"Kau tidak pulang?" tanya Ibrahim pada Hatice yang duduk dengan kaki disilangkan, dia sedang mengerjakan sesuatu, di meja kerja milik Ibrahim. "Untuk apa aku pulang?" "Mungkin Martin membutuhkanmu Hati, dia sedang berada dalam masalah," kata Ibrahim lagi, dia bersandar di sisi meja dan menatap Hatice yang berpura-pura sibuk. "Aku tidak peduli dengannya, dia sudah terlalu buruk untukku, bisa-bisanya dia meniduri gadis seusia putranya," kata Hatice, dua terlihat tidak ingin menatap Ibrahim. "Ayolah Hati, kau seharusnya..." Ucapan Ibrahim terpotong saat mereka mendengar suara bising dari luar rumah. Ibrahim dan Hatice terlihat penasaran dan ingin tahu, mereka menengok ke jendela dan mata Hatice cukup membulat melihat apa yang terjadi. "Andira? Bi Ana? Apa yang mereka lakukan di sini?" Hatice saat matanya mendapati Andira yang diseret masuk ke dalam rumah oleh ibunya, para tetangga juga ikut heboh, dan hanya mengutuk dengan umpatan-umpatan untuk Andira. Ibrahim bergegas keluar rum
Dalam keadaan hujan, saat malam, Andira keluar dari taksi dan dengan sendirinya membuka gerbang rumah itu, dia memiliki kartu yang bisa membuatnya bebas keluar masuk dan gerbang akan terbuka secara otomatis untuknya. Dia melihat pos satpam tertutup dari luar, apa yang terjadi? Dimana Pak Kader? Itu adalah pertanyaan utama yang berada di benak Andira saat ini. Gerbang yang terbuka otomatis itu kini tertutup otomatis, karena tak membawa payung, ataupun jas hujan yang bisa melindungi dirinya dari hujan, kini Andira hanya memeluk tubuh kecilnya, berjalan masuk ke dalam are depan rumah Martin, dia menelan bel beberapa kali, tubuhnya kedinginan dan dia kini menggigil, namun sama sekali tak ada yang membuka pintu. Andira tidak menyerah, dia masih menekan bel hingga seseorang betul membukanya. *Pria ini rapuh, hingga dia hanya bisa diam di dalam istananya, dia baru saja memecat pekerjanya, Pak Rustam, Pak Mamat dan Pak Kader, mereka semua diberi tunjangan yang cukup besar sehingga bisa men
Andira melangkah masuk sementara Martin menutup pintu, dia juga berjalan lincah dan mulai menghangatkan ruangan, memberikan Andira selimut dan menyuruhnya untuk duduk. Andira mengeringkan tubuhnya baru setelah itu duduk dengan berselimut di sofa. Andira terlihat masih menggigil. Dan ruangan itu mulai terasa hangatnya, Martin terlihat membuat sesuatu di dapur, sebuah coklat hangat dan roti coklat yang terdapat di dapur untuk Andira. Langkahnya lincah setelah dia selesai membuat coklat hangat juga menyiapkan roti coklat untuk Andira. Dia menuju ke arah sofa dimana Andria duduk, dan Martin duduk di samping gadis itu. Tak lupa memberikan coklat hangat dan juga roti coklat untuk Andira. Gadis itu menggenggam gelasnya juga rotinya, sementara Martin terlihat merapikan selimut yang membalut tubuh Andira. "Kenapa malam-malam begini?" tanya Martin, dia sedikit membungkuk menatap Andira yang sedang meminum coklat hangatnya dan mulai memakan rotinya. Dia terlihat mengunyah dan menelannya lalu
Langit kembali mendung, di siang hari yang biasanya cerah terlihat lebih gelap dan murung. Pemakaman Bi Ana telah dilakukan, dan kini, hanya Andira juga Martin yang berada berhadapan, tadi saja, Sabina tak ingin pergi dari tempat pemakaman Bi Ana, namun Ibrahim membawanya pergi, Raisi juga sempat hadir dan pada akhirnya pergi, Martin terlihat lusuh, dan Andira kini berlutut di samping makam itu, menatapi nisan yang bertuliskan nama ibunya. Bibirnya bergetar dan matanya meneteskan air mata. Dan Martin hanya bisa memandang Andira dengan tatapan pasrah dan berduka. Gadis ini terus merengek dan menyandarkan kepalanya pada nisan tang tertancap. Dan pada akhirnya, turunlah hujan dan membasahi bumi. Air mata Andira mengalir seperti derasnya hujan saat itu. Kedua tangan Martin berada di dalam sakunya dan perlahan membungkuk lalu jongkok setengah mengelus lembut punggung Andira. Dia merangkulnya dan berkata, "Kau akan demam jika terus di sini," ucapnya lembut, terdengar di telinga Andira.
"Kau katakan bahwa jika aku mendengarkanmu maka ibuku akan baik-baik saja!" Andira dengan suara keras membentak Ibrahim yang duduk di kursinya, dia terlihat mengerjakan sesuatu di mejanya. "Well, kenapa begitu sedih, bukankah dia bukan ibu kangdungmu?" Matanya menatap Andira yang berdiri di hadapannya. Bibi Andira terbuka tipis, matanya menatap dengan nanar, dan nafasnya putus-putus, dia merasa sesak lalu akhirnya duduk di kursi yang telah disediakan di hadapannya. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Kau melakukan semua ini hanya untuk dirimu saja, kau tidak peduli denganku, dengan ibuku....""Ibumu? Bi Ana bukan ibumu Andira!""Lalu siapa ibuku? Siapa orang tuaku Ha? Kau menghancurkan ku sejak awal! Kenapa kau melakukan ini padaku!?" Andira berdiri dan memukul meja dengan sangat keras, kedua tangannya tak merasakan panas dengan pukulan di meja, namun matanya sungguh nanar memandang Ibrahim. "Andira..., Kau membuat masalah dengan tidak mendengarkan ku, kau bahkan tidak ingin kemba
Martin berjalan masuk ke dalam gedung perusahaannya yang besar, kali ini dia hanya mengenakan kaos biasa tanpa setelan jas yang mewah, dan dengan hanya celana santai panjang biasa. Dia menjadi bahan pembicaraan di sana, tujuannya juga hanya satu, dia hanya ingin mengetahui apakah terjadi sesuatu pada bisnisnya, dan kini dia mengadakan rapat dadakan dimana dia akan menjalankan sesuatu yang tidak akan merugikan perusahaannya. "Dimana Ibrahim?" tanyanya saat dia sama sekali tidak menemukan Ibrahim di kursinya. "Dia meminta izin hari ini untuk tidak datang, Pak.""Lagi?""Ini hari pertamanya izin dalam waktu sebulan, Pak." "Baiklah kita mulai tanpa dia, rapatnya." Para karyawan sudah sudah duduk di kursinya masing-masing dan Martin memulai rapatnya. Ini adalah pertama kalinya Martin menghadiri rapat tanpa pakaian resmi, tidak masalah, siapa yang akan marah, toh dia pemilik utama perusahannya. Dan hal yang dia bicarakan adalah rencana yang akan dilakukan oleh perusahaannya jika kembali
Sebuah kamar hotel yang terlihat berantakan, Raisi bersama Lizzia terlihat pulas tertidur di ranjangnya. Mereka sudah melalui malam yang liar dan hebat, juga menyenangkan, dan hal yang disukai Raisi adalah saat dia mampu melupakan Andira ketika bersama Lizzia. "Pagi," kata singkat yang diucapkan Lizzia saat dia membuka matanya dan Raisi sedang menatapnya. "Pagi," balas Raisi, mereka saling menatap dengan selimut yang menutupi separuh tubuh mereka.Dan mereka hanya saling bertatap-tatap hingga ponsel Lizzia kemudian berdering. "Tunggu," ucapnya, dia membangunkan tubuhnya dan mengambil ponselnya yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur. Dia melihat nama Nigel di dalam ponselnya. "Iya, ayah?" "Kau dimana? Ha? Kenapa tidak pulang dan tidak memberitahuku?!" Suaranya membentak, mendengar itu, Lizzia merasa sedikit panik, tubuh eksotis yang indah itu turun dari ranjang, dia nampak tak memakai busana apapun, dia menghindar dari Raisi, dan masuk ke dalam kamar mandi. "Aku s
Lizzia beberapa kali menelan ludahnya saat dia menemukan bahwa Nigel saat ini tepat berada di hadapannya. Matanya cukup membulat dan rasa takut muncul dalam dirinya akan dihukum. Dia sedikit memundurkan tubuhnya dan bibirnya sedikit menganga, kedua kelopak matanya juga berkaca-kaca. "Hello sayang," ucap Nigel, tersenyum pada Lizzia yang kini berusaha menggerakkan tangannya dan ingin menutup pintu, namun tangan Nigel dengan cepat menahan pintunya dari depan dan dia juga melangkah masuk hingga ke bingkai pintu. "Dengan siapa lagi kau tidur malam ini? Kenapa tidak memberitahu ayah? Sayangku?" Lizzia tidak menjawab, dia hanya menelan ludah, bibirnya kaku, dan tiba-tiba, Raisi yang terlihat mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya kini muncul dan berkata, "Ada apa? Zia? Kenapa berhenti?" Raisi bertanya namun pertanyaan itu terjawab saat dia sendiri melihat Nigel di hadapan Lizzia. "Halo Raisi, bagaimana kabarmu keponakanku? Bagaimana dengan ayahmu?" tanyanya, dia masih be