pintu masuk butik. Kesukaannya dalam dunia fashion membuatnya terkagum-kagum dengan bangunan di depannya itu. Ia bergumam pelan, "Butik Eldora. Nama yang indah."Zeta ingin sekali bisa memiliki butik yang dipenuhi oleh pakaian hasil desainnya. Namun, ia harus mengubur mimpinya itu dalam-dalam karena ia tak memiliki uang yang cukup untuk biaya sekolah jurusan fashion desaigner. Bisa lulus sekolah menengah atas saja ia sudah sangat bersyukur.Zeta melangkahkan kakinya kembali, melewati pintu masuk. Matanya langsung melebar demi menangkap seorang perempuan paruh baya dengan tampilan stylist yang sedang bercakap-cakap bersama Jack. Tentu Zeta tahu siapa perempuan itu. Semua penduduk Chicago pasti mengenal fashion desaigner
Hari mulai gelap. Setelah Jack membawa Zeta untuk membelikan perempuan itu segala yang diperlukannya. Selanjutnya ia mengajak Zeta pergi ke restoran bintang lima dengan dekorasi mewah dan elegan. Ia memesan makanan secara acak, tak ada satu pun makanan yang benar-benar ia suka. Ia meletakkan kembali buku menu setelah menyebutkan pesanannya kepada seorang pelayan.Sementara itu, Zeta terpekur dengan buku menu di tangannya. Harga setiap makanan di buku tersebut sangat di luar nalar. Sepotong daging saja bisa sampai seratus dolar. Bisa-bisa ia jatuh miskin kalau sering makan di restoran ini. Ah... Zeta lupa, ia kan memang tak memiliki sepeser pun uang dan hidupnya kini bergantung kepada pria di depannya. Ia melirik Jack sekilas, namun tatapannya malah berserobok dengan mata biru Jack, maka ia melempar pandangannya dengan cepat ke arah lain."Mau sampai kapan kau memelototi bukunya dan tidak segera memesan makanan, huh?" Jack mendesah malas."Eum..." Zeta kemb
"Jack," panggil Zeta menyadarkan Jack, pasalnya pria itu mencengkeram perutnya sangat kencang sambil sesekali merintih."Kau kenapa?" Zeta berusaha melepas kedua tangan kekar Jack dari perutnya agar ia bisa berbalik dan melihat apa yang telah terjadi kepada Jack. Sepertinya bermimpi buruk, pikirnya.Zeta berhasil. Tangan Jack melonggar, ia pakai kesempatan itu untuk berguling menghadap pria itu. Ia tak bisa melihat jelas wajah Jack karena pencahayaan minim di dalam kamar. Ia hanya bisa mendengar napas Jack yang tersengal-sengal seakan baru saja berlari jauh. Zeta ulurkan sebelah tangan untuk membelai kepala Jack. "Kau kenapa?"Zeta terdiam, ia bisa menangkap pergerakan Jack yang mencondongkan kepala ke dada Zeta, sangat dekat. Ia merasa tidak nyaman dengan posisi Jack yang kini menenggelamkan kepala ke dua gundukannya."Jack..." Suara Zeta terpotong oleh desahan Jack."Begini. Sebentar saja." Jack memejamkan mata erat, mengusir bayangan menyeramkan
Zeta menghentikan langkahnya. Ia tangkup dadanya yang terasa sakit. Ia tak bisa menahan lajur air mata yang terus mengalir deras di kedua pipinya. Ia menggerakkan kakinya kembali seraya mengusap air mata. Tatapannya kemudian terpaku kepada seorang pria yang tengah berjalan ke arahnya. Max.Max sempat terkejut ketika hampir berpapasan dengan Zeta, namun ia bisa menetralkan ekspresinya dengan cepat. Ia melangkah lebar menghampiri Zeta. Terlihat perempuan itu berkali-kali mengusap kelopak matanya, kemudian tersenyum kepada Max, seakan mengatakan tak apa-apa meski Max belum bertanya.Zeta menyerahkan kotak bekal yang awalnya ia buat untuk Jack kepada Max ketika ia sudah berhadapan dengan pria itu. Tanpa berkata ia juga menyodorkan jam tangan milik Jack."Apa ini?" Max menerima sodoran dari Zeta. Ia menaikkan kedua alisnya tak paham dengan perlakuan yang ia terima secara tiba-tiba ini. "Ini untukku?""Iya. Dan, jam tangannya milik Jack. Aku minta tolong
"Tuan, Nona Zeta sedang berada di rumah sahabatnya. Saya sudah mencari tahu semua tentang sahabat Nona Zeta yang bernama Sena itu. Dan, pacarnya Sena adalah lelaki yang pernah melecehkan Nona," tutur Aiden dari seberang telepon."Awasi Zeta terus, jangan sampai lengah," balas Jack dengan mata menggelap.Jack menghempaskan ponselnya ke meja setelah menutup sambungan telepon dari Aiden. Ia beranjak dari kursi, berjalan mondar-mandir tak tenang.Tak ada tanda-tanda keberadaan Camelia di ruangan Jack, karena perempuan itu telah Jack pecat. Camelia sempat melakukan perlawanan hingga akhirnya dia diusir paksa oleh petugas keamanan. Jack sudah kehabisan kesabarannya untuk Camelia.Jack meraih ponselnya kembali, merenung dengan wajah sendu. Ia tak akan membiarkan Zeta, miliknya berada jauh darinya. Ia akan segera membawa Zeta kembali ke rumahnya. Secepatnya.Ponsel Jack berderit kembali, menunjukkan nama Aiden tertera jelas di layarnya. Jack segera menerim
Jack duduk di kursi penunggu dengan jengah, sementara Aiden tetap berdiri setia di sampingnya."Ini sudah satu setengah jam lebih, Aiden. Mau sampai kapan kita tetap menunggu di sini, huh?" Jack nyaris beranjak dari kursi, jika Aiden tak mencegahnya."Sebentar lagi, Tuan. Nona Fay mungkin masih mengantre untuk mengambil..." Belum juga Aiden melanjutkan ucapannya itu, Fay sudah muncul dengan menggiring trolley berisi koper dan barangnya yang lain. "Tuan, Nona Fay" sambung Jack menunjuk ke arah Fay yang tengah celingukan, sepertinya sedang mencari keberadaan Jack.Namun, Jack hanya merespon dengan memutar tatapannya menuju Fay. Ia sebelumnya tak pernah bertemu langsung dengan perempuan itu. Jack dan Fay memang tak pernah bertemu, mereka hanya bertukar foto dan saling berbalas pesan.Jack menatap Fay penuh kritik. Layaknya model yang berlenggak-lenggok di karpet fashion show yang pernah Jack lihat, Fay juga seperti mereka, sangat kurus. Melihat Fay, me