"Bagaimana? Sudah memutuskan untuk mengikuti lomba itu atau tidak?" tanya Martin pada Andira yang berdiri tepat di hadapannya.
"Aku tidak tahu Tuan, aku masih bingung," jawab Andira.
"Tidak tahu? Kenapa? Tidak, lombanya sebentar lagi, kau harus memutuskannya, kalau tidak buku kamu akan selalu menjadi milikku," ujar Martin.
"Tapi Tuan..."
"Tapi apa?" Martin mulai berdiri dan berjalan ke arah Andira.
Dia berdiri tepat di hadapan Andira, jarinya mengangkat dagu Andira dan wajah Andira kini menatap Martin sepenuhnya.
"Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus mengikuti lomba ini, apa kau hanya akan terjebak di sini sebagai seorang pembantu? Atau akan mengepakkan sayap-sayapmu menunjukkan bakat tersembunyi mu, Andira, ini hanyalah permulaan untuk bisa menunjukkan bakat terpendam kamu," ucap Martin, mata di balik kacamatanya mampu membuat Andira tak dapat berkata-kata.
Martin kembali menurunkan tangannya dan kembali berjalan ke tempat duduk da
"Sarah, kau tahu aku tidak pernah mencintaimu, aku tidak pernah menginginkanmu. Kau bisa keluar dari sini," ucap Martin yang sekali lagi mengiris hati Sarah.Sarah yang merasa sangat kecewa dengan Martin lalu pergi dari sana, dia dengan keras membanting pintu kerja Martin.Martin seakan tak peduli dengan perasaan Sarah, dia hanya diam saat Sarah membanting pintu ruang kerjanya.Saat makan malam pun, di sana tak terlihat Sarah, membuat anak-anak Martin bertanya-tanya."Pa, Mama dimana?" tanya Randy, saat akan memulai mengunyah makanannya."Dia keluar sebentar," jawab Martin."Aku lihat Mama keluar sambil membanting pintu ruang kerja Papa," ucap Nadira, membuat Andira yang masih menyiapkan makanan di piring milik Martin langsung terdiam."Mama marah Pa?" tanya Raisi.Mendengar itu membuat Andira agak merasa gugup dia me
"Kau darimana saja?" tanya Martin saat seorang wanita membuka pintu kamarnya, Martin terlihat menampakkan wajah datarnya dan rasa sedikit kesalnya. Namun pertanyaan itu sama sekali tidak dijawab oleh Sarah.Sarah hanya berjalan mencari pakaian tidur di dalam lemarinya tanpa menjawab pertanyaan Martin."Kau tahu, anak-anak menanyakan kamu saat makan malam," ucap Martin lagi namun diabaikan oleh Sarah. Melihat Sarah yang tak bereaksi apa-apa membuat Martin terlihat kesal."Sarah!"Martin mulai berteriak dan membangunkan badannya dari tempat, dia kini berdiri melotot pada Sarah. Wajah merahnya mampu membuat Sarah melawan tatapan yang sama tajamnya pada Martin."Aku dari tadi bicara padamu, jangan lakukan itu lagi, jangan pergi saat aku tidak tahu jawaban apa yang aku harus berikan pada anak-anak!" ujar Martin, matanya nanar memandang Sarah."Aku tidak akan melakukan itu lagi, sekarang tenanglah, aku akan tidur di kamar tamu, kau bisa berada di
"Raisi?"Mata Martin terlihat heran melihat keberadaan Raisi."Apa yang Papa udah lakukan sama Mama?" tanya Raisi dengan lantang pada ayahnya."Apa yang bisa Papa lakukan sama Sarah?" tanya Martin balik."Mama bermalam di kamar tamu, sedang Papa bertanya apa yang Papa bisa lakukan pada Mama?"Martin mulai merasa kesal dengan apa yang dilakukan Raisi, dia mulai berdiri dan berjalan ke hadapan Raisi, dengan tatapan yang tajam.Raisi yang berdiri di hadapan sang ayah juga menatap Martin dengan sangat tajamnya."Berani sekali kau masuk ke dalam kamarku dan berniat untuk menantang ku, dan apa ini? Apa maksud dari tatapan ini?" tanya Martin dengan menatap Raisi dengan sangat tajamnya."Pa, sudah sangat lama kami diam karena Papa yang selalu berlaku keras pada kami, sekarang aku tidak mau melihat Mamaku dengan wajah bersedih lagi, Papa sudah menyakiti hatinya berkali-kali!" ujar Raisi dengan melotot pada sang ayah. Martin sendiri mula
Mata Martin dan Raisi menghadap ke arah Sarah. Tangan yang menggenggam kerah baju Raisi kini terlepas."Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian seperti ini? Suara kalian bahkan terdengar hingga ke bawah, Randy, Andira dan Nadira juga terbangun, ada apa dengan kalian?" ujar Sarah, matanya menatap heran kedua orang yang paling penting dalam hidupnya.Martin menghela nafas dan mencoba mengatur nafasnya. Dia memundurkan dirinya dan agak berjarak dengan Raisi."Bawa putramu ini keluar dari kamarku," ucap Martin dan mempersilahkan Raisi keluar dari kamarnya.Raisi yang saat itu juga sangat marah pada Martin menatap Martin dengan tatapan yang penuh dengan kebencian."Ayo Raisi, kita keluar," kata Sarah, dia menarik pelan tangan Raisi dan membawa anaknya keluar dari kamar Martin.Sarah menggandeng putranya, terlihat Nadira, Andira, dan Randy berada di ruang utama, mereka melihat Raisi yang saat itu pipinya memerah bekas tamparan Martin.Mata A
Mata Martin fokus menatap keluar jendela, dia memandang langit yang sama, gedung pencakar langit yang sama, dan suasana yang sama. Sampai seseorang mengetuk pintu ruangannya.Tok tok tok"Masuk," jawab Martin saat mendengar ketukan dari luar."Kak Martin," katanya saat dia sudah berada di dalam. Seketika Martin membalikkan badannya, dan melihat sang adik tercinta datang mengunjunginya."Hatice, kau datang?""Hai Kak," ucap Hatice dan berjalan memeluk sang kakak."Ada apa?" tanya Martin sembari melepas pelukan Hatice."Baiklah, duduklah dulu," ucap Martin dan duduk di sofa dekat jendela.Mereka berdua duduk berdampingan, raut wajah Hatice seperti tidak dalam kondisi hati yang baik-baik saja."Cepat katakan, ada apa?" tanya Martin lagi."Kemarin Sarah datang, dia mengatakan bahwa kau sama sekali tidak peduli lagi padanya, dia terlihat sedih Kak, melihatnya aku juga merasa sedih," ujar Hatice."Kau datang untu
Martin terlihat sedang mencari kamera di toko elektronik miliknya, dia melihat kamera yang mampu menarik perhatiannya. Saat Martin memandang kamera itu, tiba-tiba seseorang berbicara di belakangnya."Tuan, apa yang bisa saya bantu," ucap seorang wanita yang ada di belakang Martin.Mendengar itu Martin langsung membalikkan tubuhnya. Melihat wajah Martin, wanita tersebut langsung saja terkejut, tentu saja, pria yang dia tanyai adalah pemilik toko itu sendiri."Tuan Martin Dailuna, maaf saya tidak mengenali Anda," ucap Wanita itu sambil tersenyum pucat setelah memandang Martin."Oh tidak apa-apa, berikan saya kamera ini ok," ucap Martin dia menampakkan senyumnya pada wanita itu."Baik Tuan, segara saya siapkan," balas wanita itu.Setelah mendapatkan kameranya, Martin langsung pulang ke rumahnya, dia berencana akan memberikan kamera untuk Andira berlomba, terlihat senyum mekar di wajah Martin. Namun tetap saja ucapan Hatice dan keberanian Raisi
Ibrahim tersenyum sendiri saat mengingat Hatice di kantor Martin. Kini dia akan lebih memilih untuk berkerja di kantor Martin daripada menjadi asisten dosen.Ibrahim menghentikan mobilnya saat sampai di depan rumah sederhana miliknya, dia masuk ke dalam rumahnya dan menemui seorang wanita setengah baya sedang menidurkan balita di atas tempat tidur kecil."Ibrahim, kau sudah pulang," sambut wanita itu, dia terlihat duduk di kursi ruang tamu."Iya Bi, bagaimana Cihan, aku takut kalau Cihan akan merepotkan Bibi," ucap Ibrahim saat dia duduk di samping wanita yang dipanggil Bibi itu."Bagaimana mungkin Cihan merepotkan ku, karena kau sudah pulang, Bibi juga ingin pulang ok," ucap wanita itu dan pergi meninggalkan Ibrahim.Ibrahim berjalan masuk ke dalam kamar Cihan dan memandang putranya yang berwajah masih polos dan masih berusia 3 tahun itu harus ditinggal pergi oleh ibunya, pernikahan tanpa cinta membuat mantan istri Ibrahim yang bernama Riana tak i
---------------------------------------------------------------------Jika cinta memang buta, maka dia tidak akan melihat status, usia, bahkan resiko dalam mencintai, karena yang ia lihat hanya cinta itu sendiri.---------------------------------------------------------------------Andira menaruh kameranya tepat dihadapannya dan mulai menyalakan kamera itu, dia terlihat fokus memainkan biolanya dengan sangat indahnya alunan biola itu bermain menghiasi suasana taman belakang saat itu.Tak ada seorangpun di sana. Yang ada hanya dirinya, dan kupu-kupu yang bermain mengelilingi bunga-bunga. Pak Rustam pun sudah pulang karena tugasnya sudah selesai. Mata Andira tertutup dana merasakan hembusan angin menyentuh kulitnya. Setelah selesai memainkan biolanya dan musiknya sudah selesai, dia kemudian mengambil kameranya dan melihat berulang-ulang video itu. Andira membawa kamera dan biolanya masuk ke dalam kamarnya dan memikirkan apakah rekaman videonya bisa meloloskanny